Mongabay.co.id

Sampah Plastik, Laut Tercemar, dan Target SDGs

Melindungi kehidupan ikan purba Coelacanth adalah tugas kita bersama, termasuk membebaskan laut dari sampah plastik. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional [PPN]/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bappenas] Republik Indonesia telah menyelenggarakan konferensi tahunan SDGs, pada 8-9 Oktober 2019. Kegiatan bertema “Sustainable Ocean for Improving Prosperity and Reducing Inequality” ini bertujuan sebagai refleksi pengalaman sekaligus merumuskan agenda bersama.

Sustainable Development Goals [SDGs] merupakan dasar pijakan Pemerintah Indonesia dalam melakukan pembangunan berkelanjutan. Ada 17 tujuan utamanya dan perlindungan keberlanjutan eksosistem laut menjadi elemen SDGs ke-14.

Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB] telah menetapkan target mendesak terkait SDGs urusan ekosistem laut tersebut. Targetnya, pada 2020 ini, ada upaya mengatasi dampak merugikan tersebut guna tercipta laut yang sehat dan produktif; serta melakukan konservasi setidaknya 10% wilayah pesisir. Sementara pada 2025, targetnya adalah mengurangi polutan laut termasuk sampah plastik.

Di Indonesia, sampah plastik kondisinya memang memprihatinkan. Berkaca pada riset Jambeck [2015], sampah plastik di laut Indonesia menempati urutan ke dua dunia [setelah Tiongkok]. Atau, nomor satu bila dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan menengah kebawah dengan kuantitas mencapai 187,2 juta ton.

Baca: Cerita Pondok Pesantren Anti Sampah Plastik di Sumenep

 

Sampah yang mengotori laut merupakan nyata kehidupan biota laut. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Sumber sampah

Kontribusi sampah plastik laut berasal dari daratan dan juga kiriman dari wilayah lain. Di tingkat global, sampah plastik yang dibuang ke laut mencapai 8 juta metrik ton. Ini tak dapat dihindari, mengingat sifat konektivitas area laut. Secara nasional, Badan Pusat Statistik [BPS] menyebutkan dari 64 juta ton sampah plastik per tahun, sekitar 3,2 juta ton dibuang ke laut.

Merunut jenisnya, sampah plastik ini berasal dari perilaku konsumtif. Berdasarkan sampling PPLH Bali di beberapa sekolah, gelas plastik menempati urutan terbesar [26%], disusul plastik bening [25%], sendok plastik [20%], sedotan plastik [11%], kresek [9%], dan mika [5%].

Temuan ini serupa dengan International Coastal Cleanup [ICC] Taiwan yang pada 2018 melakukan identifikasi di sepanjang garis pantai Taiwan. Hasilnya, sedotan plastik, botol plastik, dan tutup botol, ditemukan sebagai jenis sampah dominan.

Sampah plastik di laut, selain berpengaruh pada keberlangsungan ekosistem dan kesehatan makhluk hidup, juga berdampak pada aspek sosial ekonomi. Scientific and Technical Advisory Panel [STAP] pada 2011 menyatakan, di wilayah negara-negara APEC, lebih dari 260 spesies telah terdampak dengan nilai kerugian mencapai 1.265 juta USD per tahun, terkait sektor perikanan, perkapalan, dan pariwisata.

Baca: Sampah Plastik Indonesia Nyasar sampai ke Pantai Phuket Thailand. Kok Bisa?

 

Seorang anak bermain di sela-sela limbah dan sampah di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara pada April 2018. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Mengurangi

Meski ada semboyan mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang atau 3r [reduce, reuse and recyling], akan tetapi upaya reduce [mengurangi] sampah harus menjadi prioritas. UNEP pada 2017 menyatakan, dari 51 triliun partikel mikroplastik di laut, hanya sebagian kecil yang mampu didaur ulang. Demikian juga Statistik Lingkungan Hidup Indonesia [2018] yang menunjukkan, rumah tangga yang melakukan daur ulang sampah hanya 1,2%.

Indonesia sebenarnya telah merespon pengurangan sampah dengan mengeluarkan Perpres 97/2017 yang memasang target pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebesar 30% pada 2025.

Demikian juga Taiwan yang telah menyadari ini dengan melakukan pengurangan sampah plastik dengan kebijakan pembatasan penggunaan sedotan plastik sekali pakai.

Baca juga: Bisakah Indonesia Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen pada 2025?

 

Warga mencari sampah di kawasan sungai Brantas saat air sungai surut di musim kemarau. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Mekanisme

Pemerintah Indonesia secara umum telah mengatur pengelolaan sampah melalui UU 18/2008. Namun, bicara sampah plastik yang dominasinya akibat aktivitas konsumsif, maka sesungguhnya menggatungkan nasib pada pemerintah saja tidak cukup. Sebaliknya, menekankan pada masyarakat selaku konsumen sebagaimana terkesan selama ini, juga tak adil. Karena, ada pihak industri selaku produsen yang juga berperan.

Pengurangan sampah plastik dapat dilakukan dengan memberlakukan tiga mekanisme yaitu akulturasi, persuasif, dan koersif.

Akulturasi adalah menggunakan perangkat pembiasaan untuk menghasilkan pemahaman kognitif. Belajar dari Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep yang dikenal sebagai pesantren anti-sampah plastik, alkulturasi diterapkan dengan membudayakan suguhan minuman menggunakan gelas ketimbang air minum kemasan plastik, sebagaimana jamaknya terjadi di perhelatan kegamaan di pedesaan saat ini. Tak dipungkiri, saat ini telah terjadi pergeseran, kegiatan keagamaan seperti tahlilan, pengajian, dan buka puasa bersama sering menggunakan air kemasan yang masif.

 

Sekitar 11 persen dari total sampah di Bali berakhir di lautan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana dengan mekanisme persuasif? Pembelajaran dengan membentuk rasa malu telah dilakukan East West Market di Vancouver, Kanada. Meski toko ini menyediakan kantong belanja seharga 5 sen, namun ada pesan memalukan ukuran besar di kantong itu. Sehingga, pembeli akan berpikir untuk mempersiapkan kantong sendiri.

Pola ini bisa diterapkan. Masyarakat secara mandiri bisa diajak untuk dapat melakukan identifikasi dan mempublikasikan merek kemasan sampah plastik yang ada di lingkungannya. Ini berguna memberikan penekanan pada industri [produsen] untuk ikut bertanggung jawab atas kemasan produknya. Sebagaimana Pasal 15 UU 18/2008 disebutkan bahwa produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya, yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.

Sementara mekanisme koersif dengan menggunakan perangkat paksaan untuk menghasilkan kepatuhan. Langkah Pemprov Bali melalui Peraturan Gubernur Nomor 97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, dapat diadopsi. Regulasi ini diyakini berpengaruh pada penurunan 40% produk plastik di Bali.

Pemberlakuan mekanisme selayaknya komprehensif, karena meski menggunakan instrumen berbeda dan memberikan hasil berbeda pula namun tetap terkait. Sehingga, sampah plastik yang kian menjadi monster dapat tereduksi signifikan untuk menjamin keberhasilan SDGs.

 

* Ihsannudin, Dosen Pemberdayaan Masyarakat untuk Konservasi, Departemen Agribisnis Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan, Jawa Timur, dan Kader Konservasi Kementerian LHK

** Zeng Sih Ping, Peneliti Konservasi Laut, National Sun Yat-Sen University, Kaohsiung, Taiwan. Tulisan ini opini penulis

 

 

Exit mobile version