Mongabay.co.id

Longsor di Tol Purbaleunyi km 118, Bukti Minimnya Penataan Ruang di Kawasan Bencana

 

Pertengahan Febuari lalu, pergerakan tanah terjadi di Kampung Hegarmanah RW 4, Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Lokasinya tepat berjarak 10 meter dari pinggir Jalan Tol Purwakarta – Bandung – Cileunyi (Purbaleunyi), tepatnya di jalur km 118 mengarah ke Jakarta.

Material longsor berupa lumpur dan tanah merah menghancurkan 80 rumah, 3 hektare sawah, dan mengungsikan 240 jiwa. Total luas area terdampak sekitar 2 hektare.

Penelusuran sementara dari Kelompok Peneliti Gerakan Tanah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), longsoran terjadi akibat tanah miring jenuh air selama musim penghujan. Setelah sebelumnya, terjadi rekahan tanah saat musim kemarau.

Selain itu, daerah terdampak longsor berupa area terbuka dan persawahan merupakan daerah dengan kemiringan lebih dari 20 derajat. Sedangkan bekas longsoran memiliki kemiringan hingga 60 derajat.

Peneliti Pergerakan Tanah LIPI, Eko Soeboewo mengatakan, potensi longsor susulan dapat terjadi kapan saja. Apalagi, disaat musim penghujan. Terlebih, daerah longsoran dekat dengan jalur sesar lembang.

“Jika dilihat dari peta geologi, kawasan ini dekat dari sesar lembang. Tanahnya cenderung gembur karena tingkat kesuburannya cukup tinggi. Dan biasanya terdapat banyak kantong mata air. Sehingga rentan terjadinya pergerakan tanah. Selain itu, sesar yang aktif juga dapat berpengaruh mendorong pergerakan tanah,” kata Eko yang ditemui di lokasi longsor, Kamis (13/2/2020).

baca : Krisis Lingkungan : Cekungan Bandung Kian Rentan

 

Longsor di Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, pertengahan Febuari lalu, tepat 10 meter dari pinggir Jalan Tol Purbaleunyi km 188. Longsor merusakkan80 rumah, 3 hektare sawah, dan mengungsikan 240 jiwa. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hingga kemarin, warga yang tinggal di sekitar longsoran masih memilih mengungsi ke rumah kerabat. Aep Saepudi (63), warga setempat, mengaku khawatir longsor susulan bisa menerjang kapan saja.

“Kejadian longsor ini merupakan kali kedua. Sebelum jalan tol dibangun, longsor sempat menerjang pemukiman warga namun tidak begitu besar,” katanya.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basoeki Hadimoeljono pun sampai meninjau lokasi longsor. Dia mengecek keadaan bentang alam di sekitar area jalan tol.

Setelah diselidiki, tak ada masalah geologis. Hanya saja ada saluran irigasi tersumbat. Hal itu mengakibatkan infiltrasi di kawasan tersebut terganggu sehingga memicu longsoran. Basoeki lantas mengintruksikan upaya kemantapan rekayasa struktural dilakukan optimal.

“Sebetulnya Jasa Marga, sejak longsor di km 92 dan Cisomang punya (data) daerah yang rawan longsor. Jadi penanganannya tidak terlalu rumit. Dibikin perkuatan fisik saja. Jalur tol masih bisa dilewati dan aman,” katanya, Senin (17/2/2020).

baca juga :  Respon Kota Lambat Tangani Banjir Bandung

 

Data Geologis

Pengetahuan akan zona bahaya dan resikonya pada umumnya tak banyak dimiliki oleh warga maupun pimpinan daerah.

Meski Badan Geologi Kementerian ESDM sudah memberikan rujukan informasi geologi kepada pemerintah daerah dalam bentuk peta rawan bencana. Peta tersebut memuat data potensi kebencanaan seperti kerentanan pergerakan tanah, gunung api, gempa bumi hingga peta hidrologi.

