Mongabay.co.id

Banjir Lagi, Banjir Lagi, Kapan Setop Banjir?

Foto: Sapariah Saturi

 

 

 

 

***

“Ulah siapa, ini ulah siapa…Ulah hantu ataukah ulah manusia… Hingga air tak mengenali tempatnya…Merendam jalan merendam kampung halaman…Tokai ngambang, sampah berserakan…

Banjir datang, penyakitpun ikut menerjang… (Panu..kadas..kurap..muntaber..kecepirit..kutuair..lestospirosis..kudis)

Hari keminggu, minggu ke bulan…Tahun ke tahun, tak ada perubahan…

Pembangunan datang, menambah deretan kesedihan…Alampun murka. Tak kenali kita…Air bumi keluarnya air mata…Cukuplah sudah, bangsa ini menanggung derita…

Banjir lagi (oi)….banjir lagi (oi)….Kampung kami kebanjiran…Banjir lagi (oi)….banjir lagi (oi)….Kampung kami krendem kebanjiran.”

Lirik lagu Marginal Band bertitel Banjir Lagi ini tampaknya mewakili kondisi yang dialami warga Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur dan berbagai daerah di negeri yang alami banjir dan longsor kala musim hujan. Dalam 2020 ini, awal tahun sudah berawal dengan banjir, dan terus terjadi. Pada 25 Februari lalu, banjir besar juga melanda Jakarta dan sekitar, menewaskan sekitar sembilan orang.

Teh Ica, warga Bendungan Udik, RT 2/RW 4, Karet Semanggi, Jakarta, menceritakan, malam itu seperti biasa memasak berbagai menu untuk dagangan keesokan hari. Dia tak menyangka, akan banjir sampai 1,5 meter. Hujan mulai sekitar pukul 22.30, dan terus hingga pagi hari. Rumah Ica, tak jauh dari pinggir Sungai Krukut.

“Dari jam 2.00, banjir. Saya udah kadung masak. Sudah rapi-rapi, bingung saya juga. Gede-gedenya [banjir] setengah tiga, seperut. Tadi setengah tujuh udah sedada. Sekarang udah seleher. Ini [tetap] dagang udah kadung masak,” katanya di ujung jalan Komplek Polri, Gatot Subroto.

Banjir sudah seleher orang dewasa atau sekitar 1,25-1,5 meter, memaksa Ica dan keluarga serta ratusan warga lain sekitar wilayah itu, mengungsi.

Teh Ica biasa berjualan di tepian jalan Komplek Polri yang berbatasan langsung dengan Kali Krukut. Karena banjir, dia terpaksa mendorong gerobak mencari dataran lebih tinggi. Jalan di Komplek Polri sendiri, tergenang sampai lebih 50 cm pada siang itu, terlihat air kali meluap.

“Biasa hari gini dagangan udah habis. Ini siang gini, masih banyak,” katanya, kala itu sekitar pukul 12.30-an. Dia biasa berdagang sejak pukul 6.00 pagi sampai pukul 10.00 atau 11.00.

Dia berharap, ada bantuan pemerintah atas bencana banjir ini. Barang-barang rumah tangga, sampai pakaian seragam sekolah pun sirna. “Kira kena diganti, baju seragam. Baju seragam kan utama.”

Gang-gang di Jl Mampang, Kelurahan Kuningan Barat, juga banjir, salah satu di RT02/RW02. Edi Latuheru, Ketua RW02, Kelurahan Kuningan Barat, Jakarta Selatan, mengatakan, dalam tahun ini sudah dua kali banjir, awal tahun dan 25 Februari ini.

Dia menilai, banjir ini masalah bersama, dan penganangan juga bersama, seperti kesadaran masyarakat membuang sampah agar tak sembarangan hingga tak menyumbat saluran air yang ada. Di daerah sekitar Mampang, katanya, PT Adhi Karya, berkomitmen untuk membangun saluran air pada 2020 ini.

Dia berharap, kala saluran air lancar, bisa mengurangi genangan air kala musim penghujan datang.

Akhir Februari lalu, di Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan berbagai wilayah, terjadi banjir, dengan ketinggian 50 sampai dua meter.

Teh Ica, Pak Edi, baru dua dari puluhan ribu warga terdampak banjir Jabodetabek. Banjir pada akhir Februari itu, menyebabkan sembilan orang meninggal dunia di Jakarta, dan puluhan ribu orang di Jabodetabek, terdampak. Antara lain, pengungsian terjadi di Jakarta Timur sekitar 27.429 jiwa, dan Kerawang 12.740 jiwa.

