Mongabay.co.id

Jatam dan Kiara: Pemerintah, Jangan Izinkan Perusahaan Buang Tailing ke Laut

Begini tampilan tepian pantai kala ada tambang nikel. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

 

Awal Maret lalu, Purbaya Yudhi Sadewa, Plt Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Maritim), mengundang sejumlah lembaga pemerintahan pusat dan daerah rapat koordinasi terkait perizinan penempatan tailing bawah laut (deep sea tailing placement/DPST). Rapat ini menindaklanjuti pengajuan beberapa perusahaan hidrometalurgi di Halmahera Selatan, Maluku Utara dan Morowali, Sulawesi Tengah.

Diundang juga direktur utama PT. Trimegah Bangun Persada (TBP), PT. QMB New Energy Material dan PT. Huayue Nickel Cobalt (HNC), selaku pemohon izin.

Aksi pemerintah mengakomodir keinginan pebisnis menuai sorotan dan protes dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Mereka menilai, pembuangan limbah nikel ke laut dalam untuk proyek hidrometalurgi ini, bakal menambah laju perusakan ruang hidup masyarakat dan ekosistem pesisir dan pulau kecil yang selama ini sudah porak poranda oleh industri ekstraktif.

Setidaknya, ada empat perusahaan sudah dan tengah meminta rekomendasi pemanfaatan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kemenko Maritim. Mereka adalah TBP di Pulau Obi (Maluku Tenggara) dan QMB, PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) dan HNC di Morowali (Sulawesi Tengah).

TBP, sudah punya izin lokasi perairan dari Gubernur Maluku Utara dengan SK502 tertanggal 2 Juli 2019. SCM juga sudah mendapatkan legitimasi untuk pembuangan tailing bawah laut ini melalui surat Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP No B.225 tertanggal 1 Maret 2019 tentang arahan pemanfaatan ruang laut.  Izin lokasi perairan juga telah diterbitkan oleh Gubernur Maluku Utara untuk TBP di Perairan Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Saat dijumpai terpisah, Longki Djanggola, Gubernur Sulawesi Tengah, kepada Mongabay, menyebut pemerintah provinsi tak punya kewenangan memberikan izin pembuangan limbah bawah laut. Dia bilang kewenangan itu berada di kementerian.

“Kewenangan ada di KKP. Untuk permohonan-permohonan itu kami sudah teruskan ke kementerian,” katanya.

Aryo Hanggono, Plt Dirjen PRL KKP, mengatakan, kegiatan DSTP oleh SCM di Perairan Morowali, dalam pembangunan smelter, merupakan salah satu proyek strategis nasional. Meskipun kegiatan belum dimuat dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau lecil (Perda No 10/2017 tentang RZWP3K Sulawesi Tengah), katanya, berdasarkan Pasal 122 PP No 32/2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut (RTRL), izin pemanfaatan ruang dapat diberikan Gubernur Sulawesi Tengah, dengan rekomendasi pemanfaatan ruang laut dari Menteri KKP.

Aryo bilang, izin berlaku sebagai dokumen kesesuaian tata ruang sebagaimana dipersyaratkan untuk izin lingkungan.

“Seluruh kegiatan di perairan harus sesuai Perda RZWP3K. Izin lokasi perairan diberikan oleh gubernur sesuai Perda RZWP3K. Kalau gubernur mengeluarkan izin di luar kewenangan, misal di luar 12 mil laut, KKP akan meminta gubernur mencabut izin yang di luar kewenangannya.”

Mengenai dampak lingkungan, Aryo mengatakan, pencemaran merupakan ranah izin lingkungan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Mongabay, mencoba meminta keterangan kepada Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan KLHK, Ary Sudijanto, sejak minggu lalu. Hingga berita ini diturunkan belum ada jawaban dari KLHK.

Parid Ridwanuddin, Pengkampanye Kiara menilai, dasar hukum penerbitan rekomendasi Ditjen PRL KKP tidak memiliki landasan kuat karena hanya berdasarkan PP No.32/2019.

“Padahal, ada UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam aturan lebih tinggi, yaitu UU No 27/2007 khusus dan putusan mahkamah konstitusi No 3 tahun 2010,” katanya.

Selain itu, katanya, yang penting sebagai pertimbangan adalah kawasan laut dan pesisir lebih rentan dibandingkan daratan terutama dalam kenaikan permukaan air laut.

“Kawasan pesisir punya kerentanan tinggi, tambah rentan dengan rencana ini,” katanya.

 

Perusahaan tambang seperti tambang nikel dan pabrik smelternya. Di lapangan tempat perusahaan menggali mineral (ore nikel) banyak munculkan masalah dari hutan terbabat sampai wilayah hidup warga tersingkir, dan laut tercemar ore, kala mineral mentah mau proses dan limbahnya dibuang pula ke laut, masalah bumi dan mahluknya bertambah. Sakit di darat, sakit pula di laut. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman buat Wilayah Pesisir

Melky Nahar, Juru Kampanye Jatam, mengatakan, proyek pembuangan tailing ini menambah kehancuran wilayah pesisir dan pulau kecil. Di Pulau Obi, saat ini ada 14 perusahaan tambang nikel mengeruk daratan pulau seluas 254,2 hektar itu.