Kasubbid Pengembangan Gelologi di Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi, Tantan Hidayat, mengatakan, data tersebut diharapkan menjadi rujukan dalam penataan ruang. Terlebih peta tersebut masuk dalam Pepres No.9/2016 tentang Kebijakan Satu Peta Geopasial.

“Peraturan itu menjadi basic data bagi pemerintah, terutama dalam menunjang perencanaan pembangunan. Salah satunyaa dengan mempertimbangkan aspek geologi,” ujar Tantan yang dihubungi Kamis (20/2/2020).

Perbaikan tata ruang, katanya, merupakan antisipasi dini terhadap bencana alam yang terus berulang seperti banjir, longsor, hingga gempa. Tanpa perbaikan tata ruang, pengurangan risiko bencana sulit dilakukan.

perlu dibaca : Kawasan Cekungan Bandung Terpuruk, Akibat Rencana Pembangunan Buruk?

 

Banjir menggenang di Jalan Soekarno – Hatta Gedebage, Kota Bandung, pertengahan Febuari lalu. Kawasan Gedebage merupakan titik terendah dari Cekungan Bandung. Kawasan yang seharusnya menjadi resapan air justru banyak dialihfungsikan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2009-2019, total kejadian bencana yang melanda Indonesia mencapai 24.100 kejadian. Musibah-musibah itu didominasi banjir dan tanah longsor.

Total ada 489 kabupaten/kota, yang masuk dalam daerah bahaya sedang-tinggi banjir, dengan total penduduk terpapar sebanyak 63,7 juta jiwa. Untuk bencana longsor, 441 kabupaten/kota berada di daerah bahaya sedang-tinggi dengan jumlah penduduk terpapar sedikitnya 57,4 juta jiwa.

Agaknya, peta itu memang perlu. Setidaknya Tantan mengingatkan, bencana geologi terjadi jika di suatu daerah pernah ada pergerakan geologi destruktif, entah itu gempa bumi atau gunung meletus.

Apalagi, topografi Jawa Barat dikelilingi ring of fire. Sehingga, gempa tektonik dan vulkanik kerap berulang bahkan, hampir setiap tahun.

Jawa Barat merupakan daerah yang paling sering dilanda bencana tanah longsor. Provinsi berpenduduk 45 juta jiwa ini selalu menempati peringkat teratas dengan jumlah bencana hidrometerogi terbanyak.

Potret bencana itu, tercermin pada kota-kota di Cekungan Bandung. Minimnya upaya membenahi tata air dan lingkungan, banjir kian sering melanda.

Badan Geologi mencatat, perubahan guna lahan di Metropolitan Bandung begitu masif. Pemanfaatan lahan meningkat, sedangkan peruntukan lahan hutan sebagai kawasan penunjang semakin berkurang. Pada akhirnya, terjadi degredasi yang tak seimbang.

Dengan kawasan konservasi di Cekungan Bandung terdiri dari kawasan lindung sekitar 224.622, hektare, hutan lindung 17.624 hektare, hutan konservasi 4.740 hektare, dan kawasan lindung geologi sekitar 340 hektare. Semestinya, kawasan ini membawa sejahtera bagi makhluk penghuninya.

Cekungan Bandung ibarat wajah Jawa Barat. Keindahannya tak diragukan. Akan tetapi dibalik pesona itu, bersemayam bencana yang lama diam. Dan dilupakan.

Setidaknya, terdapat paling tidak lima sesar aktif di bekas danau purba ini, yakni sesar Lembang, sesar Tanjungsari – Cileunyi, sesar Cicalengka, sesar Jati dan sesar Legok Kole.

menarik dibaca : Hutan Jayagiri, Tangkuban Parahu, dan Cekungan Bandung

 

Peneliti LIPI menunjukan map Patahan Lembang sepanjang 29 kilometer yang membentang dari Cisarua Kabupaten Bandung Barat hingga Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hasil penelitian Geoteknologi LIPI membuktikan keaktifan sesar Lembang di utara Kota Bandung dengan laju pergerakan sesar Lembang mencapai 1-3 mm/tahun.