 

Banjir di Komplek Polri, Gatot Subroto, pada 25 Februari lalu. Hujan deras dan Sungai Krukut meluap, hingga membanjiri jalanan dan rumah warga. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Rapat di DPR

Pada 26 Februari lalu, DPR Komisi V mengadakan rapat dengar pendapat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait penanganan bencana banjir di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Rapat ditunda karena tiga gubernur yakni, Anies Baswedan Gubenur Jakarta; Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, dan Wahidin Halin, Gubenur Banten, tak hadir.

Hanya Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, Bagus Puruhito, Kepala Basarnas beserta jajaran hadir.

Anies diwakili Vera Revina Sari, Asisten Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang Pemprov Jakarta. Lalu, Ridwan diwakili oleh Setiawan Wangsaatmaja, Sekda Pemprov Jabar, serta Wahidin diwakili Al Muktabar, Sekda Pemprov Banten.

“Rapat ini penting, pak menteri saja sudah berkenan hadir, seluruh mitra kita berkenan hadir kenapa yang lain tidak. Untuk apa kota hadir di sini kalau yang berkepentingan saja tidak ada di sini. Saya kira perlu dievaluasi,” kata Sadarestuwati, anggota Komisi V DPR RI Fraksi PDIP.

Permasalahan banjir ini, katanya, tidak hanya berbicara masalah teknis dan infrastruktur tetapi kaitan hubungan dengan masyarakat dan kesejahteraan.

Vera Revina bilang, gubernur sedang meninjau titik-titik banjir di Jakarta.

Lasarus, Ketua Komisi V DPR mengatakan, hendak menyelesaikan perdebatan di ruang publik terkait penanganan banjir, yakni naturalisasi dan normalisasi. Komisi V juga ingin melihat kinerja penanganan banjir seperti apa karena banjir terus berulang.

Dalam penanganan banjir, kata Lasarus, untuk Sungai Ciliwung konsep normalisasi pada masa pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, dan naturalisasi diusung Anies.

“Daripada mengusung konsep yang berbeda (naturalisasi), kami mau mendengar apa sih kerjanisasi yang telah dilakukan.”

Dia bilang, untuk optimalisasi Sungai Ciliwung, Pemprov Jakarta, tidak mengeluarkan anggaran besar. Bahkan, anggaran pembebasan lahan di Sungai Ciliwung pun tak ada. Dia menilai, hal ini bisa menghambat kinerja pemerintah pusat dalam upaya proses normalisasi.

“(Anggaran) fisik penanganan banjir, ini sangat minim bahkan penganggaran pembesaan lahan. Kalau tidak terjadi pembebasan lahan tidak dijalankan, pak menteri tidak bisa bekerja. Perkaranya bukan normalisasi atau netralisasi, namun tidak dikerjanisasi (tak jalan). Penduduk di kawasan sungai ini harus direlokasi.”

 

Korban banjir Kali Krukut yang meluap mengungsi di Menara Mulia, pada penghujung Februari lalu. Foto: Saparoah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Permasalahan banjir, katanya, ada masalah koordinasi kerja antara pemerintah pusat dan daerah. Ada kewenangan pemerintah pusat berada di wilayah pemerintah daerah. “Beberapa titik banjir saat ini, kalau antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah saling koordinasi, tidak akan terjadi banjir hari ini di lokasi-lokasi itu.”

Basuki Hadimuljono menjelaskan, penanganan Sungai CIliwung sudah ada masterplan sejak 1937 sampai 1997, dengan review terakhir 2007. Dokumen masterplan itu berbicara soal banjir kanal barat (BKB), banjir kanal timur (BKT), sodetan, bendungan, dari hulu sampai hilir.

Kalau hulu kali Ciliwung ada Bendungan Sukamahi, Bendungan Ciawi terus nanti di tengah di Bidara China, ada sodetan dari Ciliwung ke BKT 60 meter kubik per detik untuk mengurangi beban Ciliwung di pintu air Manggarai.

”Semua ada komponennya. Apa yang sudah kita lakukan berdasarkan masterplan ini, rencana normalisasi sungai 33 kilometer yang sekarang ini baru 16 km,” katanya.

Penanganan banjir, katanya, kini menggunakan pendekatan kewilayahan sungai, bukan lagi berbicara batas administrasi. Dia telah memetakan wilayah sungai di seluruh Indonesia, untuk Jawa ada delapan sungai dan tiga berada di Jabodetabek, yakni, Sungai Ciliwung, CIsadane dan Citarum.

