- Jayagiri adalah hutan tersisa di kaki Gunung Tangkuban Parahu.
- Jayagiri yang menempati secuil lahan di Gunung Tangkuban Parahu, ditetapkan sebagai kawasan wisata berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 528/Kpts/UM-IX, pada 3 September 1979.
- Gunung Tangkuban Parahu adalah paduan legenda Sangkuriang yang mengakar di masyarakat Jawa Barat. Legenda itu menjadi luar biasa, karena kronologinya sesuai dengan letusan Gunung Sunda, pembentukan Danau Bandung Purba, dan lahirnya Gunung Tangkuban Parahu.
- Kini, kondisi hutan alam yang tersisa di kedua kawasan mulai tidak asri lagi.
Jayagiri adalah hutan tersisa di kaki Gunung Tangkuban Parahu. Kawasan teduh di Bandung Utara ini pernah kesohor lewat lagu “Melati dari Jayagiri” yang diciptakan Iwan Abdulrachman dan dipopulerkan kelompok Bimbo awal 1970-an.
Pohon-pohon pinus menjulang tinggi, menjadikan tempat ini nyaman untuk pelesiran. Hawa dingin dan hening seketika membekap sesaat melintasi hutan.
Saya bertemu belasan pendaki di sini. Mereka hendak menuju puncak Gunung Putri, sekitar dua jam. Di puncak itu, pemandangan lanskap Cekungan Bandung terlihat, di ketinggian sekitar 1.600 meter dari permukaan laut.
Jayagiri di awal Juli 2019, terasa berbeda. Di sepanjang jalan setapak, sulit sekali ditemukan burung atau tupai yang di pepohonan. Tutupan hutan begitu mudah ditembus cahaya matahari. Tak banyak yang tahu bila hutan Jayagiri mulai terancam. Lahan resapan air yang ada mulai menipis.
Engkos [59], warga setempat, saat mengarit rumput bilang, kondisi pepohonan tak serindang 20 tahun lalu. Kini, sebagian hutannya keropos akibat penebangan yang masih terjadi.
Baca: Tangkuban Parahu, Bukan Hanya Letusan Freatik yang Ditakuti
Gunung, hutan, dan budaya
Jayagiri menempati secuil lahan di areal Gunung Tangkuban Parahu. Wilayah ini ditetapkan sebagai kawasan wisata berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 528/Kpts/UM-IX, 3 September 1979 silam. Luas taman wisata alam [TWA] hutan konservasi ini mencapai 370 hektar, bagian Cagar Alam Tangkuban Parahu yang luasnya 1.290 hektar.
Tangkuban Parahu terikat erat dengan legenda Sangkuriang, bagi masyarakat Jawa Barat. Kawahnya bisa dilihat dengan mata telanjang. Gunung ini juga dikenal sebagai tempat para dewa.
Secara etimologis, kata parahu menunjuk kata para yang artinya banyak dan hu artinya dewa atau kebaikan. Bagi etnis Sunda Wiwitan, gunung berapi merupakan sumber kehidupan, sehingga memiliki tempat terhormat sebagai guru. Sebagaimana ungkapan gunung adalah guru nu agung atau guru besar.
Hal itu diinterprestasikan dalam ritual adat, misalnya, Ngertakeun Bumi Lamba yang digelas di gunung ini. Ritual tahunan ini digelar bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru kembali dari paling utara Bumi menuju selatan.
Ini terjadi pada bulan Kapitu (bulan ke-7), dalam hitungan Suryakala, kala ider [kalender] Sunda. Ritual pertanda peralihan musim.
Salah satu penyelenggara upacara, Rakean Pitara, menuturkan upacara tersebut merupakan bentuk hubungan harmonisasi antara manusia, alam, dan pencipta-Nya. Rajah atau medium dari Ngertakeun Bumi Lamba ini memakai simbol-simbol pandangan hidup urang Sunda.
Ngertakeun Bumi Lamba bertujuan menjalankan pesan leluhur yang menitipkan tiga gunung, sebagai paku alam [sebagai tempat suci]. Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Wayang, dan Gunung Gede adalah amanat yang harus dijaga sebagai tempat “kabuyutan”.
“Gunung adalah sumber kehidupan paling mendasar manusia, meliputi air, udara dan tanah,” kata Rakean.
”Cerita dan kearifan lokal yang mengakar di Kebudayaan Sunda bersumber pada Gunung Tangkuban Parahu. Jika terjadi kerusakan, sama halnya dengan merusak tatanan Budaya Sunda,” lanjutnya.
