Mongabay.co.id

Upaya Mereka Menjaga Bumi dan Meneladani Sikap Gus Dur

 

 

 

 

Hujan gerimis membasahi Kota Malang, Jawa Timur, akhir Februari 2020. Silih berganti pemuka agama lintas iman, penggerak Gusdurian dan masyarakat Kota Malang memasuki pelataran Klenteng Eng An Kiong, Jalan RE. Martadinata, Kota Malang.

Mereka hadir untuk memperingati haul ke-10 Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang diselenggarakan Gerakan Gusdurian Muda (Garuda) Malang, di Aula Klenteng.

Sekeliling ruangan dipenuhi karya para seniman Kota Malang. Mereka memamerkan kriya dan lukisan dengan beragam madia. Sebagian besar pengunjung langsung menikmati karya para perupa yang menggambarkan sosok presiden ke empat ini. Beragam warna dan media lukis menggambarkan sosok Gus Dur, yang ditampilkan sesuai persepsi sang seniman.

Ada yang menggambarkan Gus Dur sebagai tokoh yang menjunjung pluralisme, merawat toleransi, keberagaman, mempersatukan atau merekatkan umat bergama. Ada pula yang menggambarkan Gus Dur seorang tokoh yang kocak dan memiliki selera humor tinggi. Mereka mengagumi sifat Gus Dur yang demokratis, termasuk menetapkan Khonghucu sebagai agama resmi di Indonesia, sebagai bagian dari kebebasan beragama.

Tokoh agama dan masyarakat umum duduk bersimpuh beralas karpet di aula Klenteng. Mereka duduk sama tinggi, tak ada pemisah antara tokoh agama dan para umat kebanyakan. Tiga galon air mineral disediakan bagi para pengunjung yang akan mengisi botol air minuman. Serta gelas kaca untuk siapapun yang langsung meminumnya. Lantaran tak semua peserta membawa botol minuman.

Selain itu, aneka kudapan berbahan pangan lokal tersedia. Beragam pala pendem meliputi talas, singkong, kacang tanah dan ubi jalar. Semua penganan disajikan di atas nampan beralas duan pisang. Sederhana dan bermakna. Menarik perhatian para pengunjung yang hadir, lantaran dalam sebuah acara biasa mereka menerima hidangan kemasan plastik, styrofoam, atau kardus.

“Kami mengusung konsep budaya minim sampah. Menghindari membawa barang yang berpotensi menjadi sampah,” kata Ahmad Qomaruddin, Koordinator Gerakan Gusdurian Muda (Garuda) Malang.

Awalnya, Klenteng Eng An Kiong menyumbangkan 12 kartun air mineral kemasan botol plastik dan kudapan bakal dibungkus styrofoam, peggerak Gusdurian menolak. “Kami jelaskan, kami mengusung konsep minim sampah dan kampanye cinta lingkungan. Akhirnya mereka justru mengapresiasi,” katanya.

Sebanyak 12 kardus air mineral mereka kembalikan. Makanan yang disediakan bakso dan soto. Makan malam dalam mangkok. “Alhamdulilah, makanan tak ada yang sisa. Sedikit sampah,” kata Qomar.

Bonsu Anton Triyono, rohaniawan Konghucu, mengapresiasi sikap Gusdurian yang menggelar acara di klenteng dengan konsep minim sampah. Terbukti, tak banyak sampah tersisa dalam acara itu. Ruangan kembali bersih dan rapi. “Kebersihan sebagian dari iman, itu ajaran di agama Islam kan,” katanya.

Dia tak tak menyangka bisa terselenggara kegiatan dengan konsep ramah lingungan, dengan menjaga ibu bumi agar lestari.

Bonsu Anton menawarkan Klenteng untuk kegiatan bagi publik, termasuk Gusdurian. Kegiatan lintas iman juga kerap dilangsungkan di Klenteng Eng An Kiong. Umat Konghucu bisa menjalankan persembahyangan bebas sejak Gus Dur jadi presiden.

“Kami mengagumi dan mencintai Gus Dur,” katanya.

Haul Gus Dur bertema merawat nilai-nilai Gus Dur ini, juga sesuai dengan nilai kesederhanaan yang dia teladani. Penampilan kesenian tradisional etnis Tionghoa, barongsai turut mewarnai haul. Meneguhkan kerukunan antar suku bangsa dan lintas iman dan paduan suara syi’ir tanpo waton menarik perhatian.