“Sekali lagi (penanganan banjir) bukan pada batasan administratif. Administratif itu hanya karena sistematika pemerintahan. Jadi, mohon dipahami, penanganan air itu bukan administrasi tapi penanganan wilayah sungai.”

Basuki mengatakan, penanganan banjir tidak bisa dengan memisahkan kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah. “Jakarta itu ibu kota negara, jadi jangan dipecah-pecah kewenangan, kewenangan untuk kekuasaan saja, enggak suka saya. Tanggung jawab, termasuk saya ini bertanggung jawab kalau ada banjir di Jakarta,” katanya.

Hingga kini, melalui APBN sudah ada pemasangan 104 pompa besar banjir termasuk di Jakarta Utara. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga sedang tender memasang pompa besar di Kali Sentiong dengan APBN Rp600 miliar.

“Setelah banjir selesai, kita kerjakan fisiknya. Semua itu hanya bersifat struktural. Banjir ini tidak hanya Jakarta, Surabaya, di Pasuruan juga, dan lain-lain. Artinya apa? (Ini) terjadi kerusakan lingkungan.”

 

Rumah di Jalan Tendean, Jakarta, banjir lebih satu meter. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Penanganan terintegrasi

Pada 3 Maret 2020, BNPB mengadakan diskusi penanganan banjir Jabodetabek. Doni Monardo, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional, mengatakan, banjir di Jabodetabek tidak dapat selesai secara sektoral dalam mencari solusi permanen. Untuk itu, katanya, perlu ada program terintegrasi, dari hulu, tengah hingga hilir.

Permasalahan yang dihadapi, katanya, sangat kompleks, yakni, alih fungsi lahan untuk pertanian, perkebunan, urbanisasi, kegiatan merusak hutan secara destruktif, penambangan dan penebangan ilegal.

Bagian hulu, misal, terjadi alih fungsi lahan dengan tanaman semusim bisa berdampak pada ekosistem di wilayah itu. ”Penyelesaian pada bagian hilir tanpa melihat kondisi hulu akan menghabiskan energi yang sangat besar,” katanya.

Pada diskusi itu hadir Muhadjir Effendi; Menteri PMK; Anies Baswedan, Gurbernur Jakarta; Ridwan Kamil, Gurbernur Jawa Barat; Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup dan perwakilan dari kementerian dan lembaga terkait.

Ridwan Kamil mengatakan, telah menyiapkan lahan seluas 12.000 hektar yang awalnya kebun jadi kembali pada 2020. Harapan dia, wilayah ini bisa menjadi kawasan yang dapat menjadi tangkapan air hujan dan mampu mencegah banjir dan longsor.

“Tanaman-tanaman nanti tetap yang memiliki nilai ekonomi bagi warga,” katanya.

Tak hanya itu, akan ada inovasi dalam gerakan menanam 50 juta pohon yang melibatkan masyarakat, yang hendak menikah, naik pangkat, sampai untuk mendapatkan IMB dan lain-lain.

Emil mengatakan, penanganan banjir di ibukota tak bisa hanya oleh Pemprov Jakarta. “Banyak dampak yang terjadi di Jakarta sumber penanganann terjadi di luar Jakarta. Karena itu, perlu ada sinergi yang baik antara Jawa Barat, Banten dan Jakarta.”

Meski begitu, katanya, perlu ada sinergi silang anggaran antar daerah secara ilmiah, karena APBD Jawa Barat yang mencakup 27 kabupaten dan kota tidak sebanding dengan APBD Jakarta.

Dalam penanganan bencara, katanya, perlu ada sudut pandang yang lebih bijak. “Kalau menggunakan sudut pandang politik, hanya menyalahkan gurbernur. Kalau menggunakan sudut pandang ilmiah, akan berusaha mencari solusi. Kalau menggunakan sudut pandang kemanusiaan, akan memikirkan bagaimana penanganan warga yang terdampak.”

Sementara itu, erosi di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) sangat besar. Total erosi bagian hulu di tiga sungai besar, yaitu, Sungai Ciliwung, Cisadane dan Bekasi mencapai 83.000 hektar. Sisi lain, melihat bencana pada awal tahun, area terdampak berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Lokasi banjir berdekatan dengan bagian hilir dari delapan DAS yaitu Sungai Angke Pesanggrahan, Krukut, Ciliwung, Sunter, Buaran, Cakung, Bekasi dan Cisadane. Banjir saat itu dipicu salah satu cuaca ekstrem sejak 31 Desember 2019.