Baca: Foto: “Ngertakeun Bumi Lamba” Tradisi Sunda Bersenyawa dengan Bumi
Dikisahkan, Sangkuriang yang ingin menikahi ibunya, Dayang Sumbi, diminta membuat sebuah danau dan perahu, dan membendung Ci Tarum dalam satu malam.
Bahan perahu berasal dari pohon lametang di sebelah timur. Pohon ditebang dan tumbang ke arah barat. Sisa tunggulnya kemudian menjadi Gunung Bukit Tunggul. Runtuhnya pohon begitu dahsyat sehingga menimbulkan gempa.
Sisa batang yang runtuh memanjang barat timur menjadi Sesar Lembang. Bagian ranting dan batang pohon dalam bahasa Sunda disebut Rangrang, diinterpretasikan sebagai Gunung Burangrang. Kejadian ini terjadi sebelum terbentuknya perahu.
Dayang Sumbi menggagalkan upaya Sangkuriang dengan mengibarkan selendang, seketika itu semburat fajar menyingsing di ufuk timur. Pertanda usaha tidak berhasil.
Legenda ini dianggap ada kesesuaian dengan penelitian. Kronologinya, sama dengan kejadian letusan Gunung Sunda, pembentukan Danau Bandung Purba, dan lahirnya Gunung Tangkuban Parahu.
Baca: Kawasan Cekungan Bandung Terpuruk, Akibat Rencana Pembangunan Buruk?
Mengenai sejarah yang dibalut cerita rakyat tersebut, Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung, T. Bachtiar, mengamini jika cerita itu sangat bersinggungan erat dengan kehidupan masyarakat Sunda.
Sebelumya, R.W. van Bemmelen, geolog Belanda dalam catatannya menunjukkan, terpana dengan kisah Sangkuriang. Menurut dia, cerita Sangkuriang cocok dengan historis pembentukan Danau Bandung dan letusan besar Gunung Tangkuban Parahu. Bahkan, yang lebih menarik perhatiannya adalah toponimi atau penamaan wilayah begitu erat kaitannya dengan legenda Sangkuriang.
Di tubir ancaman
Kini, Jayagiri, Tangkuban Parahu, dan kawasan Bandung Utara jadi sandaran hidup jutaan orang. Keberadaan ekosistem yang tercipta akibat proses vulkanik ini begitu vital. Kawasan ini memasok 60 persen sumber air bagi wilayah Cekungan Bandung. Kerusakan ekologis di sini berarti ancaman bagi warga Bandung.
Menurut data Walhi Jabar, Cekungan Bandung sekarang sudah dikuasai 350 izin pembangunan perumahan, hotel, restoran, dan lain-lain yang dikeluarkan pemerintah kota/kabupaten. Padahal, perizinannya bermasalah.
Di sisi lain, lahan terbangun di Cekungan Bandung terus meluas seiring laju pertambahan penduduk dan perkembangan perkotaan yang nyaris tak terkendali.
Berdasarkan Sistem Informasi Pemanfaatan Tata Ruang [Sifataru], Cekungan Bandung merupakan wilayah topografi berbentuk cekungan dengan luas kurang lebih 343.087 hektar. Bagian terendahnya merupakan dataran seluas 75.000 hektar dengan ketinggian 650 m hingga 700 m di atas muka laut. Cekungan Bandung dikelilingi banyak gunung dengan yang tingginya mencapai 2.000 m di atas muka laut.
Wilayah perencanaan Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung secara administratif meliputi 5 [lima] wilayah administrasi, yaitu: Kabupaten Bandung [176.812 ha], Kabupaten Bandung Barat [130.577,40 ha], sebagian Kabupaten Sumedang [Kecamatan Cimanggung, Tanjungsari, Sukasari, Jatinangor, Rancakalong, dan Pamulihan] seluas 15.486 ha, Kota Cimahi [4.023 ha], dan Kota Bandung [16.729,65 ha] sebagai kota inti.
Harianto Kunto dalam buku Wajah Bandung Tempo Doeloe menyebutkan, Ramalan Jayabaya di masa Kerajaan Padjadjaran agaknya menjadi kenyataan. Ramalan itu menyebutkan, Bandung heurin ku tangtung atau Bandung akan susah untuk berdiri [akibat padatnya penduduk].
Kondisi cadangan air berkurang. Keadaan air tanah di Cekungan Bandung pun diprediksi semakin turun karena air hujan sebagai sumber air tanah semakin sulit terserap. Jika tidak diantisipasi, persoalan menurunnya curah hujan akan memicu bencana ekologis, krisis air bersih terjadi di Kota Bandung dan sekitar.