Mongabay.co.id

Penurunan Populasi Satwa Dilindungi: Suramnya Nasib Penghuni Hutan Jawa

 

Keberadaan kawasan konservasi menjadi benteng terakhir bagi upaya pelestarian satwa yang terancam punah. Keberadaan ruang hidup mereka penting sebagai penyeimbang ekosistem yang sebenarnya menguntungkan bagi manusia.

Masalahnya, fragmentasi habitat terjadi akibat perluasan aktivitas manusia yang belum mempertimbangkan ruang hidup satwa. Belum lagi, kebutuhan lahan kian signifikan merusak hutan.

Pertumbuhan penduduk tinggi di Pulau Jawa disertai dampak otonomi daerah dan pemekaran wilayah berimplikasi pada perubahan peruntukan kawasan hutan demi kebutuhan pembangunan wilayah.

Beberapa waktu lalu, Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), diwacanakan akan diubah statusnya menjadi Taman Hutan Raya. Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum, mengatakan, perubahan itu didasari atas usulan daerah. Alasannya, TNGC dianggap tak berkontribusi bagi pendapatan daerah.

“Usulan itu saya setuju. Jika dikelola oleh Pemda setempat mungkin berpotensi meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah). Kalaupun nanti dikelola kan tidak menghilangkan fungsi hutan,” ujar Uu saat diwawancarai Selasa (12/2/2020).

baca : Susah Payah Menyelamatkan Macan Tutul Jawa

 

Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : Conservation International Indonesia

 

TNGC sendiri merupakan salah satu kantong populasi bagi kucing besar di Pulau Jawa yang tersisa. Hasil inventarisir terakhir tahun 2013 menunjukkan populasi macan tutul jawa berjumlah 3 – 4 individu. Jumlah itu, mungkin saja bertambah maupun berkurang. Selama ini data mengenai populasi baru sebatas estimasi, kata Ketua Forum Macan Tutul Indonesia Anton Ario kepada Mongabay Indonesia, belum lama ini.

Namun, Anton memiliki catatan penting. Menurutnya, perlindungan kawasan mutlak dilakukan. Pasalnya, satu carnivor ini membutuhkan daerah jelajah yang mendukung dengan luas sekitar 600 – 1.900 hektare. Namun faktanya, kawasan yang berpotensi jadi habitat justru rentan dirambah dan malah rusak.

Tanpa membangun koridor perlindungan, kata Anton, Jawa akan kembali kehilangan jenis kucing besar setelah harimau jawa (Panthera tigris sondaica) pada 1980-an. Kehilangan pemuncak rantai makanan ini berdampak pada membeludaknya populasi seperti babi hutan maupun monyet yang kini dianggap sebagai hama.

baca juga : Sinyal Kuat Konflik Macan Tutul dan Manusia di Muria

 

Ilustrasi. Kandang berisi macan tutul  dibopong satu kilometer lebih, menuju lokasi pelepasliaran di Gunung Ciremai pada tahun 2018. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Minim pengetahuan

Di tengah merebaknya wabah virus korona baru 2019-nCoV yang menginfeksi manusia. Menyulut orang untuk memusnahkan kelelawar karena dianggap biang penyakit.

Sikap takut berlebihan itu dilatarbelakangki dugaan kuat virus korona ditularkan dari satwa liar ke manusia. Data terbaru per 21 Maret 2020, terdapat 450 kasus di Indonesia. Dari jumlah itu, 20 pasien dinyatakan sembuh dan 38 pasien meninggal.

Belajar dari infeksi virus korona baru dari Wuhan, China, masyarakat disarankan untuk membatasi interaksi dengan satwa liar dan tidak mengganggu habitat alaminya. Sekaligus momentum penyadartahuan supaya tak menjadikan satwa sebagai peliharaan maupun perburuan.

Populasi kelelawar di Indonesia memang diprediksi menurun drastis karena habis ditangkap untuk dijual, dikonsumsi sendiri, atau gua tempat huniannya dijadikan obyek wisata maupun di tambang. Bila tak ada upaya untuk melestarikan binatang ini, dikhawatirkan kelestarian lingkungan justru terancam.

“Populasinya makin tertekan, keberadaannya berkurang dan bahkan hilang,” kata Peneliti LIPI Cahyo Rahmadi kepada Mongabay-Indonesia, Jumat (20/3/2020).

Menurut Cahyo, keberadaan kelelawar sebenarnya sangat membantu kehidupan masyarakat. Perannya begitu strategis sebagai pemencar biji, penyerbuk bunga dan tumbuhan bernilai ekonomi.

Binatang ini juga membantu mengendalikan hama serangga, kotorannya bisa dijadikan pupuk, dan bisa mendatangkan pendapatan sebagai obyek ekowisata.

perlu dibaca : Pandemi Covid-19, Peringatan untuk Manusia Hidup Berdampingan dengan Satwa Liar

 

Koleksi Kelelawar Megabats atau codot koleksi di Kebun Binatang Bandung, Kota Bandung. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Namun, Cahyo mengakui bahwa kelelawar dikenal sebagai penular penyakit tertentu, seperti histoplasmosis, leptospirosis, salmonellosis, dan rabies. Secara alami memang demikian.

Tetapi sepanjang tidak ada interaksi secara langsung penularan tidak akan terjadi. Penularan dapat terjadi karena manusia ‘bersentuhan’ dengan habitat kelelawar atau mengkonsumsi kelelawar.

Cahyo menegaskan, tak ada alasan ilmiah memusnahkan kelelawar mencegah penularan penyakit. Sebaliknya, pemusnahan kelelawar mengakibatkan wabah baru yang merugikan.

