Mongabay.co.id

Mengapa Burung Luar Biasa Ini Punah Cepat Seabad Lalu?

 

 

Pada 1 September 1914, seorang pekerja di Cincinnati Zoological Gardens di negara bagian Ohio, AS, menemukan bangkai Martha, merpati penumpang [Ectopistes migratorius] atau disebut juga merpati liar terakhir yang hidup di dunia, terkulai di bawah tempatnya biasa bertengger.

Empat puluh tahun sebelumnya, merpati penumpang jumlahnya miliaran ekor yang tersebar di berbagai tempat. Begitu banyaknya, kawanan mereka seolah membentuk awan burung di seluruh Amerika Utara bagian timur, menghalangi sinar matahari selama berhari. Pemandangan itu begitu luar biasa sehingga ahli konservasi Amerika Serikat waktu itu Aldo Leopold menyebut mereka “badai biologis.”

Pada awal 1900-an, hanya segelintir burung tersisa, dan ini pun sudah berada di penangkaran. Bagaimana, dalam beberapa dasawarsa singkat, salah satu burung paling luar biasa di dunia lenyap dari langit? Dari jumlahnya miliaran, menjadi nol?

Selama puluhan tahun, sebagaimana dikutip dari The Conversation, dua teori telah dikemukakan untuk menjelaskan kepunahan merpati penumpang. Meskipun telah lama dipahami bahwa aktivitas manusia menyebabkan kepunahannya, mekanisme pastinya belum diketahui.

Baca: Adu Cepat Burung Merpati Makin Diminati Para Penghobi

 

Martha, merpati penumpang terakhir 1914. Sumber: Wikimedia Commons/Enno Meyer/Archiece.org/Public Domain

 

Satu teori mengatakan bahwa karena burung-burung itu kebanyakan memakan makanan yang sangat terspesialisasi dari kacang-kacangan pohon, seperti biji dan beechnuts. Mereka mati ketika mereka tidak lagi dapat menemukan makanan yang cukup setelah habitat hutan tempat mereka menggantungkan sumber makanan ditebang habis oleh manusia.

Teori lainnya mengatakan, kepunahan mereka terutama disebabkan oleh manusia yang membunuh burung dalam jumlah besar untuk olahraga dan dikonsumsi.

Awal abad ke-19, terjadi pembantaian merpati penumpang yang hampir tanpa henti. Tak lama setelah Perang Sipil Amerika [1861-1865] berakhir, kemajuan teknologi, seperti telegraf dan perluasan jaringan kereta api, membantu para pemburu profesional, yang waktu itu disebut pigeoners, memburu mereka hingga ke sarang-sarangnya, mengumpulkan merpati, tua dan muda, pun telurnya, dalam skala industri.

Jadi, mana yang lebih mungkin: mereka punah karena perburuan, atau perusakan habitat?

Baca juga: Merpati Batu, Burung Dara yang Mendunia

 

Marta, merpati penumpang terakhir yang dipajang di Smithsonian Institution. Sumber: Wikimedia Commons/SIA2010-0612 and MNH-917/Smithsonian Institution Archives, Record Unit 416, Box 1, Folder 4/Public Domain

 

Eric Guiry dari Trent Environmental Archaeology Laboratory, Trent University di Ontario, Kanada, bersama beberapa rekannya menggunakan analisis isotop stabil, mempelajari penanda kimiawi di tulang merpati penumpang yang ditemukan di endapan arkeologis yang berasal dari tahun 900 hingga 1900, di kawasan bekas habitat sarang burung di Ontario dan Quebec, Kanada.

Tulang tersebut dapat memberi kita banyak informasi tentang apa yang mereka makan sebelum mati. Karena, tulang selalu tumbuh dan berubah selama masa hidup burung tersebut, komposisi isotop stabilnya memberi kita informasi tentang jenis makanan rata-rata selama beberapa bulan atau bahkan bertahun. Penelitian ini memungkinkan kita melihat apa yang dimakan seekor burung sepanjang hidupnya, bukan pada sekali makan atau dalam satu musim.

