Mongabay.co.id

Mengapa Akhir-Akhir ini Cuaca Ekstrim Makin Sering Terjadi di Jabodetabek?

Kondisi cuaca di Jabodetabek (meliputi Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi) yang ditandai dengan hujan ekstrim sejak awal tahun hingga akhir Februari 2020, sering dinyatakan sebagian pihak sebagai dampak “Perubahan Iklim”.

Pertanyaannya apakah ini pernyataan valid sesuai hasil kajian secara keilmuan, ataukah hanya pernyataan yang tidak mendasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya?

Perubahan iklim hakikinya adalah kenyataan yang tidak dapat dielakan. Definisi perubahan iklim mengacu adanya perubahan unsur cuaca dan iklim mulai dari suhu udara, suhu muka laut, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, total curah hujan, banyaknya hari terjadi hujan, pancaran radiasi matahari, lamanya penyinaran matahari, serta jenis dan banyaknya liputan awan yang cukup mencolok.

Untuk menjawab apakah telah terjadi perubahan iklim di wilayah Indonesia diperlukan kajian data yang dikumpulkan secara seri untuk jangka waktu puluhan hingga ratusan tahun.

Dengan analisis data keilmuan tersebut, pada akhirnya akan dapat menjawab klaim tentang adanya perubahan iklim.

Baca juga: BMKG: Waspadai Potensi Cuaca Ekstrim Hujan Lebat Pasca Banjir Jakarta

Permasalahannya, di Indonesia olahan data secara komprehensif amat sulit dijumpai. Selama ini data lebih banyak mengacu pada hasil kajian para ahli dunia, baik itu yang dilakukan secara individu maupun sekelompok peneliti dari luar negeri.

Sebaliknya penilaian kondisi cuaca dan iklim mulai dari lingkup Nasional, Regional/tiap propinsi dan lokal tiap-tiap kota sepertinya masih sangat langka.

Sumberdaya manusia yang handal dan mumpuni dengan kualitas tingkatan profesor di bidang meteorologi murni saat ini belum tersedia. Hal ini ditambah dengan minimnya perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap ilmu cuaca atau meteorologi.

Dengan situasi dan kondisi demikian, maka penilaian bukti bahwa terjadinya perubahan iklim menjadi lebih bersifat subyektif. Ia lebih berdasarkan pada pengalaman pribadi peneliti yang selama ini menekuni perkembangan cuaca dan iklim.

Di balik perdebatan tentang perubahan iklim dalam masalah cuaca di Jabodetabek, sebagai orang yang telah berkecimpung dalam dunia iklim selama puluhan tahun, penulis akan mencoba untuk memberikan pandangan seperti disajikan di bawah ini.

 

Rumah di Jalan Tendean, Jakarta terlanda banjir lebih satu meter akhir bulan Februari 2020. Awan badai cumulonimbus semakin sering terjadi di Jabodetabek akibat fenomena “pulau panas urban” (UHI). Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Adakah klaim yang Mendukung Mengapa Terjadi Cuaca Ekstrim di Jabodetabek?

Dengan mengacu dari perkembangan kajian data dan membandingkan dengan kondisi yang terjadi, sepertinya kondisi keragaman cuaca sebagai bagian perubahan iklim sepertinya telah terjadi. Seperti naiknya intensitas hujan harian tinggi yang semula kurang dari 200 milimeter/hari dan terjadi setiap puncak musim hujan.

Kini di musim hujan 2019/2020 di wilayah Jabodetabek terjadi sampai 3 kali hujan ekstrim, dimana hujan tertingginya yaitu 377 milimeter terjadi pada tanggal 1 Januari 2020.

Namun, apakah kondisi ini merupakan bagian perubahan iklim, maka sepertinya perlu ada pengembangan lebih lanjut dari data agar dapat dijelaskan secara ilmiah.

Dalam bahasan berikut penulis akan lebih banyak menyoroti tentang masalah perubahan fisik lingkungan yang dihadapi oleh kawasan Jabodetabek, khususnya wilayah DKI Jakarta.

Sebagai wilayah “pulau hangat akibat urbanisasi” (Urban Heat Island=UHI) wilayah Jakarta dan sekitarnya memiliki isotherm (=garis yang menghubungkan suhu yang sama) antara wilayah pusat dengan kawasan pinggirannya.