 

Menu utama haul dipilih bakso dan soto hingga tak memakai wadah straofom atau plastik. Foto: Gusdurian

 

Wayang sampah daur ulang

Ki Jumaali Dharmakanda menyajikan Wayang Wolak Walik terbuat dari daur ulang sampah plastik. Cara membuat wayang wolak walik cukup sederhana botol plastik bekas minuman dibelah menjadi dua bagian, menggunakan gunting. Botol plastik dilapisi kertas dan dipanasi dengan setrika hingga membentuk lembaran plastik pipih.

Setelah pipih, plastik dibentuk berbagai karakter wayang sesuai kebutuhan. Plastik digunting sesuai pola, mulai bagian tangan, badan, kaki sampai wajah. Khusus wajah dicetak sesuai karakter wajah tokoh. Sedangkan bagian lain dilapisi cat kaca berwarna-warni.  Plastik dipilih menjadi bahan baku wayang.

“Plastik botol setelah disetrika makin kuat beda dengan mika atau plastik lain. Kuat dan tahan lama melebihi kulit,” kata Ki Jumaali. Untuk badan wayang dijepit dengan bambu atau rotan. Dalam pertunjukan , bekas Ketua Jurusan Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya ini menyampaikan kisah Gus Dur dan pesan-pesan keteladanan.

Beragam karakter yang dibuat dalam wayang wolak-walik, mulai tokoh yang melegenda seperti tokoh dalam mitologi, babad, Wali Songo, Kiai Haji Hasyim Asyari, Gus Dur, hingga Presiden Joko Widodo.

 

Tinggalkan industri ekstraktif

Roy Murthado dari jaringan Gusdurian melalui siaran pers menyampaikan Gus Dur tak hanya mewariskan paham toleransi, namun lebih luas yakni kemanusiaan dan keadilan. Keteladanan Gus Dur mengenai kemanusiaan dan keadilan, dituangkan Jaringan Gusdurian dalam rekomendasi rembug budaya pertengahan Februari 2020.

“Terkait kebudayaan dan kemanusiaan, negara perlu meninggalkan model ekonomi ekstraktif yang mengorbankan keberlanjutan ekologi. Serta mulai menggali potensi ekonomi yang berbasis pengetahuan tradisional dan kearifan lokal,” kata Gus Roy, menyampaikan salah satu rekomendasi rembug budaya.

Rakyat Indonesia, katanya, merasakan dampak krisis sosial ekologi karena begitu masih industri ekstraktif hingga korban berjatuhan dari berbagai bencana dampak eksploitasi alam seperti tanah longsor, banjir bandang, kebakaran hutan berulang.

Contoh lain, tambang emas Tumpang Pitu dan semen di Kendeng yang meninggalkan masalah sosial dan lingkungan.

“Dalam konteks krisis sosial ekologi ini, mendesak pemerintah meninggalkan ekonomi ekstraktif menuju ekonomi berkeadilan lingkungan dan kemanusiaan.” Sekaligus meneguhkan komitmen jaringan Gusdurian dalam mengenalkan nilai kemanusiaan dan keadilan yang diwariskan Gus Dur kepada masyarakat.

Usai acara, mereka makan bakso dan soto bersama. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Mereka berbaur, pendeta, romo, bante, ustadz, kiai, bonus dan khalayak makan bersama-sama. Swalayan, mereka mengambil makanan sendiri.

 

Solidaritas Gusdurian

Gusdurian berusaha beraksi peduli alam. Gunsdurian Muda Kota Malang, kata Qomar, juga mendukung masyarakat Tumpang Pitu Banyuwangi yang menolak tambang. Mereka menggalang dana dan donasi yang disumbangkan bagi perjuangan warga setempat menuntut keadilan.

Donasi disalurkan melalui Gusdurian Peduli. Selain itu, sejumlah penggerak Gusdurian juga mengikuti beragam pelatihan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur. Salah satu pelatihan daur ulang sampah jadi kriya dan barang seni.

Kini, mereka mulai akrab dengan isu lingkungan di sekitar Malang. Termasuk, tengah mengkaji dan menelaah dampak terbuka kawasan selatan Malang dengan Jalur Lintas Selatan (JLS).

Qomar dan penggerak Gusdurian lain khawatir alih fungsi hutan lindung. Ekspoitasi untuk kepentingan ekonomi, katanya, justru mengundang bencana seperti banjir dan tanah longsor.

Mereka juga menyoal rencana penurunan status Cagar Alam Pulau Sempur menjadi taman wisata alam. Apalagi, hutan lindung di Malang Selatan terus menyusut dan rusak sejak 1998. “Ada kegelisahan atas pembangunan besar-besaran di JLS. Harus dikawal,’ katanya.

 

 

Wayang daur ulang sampah plastik buatan Ki Jumaali Dharmakanda. Foto: Gusdurian
Tambang Tumpang Pitu, Foto: Walhi Jatim

 

 

 

Exit mobile version