Mongabay.co.id

Belasan Tahun Menanti Pelita di Ujung Jakarta

Sunset di Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Jakarta dengan lampu penerangan dari sumber listrik PLTD. Foto : pulau-sebira.blogspot.com/Mongabay Indonesia

 

Pulau Sebira merupakan salah satu pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta. Karena berada di ujung paling utara di Kepulauan Seribu, menjadikan Pulau Sebira sulit akses listrik dari PLN.

Butuh waktu belasan tahun bagi warga Pulau Sabira, untuk dapat menikmati listrik menyala seharian. Baru pada awal tahun 2019 warga di pulau itu bisa merasakan akses listrik full 24 jam setelah ada tambahan satu pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) berkekuatan 125 kilowatt per hour (KWh) sebagai sumber energi listrik.

Sebelumnya warga Sabira mengandalkan 2 unit PLTD berkekuatan 250 KWh dan 125 KWh untuk kebutuhan listrik malam hari, yang dioperasikan setiap pukul 17.00 hingga 24.00 malam. Listrik siang hari menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang menyala pada pukul 09.00 hingga 17.00. Pengadaan 2 unit PLTD dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta pada 2014 dan 2015.

baca : Sekolah di Jakarta Mulai Pakai Energi Matahari

 

Pulau Sebira, pulau paling utara di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Foto : jakarta-tourism.go.id/Mongabay Indonesia

 

Keberadaan PLTS di Pulau Sebira sudah sejak 2007. Tapi warga menemui sejumlah kendala. PLTS penyuplai energy tambahan pada siang hari, belum bisa mencukupi kebutuhan listrik harian warga. Warga hanya bisa menikmati listrik selama 15 jam setiap harinya. Listrik sering sekali mati pada pagi hari bahkan sebelum pukul 12.00 siang. Mereka pun dijatah untuk pemakaiannya setiap keluarga hanya 300 KWh. Padahal, kata seorang warga, mereka telah menghemat penggunaan listrik dengan tidak menyalakan kipas angin ataupun alat elektronik lain tetapi tetap saja tidak cukup.

“Hanya bisa lampu saja dan mandi. Untuk televisi apalagi kipas angin tidak kuat,” ujar Syamsudin Manjago, warga yang bekerja sebagai operator PLTD sejak 1984 di Pulau Sabira ketika ditemui Mongabay Indonesia, Sabtu (14/12/2019).

Dari penjelasannya, ada dua PLTS yang terpasang Pulau Sebira, bantuan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Keduanya terpasang di tanah lapang sekitar menara. Masing-masing berkaekuatan 15 KWh. Namun keduanya tidak berfungsi maksimal karena ada kerusakan inverter yang tersambar petir saat hujan deras. Operator tidak bisa mengganti kerusakan semacam itu, katanya, karena harus kontraktor yang mengganti dan barangnya harus diimpor.

“PLTS di sini sejak 2007 tidak maksimal. Hanya sebagai percobaan. Setelah dipasang tidak pernah ditengok lagi, walaupun kami melapor ada kerusakan. Tidak ada respons,” kata Syamsudin.

Instalasi PLTS di Sabira pada awalnya tersambung (on grid) dengan listrik PLN yang bersumber dari PLTD. Setelah adanya kerusakan, saat ini kedua PLTS itu dibiarkan tidak terpakai. Di sekitar PLTS ditumbuhi ilalang tinggi dan tertutup rimbunnya pepohonan. Warga Sabira sekarang sepenuhnya menggantungkan energi listrik pada PLTD, walaupun setiap hari ada pemadaman sekitar lima menit ketika penggantian generator pada pukul 7.00 pagi dan 17.00 sore.

“PLTS awalnya untuk back up, tapi hanya empat tahun berjalan karena pemakaian listrik warga semakin banyak, PLTS tidak cukup,” terangnya.

baca juga : Perusahaan-perusahaan di Jakarta Ini Pasang Listrik Surya Atap

 

Supriadi, warga Pulau Sebira menatap solar panel dari PLTS yang sekarang tidak lagi digunakan karena kerusakan inverter. Foto : Indriyani Astuti/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Supriadi, warga Pulau Sebira mengatakan ia sempat ditugaskan menjadi operator PLTS di sana sejak pengadaan pada 2007. Ada sekitar 150 kepala keluarga yang menggunakan listrik dari PLTS. Setiap bulan mereka membayar secara swadaya sebesar Rp5 ribu untuk biaya perawatan.

Menurut pria yang kini direkrut oleh Dinas Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta untuk menjadi operator generator set PLTD, keberadaan PLTS memang ideal untuk daerah kepulauan karena PLN sulit menarik kabel untuk mengaliri listrik. Tetapi tanpa pendampingan dan pengawasan secara berkala, keberadaan PLTS pun tidak maksimal.

“Cara pengoperasiannya juga harus benar. Kacanya harus dibersihkan jangan sampai tertutup debu atau bayangan agar penyerapan panas dari matahari maksimal. Tapi sekarang rusak kondisinya. Hanya bertahan 4 tahun,” ucap Supriadi.

PLTS atap juga terpasang di Sekolah Dasar Negeri Pulau Harapan 02 dan Sekolah Menengah Pertama Satu Atap 02 Pulau Sebira. Tetapi menurut kepala sekolah Jamil Fahmi, PLTS itu masih berfungsi hanya saja ada jaringan tertentu yang putus. Ia tidak berani meminta operator memperbaiki karena panel surya atap itu berasal dari bantuan coorporate social responsibility (CSR) suatu perusahaan.

