Mongabay.co.id

Mereka Nilai RUU Cipta Kerja Ancaman, Segera Sahkan UU Masyarakat Adat

Pemuda adat To Cerekeng membentuk Lembaga yang disebut Wija To Cerekeng (WTC) yang salah satu fungsinya melakukan patrol menjaga hutan. Foto: Perkumpulan Wallacea/Mongabay Indonesia

 

 

Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja dan Masyarakat Adat sama-sama masuk program legislasi nasional tahun ini. RUU Masyarakat Adat, sudah dua periode DPR dibahas tetapi gagal sampai tahap pengesahan. Periode ini, kali ketiga. Sedangkan RUU Cipta Kerja berisi penyederhaaan berbagai aturan UU (omnibus law) dibuat dengan super cepat, proses tertutup, terkesan tergesa-gesa hingga menimbulkan banyak kontroversi. Bagaimana RUU Cipta Kerja dalam pandangan masyarakat adat?

“Ide RUU ini sebenarnya menciptakan lapangan pekerjaan dengan cara membuka seluas-luasnya pintu untuk investasi. Yang kami lihat dari membaca pasal per pasal, RUU ini justru menghilangkan pekerjaan tradisional yang sudah ada di masyarakat adat,” kata Wahyubinatara Fernandez, Manajer Advokasi Rimbawan Muda Indonesia (RMI) di Jakarta, Selasa (25/2/20).

Isi RUU ini, katanya, banyak membahas mengenai tanah dan sumber daya alam dengan substansi justru mengancam masyarakat adat.

Dia mengatakan, identitas masyarakat adat terbentuk karena ikatan kuat atas tanah dan sumber daya alam dan merupakan sumber penghidupan mereka. Banyak pasal dalam RUU Cipta Kerja, katanya, mengancam hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.

“Masyarakat adat sampai saat ini masih susah ketika berurususan dengan klaim tanah. Kalau RUU ini disahkan, akan makin sulit bagi mereka,” katanya.

Dalam RUU Cipta Kerja, tidak ada satu pun penjelasan atau definisi atas frasa proyek strategis nasional (PSN). Di dalam berbagai UU pun tak ada ketentuan mengenai ini, hanya diatur dalam peraturan presiden. Padahal, katanya, banyak masyarakat adat yang kehidupannya terganggu karena proyek ini.

Wahyu mengatakan, dalam RUU Cipta Kerja, banyak tumpang tindih lahan dialami masyarakat adat, yang diselesaikan lewat mekanisme yang dimandatkan untuk diatur perpres.

Kemudian, pendefinisian mengenai masyarakat adat pun tidak seragam. Terlihat dalam Pasal 19, perubahan UU 27/2007 junto UU 1/2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, juga dalam Pasal 23 perubahan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ada lagi Pasal 55 perubahan UU 17/2009 tentang Sumber Daya Air.

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Definisi masyarakat adat di ketiga pasal itu berbeda. Padahal, katanya, niat awal pembuatan RUU Cipta Kerja untuk mengharmonisasi aturan perundang-undangan yang ada.

“Kalau dikatakan RUU ini mencoba mensinkronkan, harus adil juga. Gak cuma soal investasi yang disinkronisasi, tetapi bagaimana soal hak-hak masyarakat terdampak?”

Pasal 18 perubahan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menghapus definisi, pengaturan, dan ketentuan mengenai kawasan perdesaan yang adalah locus masyarakat adat.

Terkait pengakuan masyarakat adat, dibahas pada Pasal 19 angka 17 dan Pasal 19 angka 24. Namun, katanya, pengakuan ini masih bersifat afirmasi bersyarat. Pengakuan tetap harus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bahkan, pada Pasal 23 angka 24 dinyatakan pemerintah pusat bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat adat terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya, pengakuan dilakukan pemerintah pusat.

“Pengakuan memang ada. Itu bersifat afirmatif. Ada syarat, masyarakat adat yang dimaksud harus diakui menurut peraturan perundang-undangan yang sampai saat ini belum ada. Masyarakat adat dituntut bikin perda untuk pengakuan subjek hukumnya.”

Hal lain, terdapat pada Pasal 23 perubahan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini, mengurangi signifikansi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang tadinya perlu untuk pengambilan keputusan, jadi sebagai pertimbangan. Begitu juga upaya kelola lingkungan-upaya pengawasan lingkungan (UKL/UPL).

