Mongabay.co.id

Pandemi COVID-19, Peringatan untuk Manusia Hidup Berdampingan dengan Satwa Liar

 

Seiring merebaknya penyebaran dan jumlah orang yang terkena di berbagai negara di dunia, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu (11/03/2020) akhirnya menetapkan COVID-19 sebagai pandemi atau wabah yang berjangkit serempak dengan geografi yang luas.

Sampai Jumat (13/03/2020) sore, WHO mencatat ada 136.895 pasien positif COVID-19, dengan 5.077 orang meninggal dunia yang tersebar di 123 negara di dunia. Di Indonesia sendiri, Juru bicara Pemerintah untuk COVID-19 dr. Achmad Yurianto di Komplek Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/3) menyebutkan ada 69 orang pasien positif COVID-19 dengan 4 orang diantaranya meninggal.

Dari beberapa penelitian menyebutkan Kelelawar merupakan hewan yang dipercaya sebagai sumber virus baru Corona tersebut. Namun, beberapa temuan menunjukkan, virus Corona tidak ditularkan langsung dari kelelawar ke manusia. Sebaliknya, trenggiling, kelompok hewan pemakan semut bersisik yang merupakan mamalia paling diperdagangkan di dunia, diduga sebagai perantara virus tersebut.

Kantor Berita Xinhua, Tiongkok, melaporkan pekan lalu bahwa para peneliti telah menemukan kecocokan genetik terdekat dengan virus corona yang menginfeksi manusia dalam virus yang terdeteksi pada trenggiling. Namun, para ilmuwan telah memperingatkan agar tidak sampai pada tahap kesimpulan, sebelum penelitian dipublikasikan dan ditinjau lebih dalam.

Jika trenggiling berperan sebagai perantara, pelarangannya dapat diberlakukan untuk mengatasi kondisi krisis. Trenggiling diperdagangkan untuk diambil daging dan sisiknya, yang digunakan dalam pengobatan tradisional Tiongkok. CITES sendiri telah melarang perdagangan internasional untuk semua delapan spesies trenggiling sejak 2016. Dari tahun 2000 hingga 2013, diperkirakan lebih satu juta trenggiling masuk pasar internasional secara ilegal.

baca : Perdagangan Trenggiling Ilegal Mungkin Berperan dalam Penyebaran Wabah Corona

 

 Kalong (Pteropus sp) saat dipertunjukkan di salah satu ruang publik. Satwa ini merupakan anggota bangsa kelelawar yang disebut-sebut penyebab terjadinya penyebaran virus corona. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Ahli paru-paru China, yang menemukan virus corona SARS pada 2003, Zhong Nanshan mengatakan, setelah dia berkunjung ke Wuhan, dapat dipastikan virus corona berasa dari hewan liar di sana.

“Wabah terkonsentrasi di dua distrik di Huwan, terutama di pasar makanan laut,” kata Zhong, dikutip South China Morning Post, pekan lalu.

China telah mengeluarkan aturan larangan terhadap perdagangan satwa liar. Tujuannya, agar virus pencabut nyawa ini tidak menyebar ke seluruh dunia.

Sepuluh tahun terakhir, sebanyak 26 ribu trenggiling dari Indonesia diselundupkan ke Tiongkok. Hal tersebut diungkap Database and Analysis Officer Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia, Yunita Dwi Setyorini, dalam sebuah acara di Jakarta, Selasa (18/2/2020). Yuni mengatakan, penyelundupan dilakukan dengan berbagai modus: jalur laut, kargo, dan melalui pelabuhan-pelabuhan kecil.

“Mayoritas ke Tiongkok. Kebanyakan transitnya di Malaysia, kemudian lanjut ke negara pengguna yaitu di Hong Kong, daratan Tiongkok, dan Vietnam,” katanya.

Sedangkan Peneliti Mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra, meminta masyarakat mewaspadai wabah virus ini dengan mengurangi, bahkan menghindari interaksi atau kontak langsung dengan satwa liar. Biarkan satwa liar berkembang di habitat alaminya.

“Fenomena ini harus menjadi momentum kesadaran kita semua, melindungi satwa liar di tempat aslinya,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Senin (24/2/2020).

