Mongabay.co.id

Seputar Dugaan Sungai Tercemar Limbah Sawit di Mamuju Tengah

 

 

Akhir Januari lalu, saya berkunjung ke Desa Barakkang, Kecamatan Budong-budong, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. Pada Mei 2019, ketika air surut, warga Barakkang menemukan ikan mati di aliran Sungai Lumu, yang mengitari desa ini. Dugaan warga, ikan itu mati karena limbah sawit. Pencemaran sungai ini juga jadi perhatian Gubernur Sulawesi Barat.

“Dulu, kita coba laporkan,” kata Bahrun Ratte, Kepala Desa Barakkang, saat ditemui di rumahnya. “Saya ndak berani katakan itu masalah karena pencemaran. Cuma kita cari tahu, dari mana sumbernya, hingga ikan dan penghuni sungai bisa kayak keracunan. Apakah karena faktor perubahan alam atau apa?”

Baca juga: Nasib Warga Mamuju Tengah Hidup di Sekitar Pabrik Sawit [Bagian 1]

Bahrun tak sekadar menuduh. Dia bersama warga Barakkang melacak jejak limbah yang menyebabkan air sungai menghitam kala itu. Menyusuri sungai dengan perahu, Bahrun menemukannya.

“Yang sebagian bau ini cuma dari muara Sungai Tinali.”

Sungai Tinali, anak Sungai Lumu. Sungai ini memiliki banyak cabang, salah satu dari Tinali. Di terusan besarnya, menuju Tommo, Mamuju. Di sana, ada pabrik sawit milik PT. Manakarra Unggul Lestari (MUL), sudah beroperasi sejak lama.

Sepanjang Sungai Tinali, kata Bahrun, ada kebun sawit milik warga dan milik PT. Wahana Karya Sejahtera Mandiri (WKSM), anak usaha KPN Plantation. Bahrun bilang, dari situlah muasal limbah berbau itu.

“Sepanjang sungai ini (menunjuk foto sungai) itu kebun sawit. Ada juga ia (WKSM) bikin bendungan di sana, waktunya masuk ke situ bau,” kata Bahrun. “Waktu itu, kita sama-sama turun sama orang Wahana. Dia juga seolah-olah heran.”

Baca juga: Nasib Warga Mamuju Tengah Kala Sungai Diduga Tercemar Limbah Sawit [Bagian 2]

Berbekal temuan Bahrun. WKSM lalu diadukan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Mateng. Aduan warga terkait dugaan pencemaran sungai hingga ikan dan biota sungai mati.

DLH Mateng menindaklanjuti aduan warga Barakkang. Dia mengeluarkan surat bernomor 790, pada 14 Mei 2019, ditandatangani Sekretaris Daerah Mateng, Askary.

 

Jalan poros Mamuju Tengah. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Kata perusahaan?

“Tidak ada limbah Pabrik WKSM (Wahana) yang meluap dari kolam yang belum memenuhi baku mutu. Limbah yang mengalir ke badan air sudah memenuhi standar yang ditentukan pemerintah daerah,” kata Surahman Saad, Manager Social, Security, Legal WKSM , Jumat (21/2/20).

Dia merujuk Peraturan Gubernur Sulbar Nomor 32/2015) soal biochemical oksigen demand (BOD) di bawah 100. “Limbah yang dibuang itu juga rutin dianalisa ke laboratorium yang terakreditasi.”

Surahman mengklaim, limbah cair dari pabrik CPO milik WKSM, lepas ke Sungai Budong-budong dengan izin pembuangan limbah cair ke media lingkungan. “Bukan Sungai Barakkang (nama lain Sungai Lumu) seperti yang dikeluhkan masyarakat.”

Dia memberi saya peta yang menunjukkan bagaimana WKSM melarung limbah ke sungai.

Dari areal pabrik, limbah dibuang ke Sungai Bulurembu, kemudian melewati tepi kebun sawit milik Wahana sebelum akhirnya ke Sungai Budong-budong. Jarak antar Sungai Budong-budong dari pabrik WKSM yang berlokasi di Tobadak, cukup dekat.