“Kedua poin itu dipertegas melalui masuknya persetujuan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup untuk menggantikan Izin Lingkungan. Kriteria wajib amdal dihapus dan dimandatkan pada peraturan pemerintah” katanya.

Dalam Pasal 30 angka 4 terkait perubahan UU 39/2004 tentang Perkebunan dan Pasal 32 angka 5 perubahan UU 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.

Di sana disebutkan pemerintah yang berwenang dilarang menerbitkan izin usaha perkebunan di atas hak ulayat masyarakat adat kecuali tercapai persetujuan antara masyarakat adat dan pelaku usaha perkebunan.

Pasal ini, menurut Wahyu, jadi rancu karena hak ulayat belum bisa diakui kalau UU Masyarakat Adat belum ada. Masyarakat adat, katanya, juga tak bisa mendeklarasikan sendiri.

Pada Pasal 30 juga menghapus poin-poin pertimbangan penentuan batas luasan maksimum-minimum usaha perkebunan. Ia menghapus kewajiban amdal dan UKL-UPL beserta sanksi. Juga menghapus kewajiban sistem informasi dan data perkebunan terintegrasi.

Pasal 37 perubahan UU 41/1999 tentang Kehutanan, dinyatakan, pengukuhan kawasan hutan dengan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit dan penyelesaian tumpang tidih dilakukan melalui perpres. Kemudian, kuota 30% luasan hutan dihapus, diganti penetapan pemerintah pusat dengan mekanisme dimandatkan pada peraturan pemerintah.

“Perubahan fungsi juga oleh pemerintah pusat, dan tidak lagi ada syarat persetujuan DPR. Pemegang hak atau perizinan berusaha tidak lagi bertanggung jawab atas kebakaran hutan, hanya wajib mencegah,” katanya.

 

Lahan ulayat masyarakat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

Kemudian ketentuan dalam Pasal 41 angka 3 terkait perubahan UU 22/2001 tentang Mineral dan Gas. Disebutkan, kontrak kerjasama memuat ketentuan pokok, antara lain, pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan hak-hak masyarakat adat.

“Pasal ini membuat kewajiban pemerintah dilempar-lempar ke pengusaha.”

Pasal 42 angka 18 perubahan UU 21/2014 tentang panas bumi terkait pengadaan lahan di Bab VIII, tidak ada satu pun kata adat maupun ulayat. Lalu Pasal 43 angka 21 perubahan UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, disebut, pelaku usaha penyediaan tenaga listrik yang terdapat tanah ulayat, berdasarkan perundang-undangan bidang pertanahan. Sampai saat ini, RUU Pertanahan belum disahkan.

“Pasal 42 juga meniadakan mekanisme penyelesaian penggunaan lahan di tanah ulayat.”

Lalu, Pasal 55 angka 3 perubahan UU 17/2009 tentang Sumber Daya Air menyatakan, penguasaan sumber daya air oleh pemeruntah pusat dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pasal ini, katanya, juga rancu karena pengaturan kriteria kepentingan nasional juga tak jelas.

Pasal 121 perubahan UU2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, menyatakan, pihak terkait kalau tidak menghadiri konsultasi publik setelah diundang tiga kali, dianggap menyetujui rencana pembangunan. Kemudian, membebaskan kewajiban amdal untuk lahan di bawah lima hektar. Pasal ini, menurut Wahyu, akan memudahkan perampasan tanah.

Pasal 127 terkait Bank Tanah, dianggap tak sejalan dengan konstitusi karena hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai (HP) bisa diberikan di atas hak pengelolaan lahan (HPL) bank tanah jangka waktu 90 tahun.

“Jadi bisa ngasih HGU sampai 90 tahun. Itu sudah inkonstitusional. Di UU Pokok Agraria gak bisa sampai 90 tahun,” katanya.

Pasal 142 perubahan UU 39/2009 terkait Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), meniadakan dua kriteria pengusulan KEK, yakni, dukungan pemerintah daerah dan posisi strategis secara ekonomi.

Dia bilang, RUU Cipta Kerja harus diwaspadai dengan segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Dengan begitu, dampak negatif yang mungkin timbul dari RUU Cipta Kerja bisa diminimalisir.

