Mongabay.co.id

Perlindungan Awak Kapal Perikanan Dimulai dari Daerah Asal

 

Pemerintah Indonesia diminta untuk terus meningkatkan perlindungan pada masyarakat pesisir yang bekerja sebagai awak kapal perikanan (AKP) di dalam dan luar negeri. Sampai sekarang keberadaan mereka dinilai masih belum mendapatkan perlindungan penuh, meski mereka sudah menyumbang devisa untuk Negara.

Koordinator Nasional Destructive Fishing (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyatakan, perlunya Pemerintah meningkatkan perlindungan AKP, untuk mengurangi potensi praktik kerja paksa dan perdagangan orang yang masih sering terjadi pada sub sektor perikanan tangkap.

“Pemerintah perlu terus meningkatkan upaya perlindungan awak kapal perikanan, baik yang bekerja di kapal ikan dalam maupun luar negeri,” ucap dia di Jakarta, pekan lalu.

Bentuk perlindungan yang bisa diberikan Pemerintah, antara lain dengan menelusuri tempat asal para AKP yang bekerja di dalam maupun luar negeri. Mengetahui keberadan tempat asal mereka, akan memberi informasi yang sangat baik untuk memberikan perlindungan yang maksimal saat bekerja sebagai AKP.

baca : Indonesia Butuh Peta Jalan Perlindungan ABK di Luar Negeri

Abdi mengungkapkan, dari semua daerah di Indonesia, diketahui Kabupaten Pemalang Jawa Tengah menjadi salah satu daerah pengirim AKP terbanyak di dalam maupun luar negeri.

“Pemalang merupakan salah satu daerah pemasok awak kapal perikanan di dalam dan luar negeri,” sebutnya.

Dalam setahun, Pemalang sanggup mengirimkan sedikitnya 2.000 orang untuk bekerja sebagai AKP pada kapal perikanan yang ada di berbagai negara seperti Fiji, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Malaysia. Sementara, di dalam negeri, kota tujuan yang menjadi incaran biasanya adalah Jakarta, Bali, dan Tegal (Jateng).

Khusus untuk AKP yang bekerja di luar negeri, Abdi Suhufan memberi catatan khusus bahwa banyak di antara mereka sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti diskriminasi ataupun praktik terlarang lainnya. Contohnya, AKP yang bekerja di Taiwan ada yang sering mengalami kekerasan fisik dan mental.

Agar persoalan seperti di atas bisa terus dikurangi dan bahkan dihilangkan, DFW Indonesia bersama Safeguarding Against and Addressing Fisheries Exploitation at Sea (SAFE Seas) mengembangkan platform Fisher Center untuk wilayah Jateng.

baca juga : Pekerja Perikanan di Atas Kapal Butuh Perlindungan Negara

 

Ilustrasi. Nelayan menurunkan hasil tangkapan dari kapal troll di pelabuhan Tegal, Jawa Tengah. Nelayan adalah salah satu mata pencaharian utama bagi orang yang tinggal di daerah Pesisir Utara Jawa. Foto : Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Edukasi

Menurut Field Manager DFW Indonesia untuk SAFE Seas Amrullah, platform itu menjadi tempat untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang hak-hak pekerja dan perlindungan bagi AKP, nelayan buruh, dan sekaligus menjadi bagian dari upaya pemberdayaan.

Selain itu, Fisher Center juga menjadi tempat untuk memberikan fasilitas dalam penyampaian laporan tentang kejadian yang mengarah kepada indikasi eksploitasi kerja paksa dan perdagangan orang pada sub sektor perikanan tangkap.

“Juga akan menjadi tempat berkoordinasi tentang keluhan AKP yang berkaitan dengan pekerjaan, hak-hak pekerja, dan kesejahteraan selama bekerja. Saat ini, Fisher Centre telah beroperasi dan berkedudukan di kota Tegal dengan jangkauan layanan untuk AKP di Brebes, Tegal, dan Pemalang,” jelasnya.

Seorang AKP yang bekerja pada kapal perikanan dalam negeri, Abdul Basir, menyebutkan jaminan kesehatan bagi pekerja seperti dirinya sampai sekarang masih sulit. Padahal, menurutnya, saat AKP sedang sakit seharusnya dibawa ke pusat perawatan kesehatan seperti klinik atau rumah sakit.

Namun yang terjadi, saat anak laki-lakinya yang juga bekerja sebagai AKP pada kapal yang sama dengannya, Abdul menyebut kalau kapten dan pemilik kapal melarang anaknya turun dari kapal dan mendapatkan perawatan. Padahal, saat itu posisi kapal sedang di tengah Laut Arafura.

“Setelah melakukan penangkapan ikan, baru diturunkan di Pelabuhan Dobo (Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku) untuk mendapatkan perawatan. Sayang nyawanya tidak tertolong dan meninggal dunia,” jelasnya dalam keterangan resmi dari DFW Indonesia.