Dia menjelaskan, satwa liar memang ada yang dikonsumsi sebagai sumber makanan atau obat. Tetapi, risiko biologis pengolahan hewan tersebut juga ada, yaitu transfer virus (transmisi patogen).

baca juga : Wabah Corona: Hindari Kontak Langsung dengan Satwa Liar

 

Perdagangan satwa liar masih marak, salah satu yang diperdagangkan yaitu burung hantu (Stritigiformes). Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Eksploitasi Satwa Liar

Project Manajer Javan Langure Centre (JLC), the Aspinal Foundation, Iwan Kurniawan menjelaskan, munculnya wabah penyakit virus corona (COVID-19) ini mestinya bisa dijadikan catatan penting bahwa seharusnya manusia itu tidak lagi memelihara atau mengkonsumsi satwa liar. Jika itu dilakukan maka dampak yang ditimbulkan bisa membahayakan diri sendiri dan juga masyarakat luas.

Iwan menyebutkan, pola eksploitasi satwa liar masih sama. Manusia masih memanfaatkan satwa liar untuk kesenangan, bahkan tidak sedikit yang menjadikannya sebagai makanan atau nutrisi yang tidak jelas dasar ilmiahnya.

Perdagangan satwa liar sejauh tidak berkurang, justru malah bertambah. Seperti lutung jawa (Trachypithecus auratus). Dalam enam bulan terakhir ini, setiap bulan rata-rata hampir ada 2-3 primata berekor panjang yang masuk ke rehabilitasi JLC. “Artinya dari rantai permasalahan tidak putus-putus. Masih ada yang bermasalah terus ditengah kita melakukan upaya rehabilitasi,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia, Selasa (03/03/2020).

Meski ada tim gabungan penegak hukum, tidak menjamin permasalahan itu selesai. Realitanya sampai saat ini masyarakat masih banyak yang membeli satwa liar baik itu yang sudah dilindungi maupun tidak.

Perburuan masih marak karena masih ada permintaan. Hal itu berdampak pada kerusakan lingkungan. Misalnya kebakaran hutan, selain orang mencari kayu salah satunya yaitu ulah dari para pemburu.

perlu dibaca : Virus Corona, Mewabah di Wuhan Menyebar Cepat ke Penjuru Dunia

 

Petugas memberi makan lutung jawa (Trachypithecus auratus) di Javan Langur Centre (JLC), The Aspinall Foundation di Coban Talun, Batu, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Keseimbangan Ekologi

Berbagai upaya konservasi satwa liar kerap kali menghadapi tantangan berat, seperti kondisi hutan sebagai habitatnya yang semakin memprihatinkan. Padahal pada prinsipnya, lanjut Iwan, satwa liar ini lebih baik ada di alam. Jika satwa liar diambil, ada konsekuensi ekologis yang ditanggung manusia, contohnya virus corona yang lagi menyebar luas dengan cepat ini.

Sehingga perlu program edukasi secara terstruktur oleh semua pihak, baik di lembaga sekolahan formal maupun yang non formal. Bisa juga melalui media sosial. “Peduli satwa liar kan tidak harus memiliki. Kepedulian itu bisa disampaikan dengan hal kecil misalnya tidak mendukung adanya perdagagan satwa liar,” katanya.

Jika ingin memelihara satwa, kata Iwan, beli dari penangkaran atau hasil pembudidayaan, seperti burung nuri (Loriini) maupun burung lovebird (Agapornis). Apalagi sekarang ini banyak penangkaran yang berhasil mengembangbiakkan berbagai jenis burung.

Yang mengkhawatirkan jika satwa liar bersentuhan dengan manusia yang mempunyai imunitas rendah itu akan menjadi masalah. Ketika diganggu dampaknya juga akan lebih luas. Bukan hanya ke satwanya, tapi bisa ke alamnya, maupun manusianya.

Selain itu, pada masa-masa tertentu satwa liar seperti kukang (Nycticebus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) maupun orangutan (Pongo) ini memang relatif jinak dan lucu. Namun, yang tidak banyak orang ketahui adalah ketika masa birahi satwa liar ini akan menjadi masalah. Sifat alaminya yang susah dikendalikan akan timbul. Sehingga membahayakan. Intinya, banyak dampak buruk ketika memelihara. Apalagi mengkonsumsi.