“Dengan membentuk UU yang mengatur masyarakat adat di berbagai sektor bisa menetralisir dampak buruk omnibus law seandainya jadi disahkan. Semoga nggak.”

 

RUU Masyarakat Adat

M Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM mengatakan, untuk ketiga kali RUU Masyarakat Adat masuk prolegnas. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, RUU ini sebenarnya sudah hampir sah. Sayangnya, ketika pembahasan bersama DPR, Menteri Kehutanan tak hadir hingga gagal.

Kemudian. Pada periode pertama Presiden Jokowi, pemerintah tidak menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) ke DPR. RUU ini, katanya, gagal disahkan juga. Kini, pada periode kedua Jokowi, RUU ini kembali masuk prolegnas.

Dari pernyataan yang pernah pemerintah lontarkan, setidaknya ada dua hal RUU ini terhambat. Pertama, seperti penyampaian Mendagri waktu itu Tjahyo Kumolo, kalau RUU Masyarakat Adat itu akan membebani APBN dan mengganggu investasi. Kedua, ada kekhawatiran ketika sah, akan menciptakan disentegrasi bangsa.

Padahal, kata Arman, kedua alasan itu tidak benar. AMAN bersama IPB, Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran, lakukan kajian menangkal anggapan ini.

 

Ilustrasi. Masyarakat Kasepuhan Karang, Kabupaten Lebak, Banten dengan latar bangunan rumah adat berbahan kayu dan beratap injuk. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hasil penelitian justru membuktikan, kalau masyarakat adat mendapatkan kesempatan, pengakuan, perlindungan dalam pengelolaan sumber daya alam, bisa berkontribusi signifikan terhadap pendapatan negara.

“Riset 2018 menunjukkan nilai ekonomi pengelolaan sumber daya alam di enam wilayah adat menghasilkan Rp159,21 miliar per tahun, dan nilai jasa lingkungan Rp170,77 miliar per tahun. Ini bukti masyarakat adat dapat mendorong perekonomian di daerahnya.”

Begitu juga soal stigma disentigrasi bangsa. Arman bilang, justru dengan pengakuan masyarakat adat sebagai warga negara utuh, justru akan memperkuat kesatuan bangsa.

Soal perkembangan RUU Masyarakat Adat, Arman bilang, saat ini ada tiga fraksi sudah resmi mengusung RUU ini, yakni PDIP, Nasdem dan PKB.

Beberapa waktu lalu, AMAN dan koalisi masyarakat sipil berkomunikasi dengan DPP Partai Golkar di Slipi, Jakarta Barat. Golkar, katanya, mendukung RUU ini dan akan membicarakan di tingkat fraksi.

“Saat ini, RUU Masyarakat Adat sudah disepakati di Badan Legislatif. Tapi siapa ketua panja, kemudian bagaimana struktur itu yang belum ada.”

Meski begitu, kata Arman, pengesahan RUU ini menghadapi tantangan berat. Saat bersamaan, DPR sedang membahas RUU Cipta Kerja. RUU itu, berupaya memberikan jalan tol bagi investasi.

“Masyarakat adat tidak pernah anti investasi. Kehadiran investasi dalam konteks pembangunan bangsa itu pasti penting. Yang paling penting bagaimana memastikan ketika investasi masuk, hak-hak rakyat termasuk masyarakat adat terakomodasi. Diakui dan dilindungi,” katanya, sambil bilang, tanpa pengakuan dan perlindungan, investasi tak akan kesejahteraan rakyat.

Arman bilang, RUU Masyarakat Adat harus bisa menjamin kepastian hukum masyarakat adat. Memastikan proses pengakuan masyarakat adat secara mudah dan murah dan harus punya legitimasi.

Arimbi Heroepoetri,, Direktur debtWATCH Indonesia mengatakan, selama ini hal-hal yang baik dari masyarakat adat selalu dinegasikan dan dianggap tidak ada. Padahal masyarakat adat mempunyai banyak kontribusi positif bagi negara.

“Soal ketahanan nasional dalam hal conflict resolution, masyarakat adat dengan pendekatan budaya bisa mencegah konflik. Banyak riset menunjukkan daerah di Indonesia tutupan hutan masih bagus itu di wilayah masyarakat adat. Ini menunjukkan, ilmu lingkungan paling baik itu ada di masyarakat adat.”

