Mongabay.co.id

Indikasi Kemunduran Tata Kelola Kelautan dan Perikanan Mulai Terlihat

 

Komitmen Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia dipertanyakan sejumlah pegiat lingkungan dan pemerhati sektor kelautan dan perikanan. Janji Jokowi saat menjabat Presiden periode pertama pada 2014 silam, dinilai sudah memudar saat ini.

Kelompok LSM yang menamakan diri Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) itu mempertanyakan arah kebijakan tata kelola kelautan dan perikanan Indonesia pada kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden periode kedua.

Di mata KORAL, tata kelola kelautan dan perikanan pada periode kedua (2019-2024) terlihat hanya fokus pada percepatan investasi dengan menggandeng banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Tata kelola seperti itu, dinilai akan berpotensi menimbulkan krisis ekologi dan ketidakadilan sosial.

“Hal ini tercermin dari hilangnya visi dan misi Indonesia sebagai poros maritim dunia pada periode kedua ini,” demikian pernyataan KORAL yang dibacakan di hadapan media di Jakarta, Selasa (3/3/2020).

Kepada media, KORAL memperkenalkan diri sebagai koalisi yang terdiri dari Destructive Fishing Watch (DFW), EcoNusa, Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Pandu Laut Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi).

baca : KIARA: Kinerja Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Diragukan

 

Anggota Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) dalam deklarasinya di Jakarta, Selasa (3/3/2020). Dari kiri ke kanan : Abdi Suhufan (DFW), Leonard Simajuntak (Greenpeace Indonesia), Fadilla Octaviani (IOJI), Susan Herawati (KIARA), Edo Rakhman (Walhi), dan Wiro Wirandi (Econusa). Foto : Greenpeace Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan pada kesempatan itu menyatakan, arah kebijakan Pemerintah Indonesia untuk lima tahun mendatang sangatlah mengkhawatirkan. Ekosistem laut yang menjadi jantung kehidupan industri perikanan skala kecil dan besar, dinilai sudah tidak diperhatikan lagi.

Alih-alih memperhatikan ekosistem laut, justru saat ini Pemerintah Indonesia dinilai terlalu fokus untuk mengembangkan industri perikanan nasional dengan cara mengundang investor dari banyak negara. Cara tersebut, dinilai hanya akan membebani ekosistem laut dan tinggal menunggu waktu untuk kembali rusak.

“Untuk saat ini saja, ekosistem terumbu karang semakin memburuk. Tapi tidak terlihat ada upaya untuk memperbaikinya,” ungkapnya.

Jika investasi menjadi arah kebijakan utama untuk lima tahun mendatang, maka itu sama saja dengan memicu potensi besar perampasan ruang hidup dan mata pencaharian nelayan tradisional, nelayan skala kecil, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

 

Perlindungan

Khusus untuk perlindungan ekosistem pesisir dan laut, saat ini memang menjadi pekerjaan yang sangat menantang. Selain terumbu karang, ada padang lamun dan hutan bakau (mangrove) yang juga mengalami degradasi parah dan tak terkendali.

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luasan mangrove yang baik saat ini hanya tersisa 1.671.140,75 hektar, sementara luasan yang rusak mencapai 1.817.999,93 hektar.

“Banyak hal menjadi penyebab rusaknya ekosistem pesisir dan laut, mulai dari reklamasi, alih fungsi lahan, hingga penambangan pasir. Dampaknya cukup besar bagi nelayan skala kecil,” sebutnya.

Di sisi lain, saat arah kebijakan tata kelola diubah, justru memunculkan ancaman lain pada sektor kelautan dan perikanan. Penanda itu semakin jelas, karena arah kebijakan sekarang yang merujuk pada aspek utama untuk investasi, dinilai akan mengabaikan aspek lain seperti perlindungan daya dukung ekosistem.

“Selain itu juga mengabaikan kepentingan kelompok masyarakat marjinal di sektor kelautan dan perikanan. Ancaman itu muncul setelah Pemerintah menggodok rancangan Undang-undang Cipta Kerja yang mengisyarakat percepatan investasi di dalamnya,” jelasnya menyebut RUU yang populer disebut Omnibus Law itu.

baca juga : Janji Edhy Prabowo untuk Sektor Kelautan dan Perikanan

 

Ilustrasi. Nampak pohon mangrove yang mati karena dampak perubahan pasang surut laut akibat proyek reklamasi Pelabuhan Benoa, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, ancaman yang dirasakan masyarakat pesisir sejak Presiden Jokowi menunjuk Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), kini semakin kuat. Padahal, seharusnya Menteri KP berperan sebagai pelindung sekaligus pengayom untuk masyarakat pesisir.

Menurut Susan, sejak Edhy Prabowo menjabat Menteri KP, ada banyak masalah yang belum terselesaikan dan justru menimbulkan masalah yang baru. Masalah-masalah itu dinilai memperburuk keadaan, di mana pada lima tahun sebelumnya masyarakat pesisir juga sudah merasakan situasi yang sama.