​Dengan panjang patahan hingga 29 kilometer, potensi gempa yang bisa dihasilkannya sebesar 6,5 – 7 M dengan waktu perulangan sekitar 170 – 670 tahun. Diperkirakan, akumulasi terakhir gempa bumi pada kurun 560 tahun.

Untuk itu, gempa Sesar Lembang mengancam lebih dari 3 juta orang di Bandung Raya harus diwaspadai. Tidak hanya sumber gempa yang dekat Kota Bandung. Tantan menjelaskan, kawasan Bandung Raya yang terdiri dari tanah dan sedimen lunak dari endapan danau purba menjadikan daerah ini juga sensitif pada guncangan gempa.

Ibarat maut, bencana tak bisa diprediksi. Satu – satunya cara menghindari akibat yang fatal adalah mengetahui posisi tempat tinggal serta lingkungan di sekitar.

 

Berbasis Kearifan Lokal

Selain faktor alam, seperti curah hujan yang tinggi, daerah yang curam, dan struktur batuan yang labil. Perilaku manusia yang tak bijaksana dalam pemanfaatan ruang dan pengelolaan lingkungan memicu terjadinya bencana terutama longsor dan banjir.

Sesungguhnya leluhur Sunda punya kearifan ekologi dalam pemanfaatan tata ruang. Hal ini, antara lain, tersurat dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (kropak 632). Naskah kuna itu memberi wejangan agar manusia bijaksana dalam pemanfaatan tata ruang dan ruang hidup.

Setidaknya naskah Sunda menyebut 19 kategori lahan yang harus dihindari untuk dibangun manusia, yang disebut “kotoran bumi”. Lahan yang dimaksud, antara lain, catang ronggeng (lahan dengan lereng curam), garenggengan (permukaan tanah kering, tetapi di bawahnya berlumpur), dangdang wariyan (embung atau situ), lemah laki (tanah tandus yang curam), kebakan badak (rawa) dan hunyur (bukit kecil).

Beberapa kelompok masyarakat adat tetap konsisten mempraktikkan pengelolaan tata ruang lokal dengan cukup baik. “Masyarakat dulu hidup dengan aturan dan pamali (larangan). Sehingga keteraturan itulah yang menyelamatkan sampai saat ini,” ujar Abah Widya, Sesepuh Kampung Adat Cireundeu yang ditemui Senin (24/2/2020).

Manusia masa kini cenderung kian tidak peduli. Kawasan yang pada masa silam pantang dibangun, tak luput dibangun juga. Dangdan wariyan berfungsi penting sebagai resapan air, misalnya, justru dialihfungsikan. Akibatnya, terjadi kerusakan yang berujung malapetaka.

baca juga : Kearifan Lokal dan Mitigasi Bencana ala Kampung Cikondang

 

Panorama kota Bandung. Jabar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Perlu perhatian

Meskipun perundang-undangan belum mensyaratkan adanya pembangunan berbasis geologi, masyarakat seharusnya sudah menyadari pentingnya data geologi sebelum membangun apa saja, baik perumahan maupun prasarananya. Masyarakat tidak bisa lepas dari persoalan geologi, karena semua pembangunan berpijak pada bumi.

Tantan bilang Badan Geologi telah memetakan zona rawan bencana. Dia mengakui, jika tata ruang berbasis bencana masih diabaikan. Pengurangan risiko bencana belum menjadi dasar pembangunan.

“Terkait kebumian, seharusnya semua paham potensi bencananya. Pemerintah dan warga perlu mengenali daerahnya, seperti jalur air, lahan dan kemiringan tanah. Dimulai dari peta, semua permodelan dapat dijadikan pijakan,” ujarnya.

Dibutuhkan komitmen pemimpin di daerah terkait penataan ruang yang peduli risiko. Kawasan perkotaan di Cekungan Bandung, misalnya, dituntut bersiap menghadapi bencana.

 

Exit mobile version