Belajar dari peristiwa tragis itu, Abdul Basir berharap berbagai instansi terkait Pemerintah Indonesia bisa bersinergi melakukan pemantauan untuk memastikan seluruh instrumen regulasi, peralatan, sarana dan prasarana kesehatan, serta keselamatan kerja telah ada di atas kapal perikanan.

“Inspeksi bersama perlu dilakukan, sebab kegiatan penangkapan ikan juga terkait dengan kesehatan dan keselamatan nyawa awak kapal perikanan,” tegasnya.

penting dibaca : Ini Tahapan Penting untuk Mendeteksi Praktik Perbudakan di Kapal Perikanan

 

Ilustrasi. Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Project Coordinator SAFE Seas Nono Sumarsono menyatakan Pemerintah Indonesia saat ini semakin memahami bahwa resiko yang ditanggung oleh AKP saat bekerja di atas kapal perikanan sangatlah besar. Pemahaman itu, ditandai dengan dikeluarkannya banyak kebijakan dan peraturan berkaitan dengan aspek ketenagakerjaan pada kapal perikanan.

“Pada kegiatan bisnis perikanan tangkap yang dilakukan oleh perusahaan, peran dan posisi tiga pihak harus setara dan sejajar yaitu pemerintah, perusahaan dan pekerja. Sehingga masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan jalan dialog dan mediasi,” ungkapnya.

 

Regulasi

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya juga menegaskan, Pemerintah berkomitmen untuk memberikan perlindungan kepada AKP yang bekerja di atas kapal perikanan dengan cara terus memperbarui standar keamanan AKP menjadi lebih baik lagi.

Salah satu upaya untuk meningkatkan standar keamanan itu, adalah dengan mengesahkan dan memberlakukan Peraturan Presiden No.18/2019 tentang Pengesahan International Convention on Standards of Training Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel, 1995 (Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan, 1995).

Menurut Luhut, lahirnya Perpres tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk menjaga keselamatan AKP dengan mempersiapkan lebih baik lagi para pekerja sejak dari proses persiapan. Dengan demikian, AKP akan memiliki kemampuan bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh industri sektor kelautan dan perikanan.

Standar tersebut, mencakup standar nasional dan internasional yang dibutuhkan para AKP, sehingga semua bisa mendapatkan posisi dan pekerjaannya dengan benar, baik, dan mendapatkan perlakuan saat sedang bekerja di atas kapal.

“Agar awak kapal bisa bekerja dengan baik, maka perlu juga penerapan 3D, yakni dirty, dangerous dan difficult. Selain itu juga akan diberikan pelatihan, ada juga di sini, ada di mana-mana dan macam-macam ada berapa puluh tempat itu,” ungkapnya.

baca juga : Praktik Perbudakan kepada Pekerja Perikanan dari Indonesia

 

Ilustrasi. Empat dari 14 nelayan yang berhasil dipulangkan oleh KKP bersama Kementerian Luar Negeri yang ditangkap pemerintah Australia pada Mei 2019. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Selain memberi pelatihan, Luhut memastikan bahwa regulasi untuk mewujudkan standar keamanan yang tinggi bagi AKP di atas kapal perikanan, saat ini tengah diperbaiki oleh Pemerintah. Ada dua pilar yang sudah disahkan dan dua lainnya masih dalam tahap penyelesaian.

Dua yang sudah selesai itu, adalah Port State Measures Agreement to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing; dan Konvensi Standard on Training, Sertification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F).

Sementara, dua pilar yang sedang diselesaikan adalah Konvensi Cape Town Agreement on Safety of Fishing Vessel; dan Konvensi ILO Convention No. 188 on Work in Fishing. Diharapkan, kedua pilar tersebut paling lambat pada akhir 2020 sudah bisa disahkan dan diberlakukan.

Sementara, Deputi I Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan, pekerjaan di atas kapal penangkap ikan merupakan jenis pekerjaan dengan resiko tinggi. Oleh itu, Negara wajib hadir untuk memberikan pelindungan terhadap para pekerja berkewarganegaraan Indonesia di sana.

Menurut dia, Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO) memperkirakan setiap tahun ada 24 ribu kapal perikanan di seluruh dunia yang mengalami kecelakaan fatal. Musibah tersebut terjadi, karena faktor kesalahan manusia, keterampilan dan keahlian AKP yang rendah, serta karena faktor lain seperti kerusakan kapal.

Yudha menambahkan, setiap tahun kasus yang dialami oleh AKP terus meningkat. Itu bisa dilihat dari data yang dirilis Kementerian Luar Negeri RI, di mana pada 2015 ada 495 kasus dan meningkat pada 2016 menjadi 554 kasus, dan meningkat lagi menjadi 927 kasus pada 31 Oktober 2018.

 

Exit mobile version