Dari semua itu, Susan menggarisbawahi bahwa Edhy Prabowo saat ini terlalu fokus untuk membuka keran investasi yang luas bagi sektor kelautan dan perikanan. Padahal, dengan liberalisasi sektor tersebut, itu hanya akan memberikan ruang gerak yang bebas untuk investasi dan justru akan menggerus kedaulatan Negara.

Apalagi, kalau kapal-kapal eks asing masuk lagi ke wilayah laut Indonesia, itu hanya akan memberikan ruang gerak bebas bagi mereka. Padahal, dari hasil anev (analisis dan evaluasi) kapal yang dilakukan KKP pada 2015, diketahui kalau 100 persen kapal eks asing itu melakukan pelanggaran.

“Jadi, apakah layak untuk membuka kembali izin bagi kapal (eks) asing?” tutur dia.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Kampanye WALHI Nasional Edo Rakhman mengkritik, Pemerintah yang seharusnya tidak hanya fokus pada pengembangan investasi saja, namun juga perlindungan ekosistem laut.

“Ramah investasi tidak menjawab kebutuhan Indonesia saat ini. Akan ada bencana ekologi besar-besaran di pesisir. Padahal di sana ada sekitar 140 juta penduduk yang bergantung pada laut,” ungkapnya.

perlu dibaca : Diminta Presiden Fokuskan Perikanan Budi daya, Begini Tantangan yang Dihadapi Menteri KP

 

Satu dari empat kapal ikan berbendera Vietnam yang diamankan Kapal Perang RI (KRI) Bung Tomo-357 Koarmada I di Laut Natuna pada Februari 2019. Foto : TNI AL

 

Sorotan

Lebih detil, KORAL menyoroti permasalahan kebijakan kelautan dan perikanan, yaitu :

  1. Belum terbangun sinergi antar penegak hukum dalam operasi keamanan laut untuk mengamankan dan menjaga kedaulatan (sovereignty) dan hak berdaulat (sovereign rights);
  2. Belum efektifnya penerapan multi-rezim hukum, pertanggungjawaban tindak pidana korporasi (corporate criminal liability), dan kolaborasi internasional dalam penanganan kasus, khususnya yang bersifat lintas negara dan terorganisir;
  3. Tahap awal penyusunan RUU Cipta Kerja (Omnibus law) belum melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya, sebagaimana diwajibkan oleh UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
  4. Masih maraknya praktik illegal fishing oleh kapal ikan asing, khususnya di wilayah perbatasan Indonesia dengan neighboring countries, penangkapan yang tidak dilaporkan akibat praktik illegal transshipment di tengah laut, dan penggunaan alat penangkapan ikan yang dilarang;
  5. Indikasi kemunduran tata kelola perikanan, terutama terkait:
  6. Pengiriman nelayan cantrang Pantura ke Natuna bukan merupakan solusi;
  7. Potensi dibukanya keran modal asing dan pengoperasian kapal yang dibangun di luar negeri (asing maupun eks asing);
  8. Pengelolaan   lobster,   penangkapan   benih   lobster   diizinkan   terutama   untuk dibudidayakan di dalam wilayah NKRI;
  9. Pengelolaan produksi dan perdagangan kepiting soka (bakau), dari ukuran 200 gram menjadi 60-80 gram; dan
  10. Pembolehan transhipment (alih muat) ikan di tengah laut.
  11. Tata ruang laut (penetapan wilayah konservasi dan RZWP3K yang memperhatikan WPP, 0-4 mil bagi sebesar-besarnya kesejahteraan nelayan kecil, meninjau kembali zonasi yang ada untuk memberi dukungan dan pengakuan hak kelola serta ruang lebih bagi perikanan skala kecil);
  12. Rendahnya efektivitas kebijakan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan perikanan dan kelautan, terutama dalam aspek pelayanan dan pengawasan;
  13. Lemahnya efektivitas pengendalian dampak aktivitas non-perikanan; dan
  14. Kebijakan pengelolaan belum sepenuhnya berbasis kajian ilmiah.

perlu baca : Keberpihakan Negara pada Investasi di Sektor Kemaritiman

 

Prioritas KKP

Sebelumnya saat rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, Rabu (6/11/2019), Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyampaikan lima program utama yang menjadi turunan dari program kerja prioritas Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024. Kelima program itu, adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM); pemberdayaan dan perlindungan usaha; pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan (SDKP); dan peningkatan pengawasan SDKP.

Kemudian, industrialisasi kelautan dan perikanan; peningkatan usaha dan investasi; penguatan kebijakan dan regulasi berbasis data, informasi, pengetahuan faktual, serta komunikasi dengan stakeholders; dan reformasi birokrasi.

Untuk melaksanakan lima program tersebut, Edhy Prabowo mengatakan akan melakukan berbagai langkah yaitu membangun komunikasi dengan stakeholders kelautan dan perikanan; mengoptimalkan perikanan budidaya; membangkitkan industri kelautan dan perikanan melalui pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dan penguatan sistem karantina ikan; pengelolaan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil; penguatan pengawasan SDKP; serta penguatan SDM dan inovasi riset kelautan dan perikanan.

 

Exit mobile version