Sedangkan banjir pada 25 februari 2020 lalu karena sistem drainase di 30 titik (65%) dan sistem sungai 16 titik (35%), yakni, sistem drainase tak lagi mampu mengantisipasi kenaikan volume air yang ekstrem.

Satu faktor lain yang disebutkan, yaitu, permasalahan budaya membuang dan mengelola sampah buruk. Hal ini, dapat dilakukan warga mandiri dalam pencegahan bahaya banjir di Jakarta.

 

Banjir menggenangi perumahan di Bekasi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Krisis iklim

Anies Baswedan, menyayangkan, tidak ada pembahasan terkait curah hujan sebagai penyebab banjir di Jakarta. ”Dari percakapan tadi, jarang ada pembicaraan yang menyebut mengenai angka curah hujan,” katanya.

Dia bilang, penyebab banjir di Jakarta ada tiga faktor, air berasal dari hulu, air alut ke daratan dan air kiriman. Banjir Jakarta, katanya, bisa kiriman dan hujan lokal, meski pemerintah telah menyiapkan sejumlah pompa.

“Sekuat-kuatnya pompa ketika berbicara dengan volume air yang cukup signifikan itu perlu waktu yang cukup panjang.”

Ridwan Kamil mengatakan, selain faktor alam, bencana juga ulah manusia yang merusak lingkungan. “Manusia merasa sebagai pusat alam semesta, hingga yang lain harus mengikuti. Perlu ada solusi infrastruktur karena manusia sulit diatur.”

Emil Salim menyebutkan, selama 20 tahun ini frekuensi banjir di Jawa terus meningkat karena ada gejala suhu bumi mengalami kenaikan. Ada korelasi kenaikan suhu bumi dengan banjir karena naiknya permukaan air laut.”

Air yang mengalir ke laut, katanya, terhambat dan kembali ke daratan menjadi banjir. Selain itu, tanah di pantai utara Jawa mengalami penurunan karena sifat tanah adalah sedimen lembek dan mengalami penurunan muka tanah.

John Wirawan, dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, penurunan tanah menimbulkan banyak masalah, terutama di wilayah Pantai Utara Jawa. Banjir dan rob akan terus terjadi.

“Dalam mengatasi banjir dan rob kecenderungan kita mengatasi dengan pompa, padahal kita tahu tidak ada pompa di dunia yang bisa membuang air ke laut, jumlahnya terbatas.”

Dampak lingkungan rusak, semua aspek kehidupan dan ekonomi terkendala. Ada juga permasalahan logam berat dalam sedimen di perairan Teluk Jakarta. Dengan begitu, katanya, penanganan dengan membuat waduk lepas pantai dengan tanggul lepas pantai sepanjang 70 kilometer menggunakan teknologi SUPW. “Teknologinya, bagaimana kita memutus pengaruh laut ke darat karena tidak ada ada pompa yang bisa membuang air ke laut.”

Kalau itu berjalan, katanya, setidaknya 17 sungai dapat mengalir lancar ke waduk lepas pantai secara gravitasi, menciptakan danau air baku, dan bisa memperoleh energi terbarukan (energi angin, energi matahari, energi air dan lain-lain).

Pembahasan ini, kata John , dilakukan tujuh universitas dan masa pembangunan kurang lebih lima tahun.

John bilang, Jakarta itu sudah hancur, tidak lagi rusak, memiliki curah hujan tinggi, saat musim hujan mengalami kebanjiran dan kemarau akan kekeringan. Jadi, air tawar tak tertampung dan terbuang langsung ke sungai serta ketersediaan air bersih minim.

“Bagaimana nanti generasi ke depan itu, menjalani kondisi yang rusak. Ini harus dicegah.”

 

 

Keterangan foto utama: Kali Krukut meluap, hingga banjir sampai 1,5 meter di Jakarta Selatan, pada 25 Februari lalu. Banjir terus berulang di berbagai daerah, terutama di Jabodetabek. Banjir di Jakarta, penghujung Februari lalu, sembilan orang meninggal dunia dan belasan ribu mengungsi. Lasarus, Ketua Komisi V DPR, menilai, permasalahan banjir, ada masalah koordinasi kerja antara pemerintah pusat dan daerah. Ada kewenangan pemerintah pusat berada di wilayah pemerintah daerah. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Sumber: Kementerian PUPR

Gang-gang di Jl Mampang, Kelurahan Kuningan Barat, juga banjir, salah satu di RT02/RW02 Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version