Meskipun begitu, katanya, penggerusan hak-hak masyarakat adat terus terjadi. Masyarakat umum, pemerintah dan DPR punya pemahaman berbeda terhadap masyarakat adat. Seringkali, katanya, mereka dianggap terbelakang dan miskin.

“Budaya tari-tarian, ukiran diakui memiliki nilai seni tinggi, tapi tidak kalau bicara soal tanah. Ekspresi budaya dan agama juga tidak diakui. Kami memandang perlu ada UU komprehensif mengenai masyarakat adat.”

Arimbi bilang, UU Masyarakat Adat perlu segera hadir agar ada pengaturan tegas dan perlindungan komprehensif bagi mereka.

UU Masyarakat Adat, katanya, harus memuat delapan hal. Pertama, merujuk kepada satu istilah, yaitu masyarakat adat. Kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat adat maupun masyarakat tradisional dapat digunakan bergantian dengan merujuk kepada satu istilah, yaitu masyarakat adat. Kedua, memasukan prinsip-prinsip HAM.

Ketiga, memuat aturan tentang pemulihan hak amtara lain, soal grasi, amnesti, abolisi, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Keempat, mengakui hak atas identitas budaya. Kelima, pengaturan penyelesaian konflik. Keenam, pengakuan dan perlindungan atas kekayaan intelektual. Ketujuh, pengakuan tentang hak anak, pemuda dan perempuan adat.

Kedelapan, perlu ada pasal-pasal mengenai tindakan khusus sementara bagi masyarakat adat, seperti pendidikian bagi kelompok mainstream agar mengenali dan menghormati eksistensi masyarakat adat.

“Sekarang, RUU Masyarakat Adat kembali masuk Prolegnas. Saat bersamaan juga ada berbagai macam RUU juga akan menegasikan masyarakat adat seperti RUU Pertanahan dan RUU Cipta Kerja,” katanya.

Menurut dia, gagasan RUU Cipta Kerja untuk menghilangkan obesitas hukum, itu baik. Kalau diteliti pasal per pasal, katanya, justru tak sinkron dengan tujuan awal. Judul dengan isi berbeda.

Dia bilang, kalau alasan RUU Cipta Kerja untuk membuka lapangan kerja 4,5 juta orang Indonesia dengan angkatan kerja baru 2,5 juta orang, justru tak sebanding potensi kehilangan lapangan pekerjaan kalau RUU ini sah.

Ada 17 juta masyarakat adat yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri kalau sumber penghidupannya tidak diganggu, baik hutan maupun lautnya. Mereka sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Sekarang kan diganggu,” katanya.

 

Ruang hidup Masyarakat Adat Talang Mamak, makin terhimpit. Pengakuan dan perlindungan pemerintah belum ada hingga wilayah dan hutan mereka sebagian besar sudah jadi bagian izin-izin perusahaan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat mandiri

Alexander Mering, Communication Program Peduli Kemitraan Alexander Mering mengatakan, masyarakat adat mempunyai peranan penting dalam sektor perekonomian Indonesia. Satu bentuk sumbangan nyata itu, katanya, terlihat dalam koperasi simpan pinjam disebut Credit Union (CU).

“CU justru berkembang setelah mengalami proses inkulturasi budaya dengan masyarakat adat Dayak di Kalimantan Barat pada 80-an. CU tumbuh besar menjadi gerakan ekonomi rakyat, tak hanya untuk dan di wilayah masyarakat Dayak Kalbar tetapi meluas hampir sebagian besar pulau Kalimantan, Papua, Nusa Tenggara Timur , dan Pulau Jawa,” katanya.

Tahun 2018, CU Kalbar memiliki aset Rp6,5 trilun, pada tahun sama, APBD provinsi itu hanya Rp5,9 triliun. Kondisi itu, mematahkan stigma yang mengatakan, masyarakat adat tidak memiliki kontribusi terhadap perekonomian bangsa. Angka ini, katanya, belum dihitung dengan kontribusi di jasa lingkungan dan lain-lain.