“Keliru jika mengatakan limbah WKSM yang mencemari lingkungan. Karena badan air bermuara pada sungai yang berbeda dan elevasi dari sungai Budong-budong lebih rendah dari pada Sungai Barakkang,” kata Surahman.

WKSM, kata Surahman, juga tak memanfaatkan ulang limbah sebagai pupuk di kebun mereka, karena pabrik tak mengantongi izin itu.

Sebelum CPO pabrik WKSM dipasok ke kilang timbun di Kalimantan Timur, olah minyak sawit mentah ini menghasilkan dua jenis limbah: cair dan padat.

Untuk limbah cair, merupakan hasil olah limbah dari tandan kosong sawit dan saat proses penjernihan CPO. Dari kedua limbah berbeda asal ini bisa jadi pupuk. Untuk limbah cair dari proses penjernihan CPO mesti dibuang ke media lingkungan sesuai ketentuan pemerintah.

Sebelum dibuang, limbah terlebih dahulu disimpan di kolam penampungan sementara. Di WKSM, mereka memiliki sembilan kolam.

“Pengelolaan limbah gunakan sistem konvensional dengan aktivitas bakteri anaerob untuk menurunkan nilai BOD dan COD (chemical oxygen demand-red) sesuai baku mutu dengan retensi 180 hari,” katanya.

Selama beroperasi, kata Surahman, WKSM rutin mengaudit baku mutu limbah saban bulan setelah analisa keluar dari laboratorium terakreditasi.

“Pihak yang mengaudit dari dalam, internal management yaitu, Tim Sustainablity WKSM dan laporan persemester dilaporkan secara online ke Dinas Lingkungan Hidup.”

 

imeline WKSM dan sumber pencemaran di Sungai Barakkang.

 

Temuan DLH Sulbar dan Gakkum LHK

Saat verifikasi, UPTD Laboratorium Lingkungan DLH Sulbar, menemukan ada limbah cair melebihi batas baku mutu, pada tiga titik, yaitu, Sungai Lumu, Tinali dan bawah Jembatan Barakkang. Dari hasilnya, ada empat parameter yang tak memenuhi syarat, sesuai PP Nomor 82/2001Sungai Lumu klasifikasi sungai kelas II.

UPTD menemukan, biochemical oksigen demand (BOD) di Lumu mencapai 6,73 mg/l, melebihi baku mutu 3 mg/l. Di bawah Jembatan Barakkang menunjukkan angka 4,77 mg/l, sampel di Sungai Tinali, tidak melebihi baku mutu: 0,45 mg/l.

Bila angka BOD tinggi, maka makin rendah oksigen terlarut. Kemampuan air untuk pemulihan alami banyak tergantung pada tersedianya oksigen terlarut.

Untuk parameter warna, di tiga titik UPTD menyebut, tidak memenuhi syarat. Untuk parameter bau, pada tiga titik UPTD menyatakan, hanya Sungai Lumu, yang memenuhi syarat.

Parameter dissolved oksigen (DO)—kebalikan BOD, UPTD menyebut, kalau titik Sungai Tinali, tak memenuhi syarat baku mutu, yaitu 4 mg/l. Di titik itu, UPTD hanya menemukan 0,68 mg/l.

Selain UPTD DLH Sulbar, Gakkum LHK Sulawesi juga mendapat temuan lain dari hasil uji laboratorium BBIHP Makassar pada Mei lalu.

“Ada yang bahkan berkali lipat dari syarat baku mutu,” kata Kamil, verifikator Gakkum LHK Sulawesi saat ditemui di Makassar.

Setidaknya , kata Kamil, ada empat parameter melebihi baku mutu.

