Mongabay.co.id

Protes Masyarakat Banyuwangi Belum Yakinkan Gubernur Jatim Cabut Izin Perusahaan Tambang Emas

 

 

Warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, mengakhiri unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Jawa Timur, setelah perwakilan mereka bertemu Gubernur di Gedung Negara Grahadi di Jalan Gubernur Soerjo, Surabaya, Jumat [28/2/202] petang.

Warga menuntut pencabutan izin usaha pertambangan [IUP] PT. Bumi Suksesindo [BSI] dan PT. Damai Suksesindo [DSI], karena dinilai melakukan pelanggaran peraturan dan merusak lingkungan.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pun menemui 10 perwakilan penolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan itu. Mereka didampingi perwakilan Walhi Jawa Timur dan LBH Surabaya. Pertemuan dihadiri juga Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Sekretaris Daerah Provinsi, serta pejabat terkait.

Usai pertemuan, keterangan pers disampaikan oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Provinsi Jawa Timur, Setiajid. Dia mengatakan, pihaknya tidak bisa langsung memenuhi tuntutan warga, tapi akan melakukan evaluasi dengan mengirimkan tim khusus terhadap dugaan pelanggaran.

“Pencabutan mungkin tidak kami lakukan, tapi evaluasi dijalankan,” jelasnya.

Baca: Protes Tambang Emas: Cari Keadilan, Warga Banyuwangi Kayuh Sepeda ke Surabaya

 

Spanduk tolak tambang dibentangkan di pagar depan Kantor Gubernur Jawa Timur. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Inspektur tambang dan tim pengawas tambang Jawa Timur akan diturunkan ke lapangan. Menurutnya, pengawasan operasional telah dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], sehingga kecil kemungkinan terjadi pelanggaran.

“Apakah ada permukiman yang kena eksplorasi? Apakah ada kawasan untuk evakuasi bencana? Semua akan dilihat,” terangnya.

Upaya Gubernur Jawa Timur menerima perwakilan warga guna menerima masukan dan informasi sebanyak mungkin, karena ada juga yang pro-tambang di Banyuwangi.

Menurut Setiajid, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perusahaan yang terbukti melakukan pelanggan akan memperoleh sanksi, diawali teguran administrasi.

“Pemerintah Jawa Timur siap menjadi fasilitator mempertemukan perusahaan dengan warga dan pendamping,” ujarnya.

Sebelumnya, warga Dusun Pancer dan sekitar telah melakukan aksi kayuh sepeda [ngonthel] dari Banyuwangi ke Surabaya, 15 hingga 19 Februari 2020. Mereka melakukan aksi pertama di depan Kantor Gubernur Jawa Timur pada 20 Februari, dilanjutkan mogok makan pada 21 Februari.

Baca: Kala Warga Banyuwangi Tolak Tambang di Gunung Salakan

 

Aksi mogok makan warga Pancer, Banyuwangi, menuntut pencabutan izin usaha pertambangan PT. BSI dan DSI. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Tidak puas

Nur Hidayat, juru bicara dan perwakilan warga tolak tambang, mengaku tidak puas dengan hasil pertemuan ini.

“Kami ingin izin dua perusahan tersebut dicabut. Terus terang kami kecewa karena Gubernur tidak bersikap tegas. Soal review, Gunung Tumpang Pitu itu sudah rusak, kami ingin diperbaiki seperti semula,” ungkapnya.

Penentuan izin, menurut Hidayat, tidak pernah dibicarakan pemerintah kepada masyarakat setempat. “Tiba-tiba sudah masuk konsesi begitu saja, rumah kami pun dimasukkan. Hari ini mau dicabut saja kok pakai dikaji,” paparnya.

Konflik tambang di Gunung Tumpang Pitu, serta baru-baru ini di Gunung Salakan, mengancam sekitar 1.500 kepala keluarga atau 6.000 jiwa yang hidup di Dusun Pancer dan sekitar. Warga, kata Hidayat, akan tetap mempertahankan lingkungan hidup mereka.

“Kami tidak tahu, apakah nantinya terancam digusur atau tidak. Kami memilih untuk bertahan,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Jawa Timur, Rere Christanto menegaskan, pemerintah harus segera melakukan peninjauan kembali IUP perusahaan yang diduga telah melakukan pelanggaran. Bila terbukti bersalah, harus dicabut izinnya.

Review tetap dijalankan, apakah pelanggaran-pelanggaran itu bisa berujung pencabutan dan sebagainya. Hak dan wewenang ada di Gubernur tentu saja. Kita berharap, Gubernur sungguh-sungguh bertindak atas apa yang dilaporkan warganya,” katanya

“Kami ingin mempertahankan ruang hidup untuk anak cucu kami. Apalagi yang sekarang itu di lingkup [Gunung) Salakan, tempat evakuasinya tsunami. Kalau sampai ditambang, kemana kami berlindung,” ungkap Siwi Lestari, warga Dusun Pancer.

Baca juga: Jatam: Batubara Masih jadi Lokomotif, Oligarki Terus Bayangi Sektor Tambang

 

Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur menemui warga Pancer yang menolak tambang emas. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Diterjang tsunami

Walhi Jawa Timur mencatat, kawasan Banyuwangi selatan pernah diterjang tsunami, lokasi yang sekarang menjadi area pertambangan. Bila IUP perusahaan tidak dicabut, Walhi memperkirakan akan lebih banyak korban jiwa meninggal dunia bila tsunami kembali terjadi.

“Catatan kami, tahun 1994, di kawasan yang sekarang menjadi lokasi pertambangan pernah diterjang tsunami hingga menelan korban 200 jiwa lebih. Jika pertambangan ini diteruskan, izin 11.000 [hektar] untuk BSI dan DSI, tentunya potensi bencana meningkat,” ungkap Mohammad Afandi, Kepala Divisi Advokasi, Walhi Jawa Timur.

Senior Manager Corporate Communication, Merdeka Copper Gold, Tom Malik mengatakan, rencana eksplorasi tambahan PT. DSI di wilayah IUP di tujuh bukit di Banyuwangi selatan, merupakan kelanjutan operasional pertambangan yang telah dilakukan dua tahun terakhir. Warga sekitar melakukan aksi penolakan selama dua bulan terakhir, dengan mendirikan tenda dekat lokasi pertambangan. Merdeka Copper Gold merupakan induk perusahaan PT. BSI dan PT. DSI.

Tuduhan warga penolak tambang mengenai aktivitas tambang emas yang mencemari lingkungan dan air, berkurangnya sumber mata air, serta merusak benteng pertahanan tsunami, dibantah Tom Malik.

Tom mengatakan, berkurangnya sumber mata air akibat aktivitas tambang tidaklah berdasar. Air yang digunakan untuk operasional berasal dari enam waduk tadah hujan yang dibangun di sekitar pertambangan. Sedangkan kekhawatiran terjadinya bencana akibat hilangnya Gunung Tumpang Pitu dan Salakan, tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

“Pengurangan tinggi bukit memang akan terjadi, namun tidak mengikis habis dan menyisakan sekitar 200 m dpl dari 380 m dpl saat ini. Hanya berkurang 100-an meter. Kami terbuka untuk mendiskusikan masalah ini,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version