“Dahulu kendala listrik sebelum listrik menyala 24 jam, kami mengandalkan PLTS tapi sering mati kalau siang. Staf kesulitan mengoperasikan barang elektronik seperti printer dan komputer. Bisa sih malam kita print surat-surat, tapi kan administrasi jadi terkendala. Sekarang kami menggunakan PLTD sepenuhnya,” ucapnya.

menarik dibaca : Catatan Akhir Tahun: Energi Terbarukan Masih Terseok

 

Solar panel dari PLTS yang sekarang tidak lagi digunakan karena kerusakan inverter di Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Jakarta. Foto : Indriyani Astuti/Mongabay Indonesia

 

Awalnya Pulau Kosong

Pulau Sebira berjarak 119 kilometer dari daratan Jakarta. Hartuti, tokoh masyarakat sekaligus Ketua Rukun Warga (RW) yang telah tinggal di pulau tersebut sejak 1974 menuturkan pada awalnya Sebira bukan pulau berpenghuni. Di sana hanya terdapat mercusuar di tepi pantai yang dibangun di zaman kolonial Belanda tahun 1869. Fungsinya untuk memberikan penerangan bagi kapal yang ingin masuk dan keluar perairan Jakarta. Karena letak Pulau Sebira berada di paling utara dari Kabupaten Kepulauan Seribu, pulau ini sering dijuluki dengan nama Nochtwachter (Penjaga Utara).

“Kami sebenarnya warga gusuran dari Pulau Genteng. Pindah ke sini membawa anak-anak karena hasil tangkapan ikannya berlimpah terutama ikan Selar. Saya bersama bapak (almarhum Joharmansyah) mendirikan rumah seadanya. Anak-anak juga tidak sekolah. Kami pakai penerangan seadanya,” kenang warga RT 02/RW 03, Pulau Sebira, Kepulauan Seribu itu.

Saat malam, Hartuti mengatakan mereka menggunakan lampu dari minyak tanah. Dulu, lampu petromaks merupakan barang mewah. Tidak semua nelayan di pulau mampu membeli. “Kalau bangun pagi mukanya hitam semua terkena asap lampu minyak,” ujar perempuan berusia 80 tahun ini.

Sebagai warga ia hanya berharap listrik terus menyala sebab banyak para ibu di Pulau Sebira menggantungkan perekonomian dari hasil olahan ikan salah satunya sentra pembuatan ikan asin. Hartuti mengatakan ikan akan lebih awet apabila disimpan di lemari pendingin sebelum diolah menjadi kerupuk, bakso, ataupun diasinkan. Tanpa listrik dan lemari pendingin, hasil laut akan cepat busuk dan bahan baku untuk produksi tidak lagi segar.

baca juga : Mereka Ajak Kaum Milenial Pilih Pemimpin Pro Energi Terbarukan

 

Warga Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Jakarta, dengan salah satu produk olahan ikan. Foto : Indriyani Astuti/Mongabay Indonesia

 

Rencana PLTS 0,3 Megawatt

Plt. Kepala Dinas Perindustrian dan Energi Pemprov DKI Jakarta Ricki Marojahan menyampaikan bahwa 11 pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu yang berpenghuni sudah dialiri listrik antara lain Pulau Kelapa, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Harapan, Pulau Pari, Pulau Untung Jawa, Pulau Tidung Kecil, dan Pulau Sebira.

“Terakhir Pulau Sebira listrik sudah menyala 24 jam dengan penambahan PLTD ketiga pada awal Januari 2019,” ucapnya.

Ricki mengatakan bahwa sebenarnya pengadaan listrik untuk daerah kepulauan paling potensial ialah pengembangan energi terbarukan. Ia mengungkapkan PLN sudah mulai membuat kajian energi terbarukan yang cocok untuk wilayah di Kepulauan Seribu. Ada dua opsi yakni pembangkit listrik tenaga angin atau surya.

“Tapi ternyata tenaga angin tidak cukup besar. Jadi yang dimungkinkan dipakai tenaga surya,” terangnya ketika dihubungi di Jakarta, pada Jumat (20/12).

Menurutnya dari segi biaya, PLTS lebih efisien. Tetapi pemerintah harus memikirkan keberlanjutannya.

Ia berpendapat tidak bisa mengandalkan listrik sepenuhnya dari energi surya sebab bisa saja cuaca mendung atau hujan sehingga paling cocok adalah dengan sistem hybrid. “Kalau energi matahari tidak cukup, kita gabungkan dengan PLTD untuk back up,” ucapnya.

Sejauh ini, katanya, belum ada pilihan selain PLTD sebelum pengembangan energi terbarukan resmi terealisasi di Kepulauan Seribu. Meskipun biayanya cukup mahal karena pengadaan bahan bakar. Satu mesin diesel berkekuatan 125 kilowatt menghabiskan 400 liter bahan bakar fosil per jam. Selain itu, biaya pengangkutan dan transportasi bahan bakar untuk dikirimkan ke pulau juga harus dihitung.

“Kami juga khawatirkan risikonya. Kapal itu kan membawa bahan bakar minyak bagaimana kalau tenggelam,” pungkasnya.

 

Unit PLTD dan persediaan solar di Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Jakarta. Foto : Indriyani Astuti/Mongabay Indonesia

***

 

*Indriyani Astuti, jurnalis Media Indonesia. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

***

 

Keterangan foto utama : Sunset di Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Jakarta dengan lampu penerangan dari sumber listrik PLTD. Foto : pulau-sebira.blogspot.com/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version