Untuk parameter Klorida (Cl), di titik hilir sungai kebun—merujuk hasil laboratorium, menunjukkan angka 4,77 seharusnya tak melebihi angka satu. Kadar Kalsium Karbonat (CaCO3) juga ditemukan tinggi pada titik hilir sungai kebun capai 47,50, hulu sungai dalam kebun 42,18, dan Sungai Budong-budong 38,00.

BOD seharusnya hanya 2 mg/l ditemukan pada tiga titik dengan angka melebihi dari baku mutu. Di Hulu Sungai, dalam kebun 4,20 mg/l, di hilir sungai kebun 20,54 mg/l, Sungai Budong-budong 22,04mg/l.

Untuk COD, hasil lab juga menunjukkan melebihi baku mutu seharusnya 10 mg/l. Di titik Hulu Sungai dalam kebun 31,60 mg/l, hilir sungai kebun 61,92 mg/l, sementara di Sungai Budong-budong 77,59 mg/l.

Meski begitu, Gakkum, kata Kamil, tak dapat membuktikan aduan warga Barakkang. Hasil laboratorium, katanya, tak pasti menampilkan asal limbah itu.

“Karena di daerah itu terlalu banyak aktivitas perkebunan dan macam-macam.”

Dia bilang, walau aduan tidak terbukti, temuan itu tetap ditindaklanjuti dalam beberapa rekomendasi, perbaikan administrasi bagi WKSM seperti, menetapkan koordinat penataan pengelolaan limbah, memasang alat ukur debit, dan beberapa hal pelanggaran administratif.

Juga ada temuan, WKSM tak mematuhi baku mutu kualitas air limbah dan kualitas air sungai pada seluruh parameter sesuai syarat dalam peraturan berlaku.

“Dari temuan Gakkum Mei 2019, semua temuan sudah diselesaikan,” kata Surahman. Dia memberikan saya laporan tindaklanjut itu. Dalam laporan itu, temuan Gakkum soal tidak mematuhi baku mutu telah ditindaklanjuti perusahaan, dengan uji kembali.

Pertama, kata Surahman, pabrik WKSM telah memperbaiki infrastruktur kolam limbah, pada saat kunjungan Gakkum, kolam limbah sedang proses perbaikan.

Kedua, setiap bulan pabrik WKSM rutin analisa pengujian limbah cair ke laboratorium yang sudah terakreditasi sebagai dasar pembuangan limbah ke badan air. Ketiga, setiap semester rutin laporan secara online ke Dinas Lingkungan Hidup.

Kala ditanya apa upaya WKSM agar temuan Gakkum tak terulang. “Memberikan penjelasan persuasif kepada masyarakat sekitar terkait pengolahan limbah pabrik dan improvisasi pengolahan kolam limbah untuk mendapatkan hasil lebih baik.”

WKSM, kata Surahman, tidak membakar lahan dan mengurangi emisi dari dalam pabrik dengan listrik PLN untuk kebutuhan domestik.

Meski pencemaran sungai di Mateng jadi atensi Gubernur Sulbar dan fokus Forum DAS yang dibentuk Pemprov Sulbar, masalah ini belum tertangani serius.

“Kita ada rapat koordinasi dengan sejumlah pihak terkait persoalan DAS dan selalu ada rekomendasi,” kata Syarif, Ketua Pelaksana Harian Forum DAS Sulbar. “Tapi dijalankan atau tidak rekomendasi itu, tergantung SKPD (satuan kerja perangkat daerah-red) masing-masing.”

Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menilai DLH harus memaksimalkan fungsi pengawasan. “Sebaiknya dua-duanya di-push. DLH kabupaten kalau cakupan satu kabupaten, (DLH) provinsi kalau dalam lintas kabupaten,” katanya.

Dia bilang, perusahaan harus punya rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungann hidup, juga upaya pengelolaan lingkungan hidup maupun upaya pemantau lingkungan hidup. Selain itu, katanya, juga memastikan DLH daerah mengawasi.

 

 

Keterangan foto utama:  Syaehar, penangkar sidat yang alami kekrugian setelah sungai tercemar. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version