“Kalau kita lihat dari aspek penciptaan lapangan kerja, dengan CU itu berapa juta orang yang bisa mengembangkan usaha? Itu rata-rata orang Dayak. Salah satu contoh CU Keling Kumang di Kalbar, itu punya hotel, pabrik skala mini untuk aren ekspor. Kemudian membuat sekolah dan sekarang sedang proses membuat universitas,” kata Mering.

Pengalaman dia dalam menjalankan program Peduli, salah satunya pada masayarakat adat Boti di Timor Tengah Selatan, kala kemiskinan NTT lebih dari 23% dan di Kabupaten Timor Tengah Selatan 29% lebih, di Desa Boti justru tak ada stunting.

“Tak ada gizi buruk dan kemiskinan. Masyarakat adat bisa demikian karena mereka memiliki keragaman pangan tinggi,” katanya.

Menurut dia, kalau pemerintah gencar mendorong investasi lewat RUU Cipta Kerja, sebenarnya masyarakat adat sudah sejak dulu melakukan itu dengan kearifan budaya. Hanya, katanya, hal itu tak pernah diakui dengan baik oleh pemerintah.

Ketika hutan adat diserahkan kepada masyarakat adat, seperti di Kasepuhan Karang, Banten. Satu kali musim buah saja, satu desa menjual buah lebih Rp7 miliar. Hal itu, katanya, menunjukkan jika hutan adat terkelola baik dan diserahkan kepada masyarakat adat, akan menumbuhkan ekonomi warga.

Hasil riset RMI memperlihatkan, ada kenaikan angka pendidikan di masyarakat Kasepuhan Karang sejak mereka menerima pengakuan hutan adat pada 2016. Untuk pendidikan tinggi naik sampai 133% , SMA 43,8%, dan SMP 117%. Hal ini, katanya, menunjukkan kalau pemerintah serius mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat, akan menimbulkan banyak dampak positif.

Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat minim, sejalan dengan angka kriminalisasi tinggi. Data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut, dari 91 kasus tanah dan lahan yang didampingi pada 2019, 36% wilayah masyarakat adat. Ada 1.004 kasus kriminalisasi pada 2019, 20% juga menyangkut masyarakat adat.

Data AMAN menyebut, ada 125 masyarakat adat di 10 wilayah berada di kawasan hutan jadi korban kriminalisasi. Mereka tersebar di Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

“Tindak pidana yang kerap ditujukan pada masyarakat adalah memasuki tanah PTPN tanpa izin, pengrusakan, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin, penganiayaan, kekerasan terhadap orang atau barang, dan menguasai tanah tanpa izin,” kata Era Purnama Sari, Wakil Ketua Advokasi YLBHI.

Selain itu, katanya, dalam beberapa kasus spesifik, masyarakat dituduh merintangi kemerdekaan orang untuk bergerak di jalan umum, pengancaman, perbuatan tidak menyenangkan, dan menghentikan aktivitas alat berat.

Era bilang, pemerintah rajin memberikan pengakuan soal budaya dan kesenian masyarakat adat ketika sudah menyangkut wilayah, ada keengganan negara untuk pengakuan terhadap mereka.

“Bentuk perlindungan terhadap masyarakat adat menyebar di berbagai ketentuan perundang-undangan, tapi sulit diaplikasikan. Selalu diikat dengan ketentuan, harus diakui dan definisi diakui menurut negara itu harus ada perda. Ini jadi biang masalah,” katanya.

Pun bentuk perlindungan antara satu UU dengan yang lain selama ini saling bertolak belakang. Dalam UU Kehutanan, misal, ada ketentuan menghapuskan alasan pidana terhadap masyarakat adat.

Ketika yang menebang kayu itu masyarakat adat, katanya, tak bisa dipidana. Sayangnya, ketentuan ini tidak berlaku di UU Perkebunan, UU Panas Bumi, UU Pertambangan dan lain-lain.

“Jadi, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu sangat parsial dengan kualitas berbeda-beda. Karena itu, perlu ada satu yang mengikat, yaitu UU Masyarakat Adat. UU yang spesifik mengatur masyarakat adat hingga kriminalisasi bisa diminimalisir.”

 

 

Keterangan foto utama:  Pemuda adat To Cerekeng membentuk Lembaga yang disebut Wija To Cerekeng (WTC) yang salah satu fungsinya melakukan patrol menjaga hutan. Foto: Perkumpulan Wallacea/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version