Data ini dapat diketahui dari hasil pengamatan lima wilayah Jakarta yang terwakili oleh 5 stasiun pengamatan cuaca untuk masing-wasing kawasan. Untuk diketahui, -maka secara ilmu cuaca, UHI potensial untuk menarik dan membentuk awan penyebab badai yang disebut “cumulonimbus”  (Cb).

Baca juga: Banjir dan Politik Ekologi Perkotaan

Fenomena ini tampak berbeda dengan beberapa dekade yang lalu, saat berbagai kegiatan bisnis dan perkantoran, keramaian orang dan kendaraan masih terpusat di wilayah Jakarta Pusat. Adapun sebelum tahun 1980,  daerah sekitar Jakarta seperti Tangerang di barat, Depok dan Bogor di selatan dan Bekasi di timur masih belum berkembang seperti saat ini.

Kondisi wilayah pinggiran pun saat itu masih dipenuhi dengan pepohonan hijau. Hal ini dibuktikan  dengan tersedianya buah-buahan asli khas Jakarta sekitarnya seperti kecapi, rambutan, duku dan durian.

Situ (danau kecil) dan rawa-rawa pun masih dapat dijumpai. Walhasil, cerita genangan dan banjir pasca hujan lebat tidak dirasakan oleh sebagian warga Jakarta, berbeda seperti yang terjadi saat ini.

Dari hasil pemantauan awan di era 1971–1980, maka lingkungan hijau yang ada di Jakarta, mampu menekan UHI sehingga tidak terkonsentrasi secara masif. Kondisi curah hujan sangat lebat hingga ekstrim belum sering dan mudah bergiat pada era itu.

Seiring laju perkembangan zaman yang diikuti dengan jumlah populasi yang meningkat di wilayah Jabodetabek, maka dibutuhkan berbagai sarana dan prasarana untuk mendukung kehidupan warga, khususnya pembangunan hunian dan tempat tinggal.

Di tahun 1980-an, dikenal Perumnas  atau program perumahan rakyat yang menyasar rakyat kecil. Diikuti dengan pembangunan kawasan elite seperti di kawasan Tangerang, Bekasi dan Depok.

Perubahan lingkungan pun terjadi. Wilayah tutupan hijau semakin berkurang secara signifikan. Dampaknya tidak saja dirasakan dengan hilangnya buah-buahan khas lokal tergantikan buah-buahan impor, tetapi dialami dengan melebarnya UHI secara meluas di kawasan Jabodetabek.

 

Sketsa profil urban heat-island dari beberapa lansekap (Oke, 1987)

 

Dari pengalaman lapangan penulis sebagai pengamat, analis dan praktisi cuaca dan iklim Indonesia  maka awan Cb penghasil hujan lebat-ekstrim marak dan meluas sejak dekade 1990-an hingga kini di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Hujan lebat hingga sangat lebat giat dan pun terjadi. Pertama kali terukur hujan ekstrim sebesar 350 milimeter/hari terukur di daerah Pasar Minggu, Jakarta pada tanggal 9 Februari 1996.

Setelah kejadian ini, awan badai terus giat yang menyebabkan hujan lebat hingga sangat lebat hingga tahun 2019. Pada tanggal 1 Januari 2020, baru pertamakalinya terjadi hujan ekstrim hingga tiga kali dengan curah tertingginya 377 milimeter.

Kejadian hujan sangat lebat hingga ekstrim selama musim hujan 2019/2020 lebih banyak diwarnai dengan hadirnya awan Cb sel banyak (Multi Cell) dengan frekuensi kejadian sampai 8 kali dari awal musim hujan akhir Desember 2019 hingga akhir Februari 2020.

Adanya penyimpangan kondisi cuaca dan iklim dengan awal musim hujan yang mundur cukup lama juga memicu pertumbuhan awan badai yang sangat giat mulai awal Januari–akhir Februari 2020.

Keseringan terjadinya awan Cb di kawasan Jabodetabek, khususnya wilayah DKI Jakarta, merupakan bukti adanya perubahan lingkungan yang menjadi pemicu terjadinya krisis iklim.

Kiranya bahasan berdasarkan kajian awal dan pengalaman lapangan serta mencermati perubahan lingkungan ini dapat digunakan sebagai upaya mitigasi. Sering dengan semakin maraknya bencana hidrometeologi yang terjadi di kawasan Jabodetabek pada saat ini.

 

* Dr Paulus Agus Winarso, penulis adalah pensiunan aparatur sipil negara. Merupakan praktisi, pengamat dan peneliti meteorologi. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version