Studi tersebut kemudian menemukan bahwa merpati penumpang dapat hidup dari makanan lain, termasuk tanaman-tanaman pertanian. Ini menunjukkan, industri merpati komersial di masa lalu yang tidak dikontrol oleh pemerintah kemungkinan merupakan pendorong yang lebih penting di balik kepunahan burung, dibandingkan rusaknya habitat hutan.

 

Tengkorak merpati penumpang yang didapatkan selama penggalian untuk penelitian. Foto: Eric Guiry via The Conversation

 

Penelitian sejarah masa lalu menunjukkan bahwa biji-bijian hutan adalah makanan utama merpati penumpang, karena mereka berkeliaran di hutan-hutan besar di Amerika Utara bagian timur. Sebelum penelitian, belum ada juga tanda bahwa burung-burung itu kadang turun ke ladang jagung dan gandum petani.

Sebagian besar sampel merpati penumpang yang diteliti kebanyakan memang makan biji-bijian hutan, tetapi sebagian lagi memiliki komposisi kimia yang menunjukkan bahwa makanan mereka sebagian besar terdiri tanaman seperti jagung yang tersedia bahkan ketika sumber makanan tradisional mereka semakin langka.

Dari penelitian juga disimpulkan bahwa pola makan seperti itu tak mengenal umur atau kelompok genetik tertentu tetapi menemukan bahwa diet berbasis jagung terjadi pada burung muda dan tua, serta dalam semua kelompok genetik, menunjukkan bahwa fleksibilitas makanan ini mungkin telah tersebar luas.

 

Penampakan merpati penumpang jantan dewasa yang telah punah di Field Museum of Natural History. Foto: James St. John/CC BY 2.0/Creative Commons Lisence via Forbes

 

Penelitian Eric ini seolah menegaskan penelitian sebelumnya yang dilalukan oleh Profesor Beth Shapiro, seorang ahli biologi molekular, di  Department of Ecology and Evolutionary Biology, University of California, Santa Cruz.

Dalam keterangannya yang dikutip Forbes, Shapiro mentakan bahwa manusia membantai  jutaan merpati penumpang hanya dalam waktu relatif singkat. Mereka tak punya cukup waktu untuk beregenerasi, dan beradaptasi dengan lingkungan baru dimana eksploitasi berlebihan dilakukan predator yang sangat terampil [manusia]. Akhirnya, mereka tak mempunyai kemampuan yang efisien untuk bertahan dan berkembang.

Selain itu, baik Eric maupun Shapiro juga mengungkapkan bahwa merpati penumpang hidup dalam kawanan besar. Banyaknya anggota dalam satu kawanan inilah yang mungkin menjadi salah satu strategi paling efektif bagi mereka untuk bertahan hidup. Strategi ini dipakai juga pada beberapa serangga dan hewan lain, dan bahkan pada beberapa spesies vertebrata.

Misalnya, ikan kod Atlantik [Gadus morhua] mengalami nasib yang sangat mirip dengan merpati penumpang. Secara historis, ikan ini hidup dalam populasi yang sangat besar di sepanjang Grand Banks Newfoundland sampai tahun 1990-an, ketika jumlahnya menurun karena penangkapan berlebihan. Ikan ini diperkirakan akan segera punah. Hal yang sama terjadi pada merpati penumpang. Karena jumlah anggota kawanannya sangat berkurang, pertahanan mereka sangat rapuh.

“Kepunahannya tak terhindarkan” ujar Professor Shapiro. “Dan ini sepenuhnya kesalahan kita, manusia. Aktivitas perburuan yang berlebihan, juga eksploitasi tak terkendali membuat dunia kehilangan salah satu burung paling luar biasa dalam sejarah,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version