“Misalnya hilangnya kelelawar pemakan serangga bisa memicu peningkatan populasi nyamuk berpenyakit demam berdarah,” ujar dia.

Kelelawar di dunia terdiri dari 18 suku yang mencakup sekitar 192 marga dan 977 jenis. Berdasarkan jumlah jenisnya, kelelawar merupakan mamalia kedua terbesar sesudah binatang pengerat.

Indonesia termasuk negara yang kaya dengan beragam jenis kelelawar. Paling tidak ada 205 jenis. Kini populasi kelelawar di beberapa tempat perlahan menciut.

Di gua Pawon, Kabupaten Bandung Barat, contohnya. Semula kelelawar kembang (Eonycteris spelaea), yang dalam bahasa setempat disebut lalai, populasinya melimpah. Saat ini terancam oleh pertambangan karst yang sporadis.

Di hutan Cagar Alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut, iring-iringan kelelawar masih bisa disaksikan saat keluar dari hutan di sore hari untuk mencari makan. Akan tetapi, kesaksian warga sekitar, Jajang, malah menyebut kalong dalam bahasa setempat, sudah jauh berkurang jumlahnya.

Penyebabnya, kawasan berstatus konservasi tertinggi seluas 2.900 hektare itu menghadapi ancaman serius. Salah satunya karena tingginya aktivitas masyarakat dalam kawasan.

baca juga : Wabah Corona: Hindari Kontak Langsung dengan Satwa Liar

 

Untuk novel Coronavirus yang merebak di Wuhan, sumber penularannya dari kelelawar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Punahnya banteng jawa (Bos javanicus) karena diburu jadi fakta yang menyakitkan. Dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng Jawa 2010-2020 disebutkan, di Sancang tercatat pernah hidup 200 banteng jawa pada tahun 1988. Namun, tak sampai 10 tahun, satwa ini dinyatakan punah.

Pertengahan 2018 lalu, sepasang elang laut (Haliaeetus leucogaster) dilepasliarkan di pesisir pantai Sancang. Hal ini sebagai upaya Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK) melestarikan satwa terancam punah yang memiliki andil penting dalam ekosistem.

Manajer Operasional PKEK Zaini Rakhman mencontohkan, peran elang penting sebagai indikator daya dukung lingkungan karena bersarang di hutan yang relatif baik. Elang sangat selektif terhadap pemilihan habitat. Dia tidak akan berpindah kecuali jika teritorinya diganggu atau rusak.

Kata Zaini, belum banyak mengetahui tentang elang yang memiliki virus. Makanya, sebelum mencari mangsa elang akan terbang tinggi.

“Saat itu elang melepas virusnya di angkasa dengan memanfaatkan sinar matahari. Untuk itulah, elang jangan dipelihara,” kata Zaini. Sejak didirikan, PKEK telah merehabilitasi 250 elang dari 8 jenis. Sejumlah 47 elang telah dilepasliarkan dengan tingkat keberhasilan 74 persen.

Sementara itu, satwa paling bernasib merana di tanah Jawa adalah primata. Fragmentasi hutan memengaruhi kehidupan mereka. Akibatnya pohon tidur sebagai salah satu makanannya kian terbatas. Belum lagi penyempitan daya jelajah dapat memicu perkawinan sedarah akhirnya akan punah secara lokal.

penting dibaca : Berbagi Kawasan di Gunung Tilu : Antara Manusia Dan Primata

 

Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di kandang edukasi Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK), Kabupaten Garut, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) Aspinall, Kabupaten Badung, setidaknya upaya menjaga populasi konsisten dilakukan. Ada 18 owa jawa (Hylobates moloch), 2 surili (Presbytis comata) dan 28 lutung jawa (Trachypithecus auratus auratus) yang menjalani karantina. Semua primate itu merupakan hasil sitaan atau diserahkan sukarela.

International Union for Conservation Nature menetapkan owa jawa dan surili terancam punah. Sedangkan lutung jawa dikategorikan rentan punah. Semuanya dilarang diperjualbelikan.

Dokter hewan PRPJ Aspinall Ida Masnur mengatakan jangan ambil risiko memelihara primata. Semuanya dilarang diperjualbelikan. Dan sebaiknya dibiarkan saja di alam liar.

Dari pemantauan, semua hasil sitaan dan pemberian warga, hampir menderita hepatitis A, B, herpes, dan simian retrovirus (SRV). “Penyakit dari satwa liar belum banyak dikaji dan potensial bisa menular ke manusia. Sebaiknya hindari agar mereka semua selamat dan kita sehat,” kata Ida kepada Mongabay-Indonesia, Jumat (20/3/2020).

Di kandang berukuran 20 x 20 meter, primata endemis itu seperti menyampaikan pesan penting bagi manusia. Nasib mereka sangat dekat dengan maut. Diancam kerusakan hutan yang mematikan.

 

Anakan lutung jawa (Trachypithecus auratus auratus) di kandang rehabilitasi Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) Aspinall, Kabupaten Badung, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di hutan, peran mereka vital sebagai penyeimbang ekosistem. Semuanya satwa arboreal yang beraktivitas di atas kanopi pohon tinggi. Mereka dibutuhkan sebagai indikator ketersediaan air karena tinggal di hulu sungai.

Tampaknya, kondisi alam di Jabar hari ini membutuhkan perhatian semua pihak. Barangkali, manusia memang perlu berjarak dan memberi jeda pada alam ,demi kelangsungan hidup yang nyaman serta seimbang.

 

Exit mobile version