Untuk itu, sambung Iwan satwa liar lebih baik tidak dipelihara. Jika ingin tahu bisa ke kebun binatang. Banyak hal yang bisa mengapresiasikan sisi-sisi keindahan tanpa harus memiliki. Karena di alam satwa liar memiliki peranan penting untuk keseimbangan ekologis. Selain itu juga bisa dijadikan sarana kajian keilmuan.

Sekarang ini, menurutnya, banyak gerakan kembali ke uri-uri budaya. Mengingat nenek moyang dulu sudah mengajarkan bagaimana menghargai alam yang di dalamnya ada tumbuhan dan satwa liar. Alam ini bukan hanya air saja, melainkan di dalamnya juga ada makhluk lain seperti binatang. “Ini juga mempunyai peran penting dalam keberlangsungan atau kestabilan ekosistem di alam,” imbuhnya.

perlu dibaca : Perdagangan Satwa Liar Ilegal Capai Rp13 Triliun, Apa yang Bisa Diupayakan?

 

 Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam subspesies harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini, dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Mata Pencaharian Alternatif    

Budi Prasetyo, dalam artikel Reintroduksi Spesies Fauna ke Kehidupan Alam Liar menjelaskan, mengacu pada permalahan yang terjadi. Maka sudah suatu kewajiban bagi pemerintah untuk terus membangun dan memfasilitasi para ahli dan praktisi biologi konservasi untuk bekerja sama dengan masyarakat lokal, pihak swasta yang berkepentingan, LSM terkait, pemerintah daerah setempat pada beberapa bidang konservasi antara lain pengelolaan, pelepas-liaran hewan, dan evaluasi porgram konservasi.

Di samping itu, upaya peningkatan kepedulian seluruh lapisan masyarakat perkotaan dan pedesaan terhadap kelestarian fauna perlu terus dibina dan digalakkan, kepedulian ini berdampak positif bagi aspek lain pada kehidupan masyarakat, yaitu aspek sosial ekonomi, budaya, dan sumberdaya alam .

Senada dengan hal itu, Founder Sahabat Alam Indonesia, Andik Syaifudin saat dihubungi menjelaskan, peran para pihak terkait dalam menjalankan serta menegakkan regulasi untuk menjaga satwa liar sangat penting. Salah satunya dengan menggandeng seluruh stake holder yang di dalamnya ada komunitas pemerhati lingkungan, LSM, maupun organisasi masyarakat (ormas) untuk sosialisasi dan edukasi terkait dengan perlindungan satwa liar dan habitatnya.

Mendorong masyarakat untuk peka dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga tergerak dan bergerak melindungi habitat satwa liar. Mengingatkan teman, keluarga, tetangga atau masyarakat yang melakukan tindakan pelaggaran seperti penyalahgunaan senapan angin, berburu di kawasan lindung, jual beli satwa, dll.

 

 Musang pandan (Paradokxurus hermaphroditus) terkena jeratan yang dipasang pemburu di hutan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Keberadaan satwa liar ini menurut Andik secara langsung bisa dimanfaatkan sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat sekitar dengan membuat ekowisata, yaitu wisata berbasis ekologi. Seperti pengamatan burung, pengamatan satwa liar, juga kupu-kupu.

Dimana masyarakat ini bisa mendapatkan nilai ekonomi tambahan. Sedangkan wisatawan bisa mendapatkan nilai edukasi dan pengalaman. Selain itu, pemanfaatan secara tidak langsung yaitu sebagai penyeimbang ekosistem, memberikan kesuburan tanah, hutan lestari, oksigen melimpah, dan juga kelimpahan air.

“Percayalah, jika kita berbuat baik kepada alam mereka akan berdoa dan berzikir kepada Tuhan yang Maha Pencipta tanpa terputus,” kata pria yang juga penyelam ini. Dia beriktikad, bisa jadi makhluk lain seperti binatang maupun tumbuh-tumbuhan inilah yang akan membantu manusia masuk surga. Tidak ada hal sia-sia dalam hal berbuat baik, khususnya untuk alam.

 

Exit mobile version