“Daratan Morowali telah lama diobrak-abrik oleh 61 perusahaan tambang yang beraktivitas di daratan dan pesisir,” katanya.

Proyek pembuangan tailing ini, katanya, jelas menambah kehancuran di dua wilayah itu, mulai dari keberlangsungan ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan sumber daya perikanan. Hal-hal itu, sangat penting bagi masyarakat sebagai sumber pangan dan penghidupan.

Dalam konteks ini, katanya, Permen LHK No 12/2018 tentang persyaratan dan tata cara pembuangan limbah ke laut menyebutkan, ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan kawasan perikanan tangkap sebagai kawasan sensitif serta terlarang untuk jadi pembuangan limbah.

Potensi ancaman besar berikutnya, kata Melky, adalah kesehatan masyarakat pesisir, khusus nelayan skala kecil atau nelayan tradisional yang hidup sangat tergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan di perairan setempat.

“Bahasa dalam dokumen penempatan bagi kami rencana pemerintah untuk membuang tailing ke laut menunjukkan betapa pemerintah kita, pemerintah pusat, Menko Maritim dan Investasi, lebih mementingkan kepentingan perusahaan tambang, juga perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan pemurnian, namun abai masa depan masyarakat di Pulau Obi,” kata Melky.

Catatan Jatam, setidaknya ada 700 keluarga nelayan perikanan tangkap di Morowali yang akan terdampak proyek ini. Masa depan kehidupan 3.343 keluarga nelayan perikanan tangkap di Pulau Obi juga jadi taruhan. Di Morowali, menurut Jatam, yang paling diuntungkan dari proyek ini adalah QMB, SCM dan HNC. Ketiganya diduga terhubung ke PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

IMIP, yang berdiri sejak 2013, merupakan proyek bisnis Indonesia-Tiongkok, patungan antara Shanghai Decent Investment Co. Ltd., Pt Bintang Delapan Investama dan PT Sulawesi Mining Investment. Sedangkan di Pulau Obi, Harita Group sendiri sebagai induk TBP.

Jatam dan Kiara meminta Kemenko Maritim, KKP, KLHK dan Pemda Maluku Utara dan Sulawesi Tengah untuk menghentikan proyek pembuangan tailing di laut dalam ini. “Pemerintah mestinya mulai memulihkan kedua wilayah ini untuk menghentikan perluasan akibat industri ektraktif,” kata Melky.

 

Seperti Kasus Buyat

Ki Bagus Hadikusumo, juru kampanye Jatam mengatakan, proses perizinan pembuangan tailing ke laut dalam ini, mengingatkan pada kasus pencemaran Teluk Buyat tahun 2004 yang melibatkan perusahaan tambang emas PT Newmont Minahasa Raya di Minahasa, Sulawesi Utara.

Newmont akhirnya disetop operasi karena melakukan beberapa pelanggaran termasuk soal izin pembuangan limbah ke laut yang menyebabkan kadar arsenik di sekitar Teluk Buyat berada di atas ambang batas baku mutu.

“Satu desa harus pindah karena laut tercemar dan paparan sampai ke masyarakat,” kenang Bagus.

Selain di Buyat, kata Bagus, juga pembuangan tailing ke laut NTB yang juga menimbulkan paparan arsenik, mengancam manusia lewat rantai yang panjang, baik dari nelayan yang mencari ikan maupun masyarakat yang mengkonsumsi hasil laut.

Melihat konteks lebih luas, katanya, proses perizinan pembuangan tailing ke laut dalam yang diajukan beberapa perusahaan nikel dan smelter ini, tak terpisahkan dari ambisi pemerintah untuk percepatan industri nikel dan baterai sebagai salah satu komoditas untuk kendaraan listrik.

“Ada 15 smelter di Morowali yang butuh banyak nikel dan menghasilkan banyak tailing. Sumber energi yang digunakan adalah batubara. Di satu sisi ada klaim energi rendah karbon, di sisi lain juga membakar batubara dengan sangat masif,” kata Bagus.

Parid mengatakan, konsep investasi pemerintah salah kaprah.

“Investasi maknanya harus skala besar, harus foreign investment, harus dari luar negeri, negara atau non negara, company based. Biasanya menghancurkan alam dan lingkungan hidup.”

Padahal, masyarakat pesisir yang merawat sumber daya alam dan lingkungan agar tak terjadi krisis ekologi dan kehancuran kekaragaman hayati, juga termasuk investasi.

“Ini konsep investasi yang tidak dimunculkan ke publik. Investasi besar yang bisa dinikmati anak cucu mereka 100 tahun ke depan, bukan investasi perusahaan yang hanya beberapa tahun dinikmati,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama:  Pencemaran laut atau tepian pantai dari aktivitas  tambang nikel saja sudah seperti ini, mau ditambah lagi dengan pembuangan tailing ke laut?  Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version