Mongabay.co.id

Pembangunan Berkelanjutan Rentan Menggerus Sentra Pangan di Jawa Barat

 

Daya tampung dan daya dukung kawasan bakal dijadikan pertimbangan pemerintah dalam upaya pembangunan rendah karbon (PRK). Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, misalnya, keseimbangan antara aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial mulai dirujuk sebagai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Agaknya, itu adalah harapan baru ditengah paradigma pembangunan yang dianut selama ini, hanya bertumpu pada ekonomi semata. PRK dianggap menjadi solusi karena merupakan penengah dari dua mazhab ekonomi. Mazhab yang menekankan pada eksploitasi sumber daya alam tanpa memperdulikan lingkungan, dengan mazhab yang mengutamakan perlindungan lingkungan.

Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), Medrilzam, mengatakan bahwa inisiatif pembangunan rendah karbon akan diarusutamakan menjadi bagian penting. Selain didasari kesepakatan global, pemerintah pusat secara bertahap akan mulai menerapkan konsep serupa di level daerah demi target penurunan emisi 29% di tahun 2030.

“Kita tetap konsen terhadap penurunan emisi. Namun disamping itu, kita juga fokus pada intensitas penurunan emisi. Itu penting diperhitungkan agar bisa mencapai pembangunan berkelanjutan. Maka kami coba menginisiasi kerjasama dengan 7 provinsi, salah satunya Jawa Barat,” kata Medrilzam di Bandung beberapa waktu lalu.

baca : Kala Indonesia Siapkan Rencana Pembangunan Rendah Karbon

 

Foto udara kondisi Sungai Citarum, Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tampak airnya menghitam bercampur limbah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kendati terhitung baru, Medrilzam berkeyakinan, konsep PRK ideal diterapkan sebagai upaya memperbaiki perencanaan sekaligus pemantauan pembangunannya. “Poin utamanya tetap pada daya dukung dan daya tampung. Karena aspek keseimbangan lingkungan akan dijadikan dasar menjamin keberlangsungan, dan ini sudah inline (sejalan) dengan tujuan pembangunan yang telah tertuang di RPJMN 2020 – 2024,” katanya.

Bappenas dan Jabar, bakal berkolaborasi selama 3 tahun. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemprov Jabar, M. Taufiq Budi Santoso menuturkan sudah mengesahkan Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Jabar sebagai kerangka kebijakan PRK di tingkat daerah. Sebagai penunjangnya, beberapa tata aturan dan kebijakan bakal dimutakhirkan.

Peraturan Gubernur diprioritaskan untuk terbit guna mengakomodir kebijakan. Dalam waktu dekat, kata Taufiq, akan juga diagendakan revisi RPJMD dan Peraturan Daerah No.1/2012 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penataan.

“Tentunya disesuaikan dengan program PRK. Targetnya tahun ini selesai, sehingga 27 kabupaten/kota bisa dijadikan pedoman perencanaan wilayahnya menyesuaikan arahan Pemprov Jabar untuk perencanaan 2021 paling tidak dan seterusnya.” ujar Taufiq.

Berdasarkan laporan tahun 2019, emisi di Jabar berada di angka 130 juta ton CO2. Persentasenya, disumbang dari kehutanan serta sampah dan limbah cair domestik masing – masing 34.13% dan 29.54%.

Taufiq mengungkapkan, apabila rencana aksi sudah selesai di susun. Nilai proyek terkait low carbon development mencapai Rp12,5 Triliun. Pendanaan itu berasal dari APBN, APBD, swasta dan donor.

baca juga : Pembangunan Rendah Karbon untuk Mengerem Laju Perubahan Iklim

 

Kondisi alih fungsi kawasan di Bandung Timur. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Infrastruktur yang masuk skema PRK yaitu Jalur Lingkar Cirebon, akses KA ke Patimban, dan akses KA ke Kertajati namun masih dalam tahap perencanaan. Nantinya, skema itu akan juga terintegrasi dengan rencana Pemprov Jabar membangun kawasan ekonomi khusus (KEK) Rebana (Cirebon, Subang, Majalengka).

Luas Segitiga Rebana mencapai 4.328,29 km persegi. Ada sebelas zona yang sudah dilelang kepada para penanam modal.

Konektivitas di kawasan Segitiga Rebana ini memang sudah disiapkan setidaknya sejak era Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Pelabuhan Patimban senilai Rp43,2 triliun ditargetkan rampung pada 2020. Lalu telah lebih dulu rampung, yaitu Bandara Kertajati yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 24 Mei 2018 menjadi modal utama.

Ridwan Kamil punya ambisi besar di KEK Rebana. Sebab menurut Ridwan, tidak ada kawasan strategis di Indonesia seperti Rebana, yakni kawasan yang berdekatan dengan Pelabuhan Patimban dan Bandara Kertajati. Dia pun menyebut kawasan Rebana sebagai kota futuristik.

Dalam keterangan resmi, Ridwan menuturkan, apabila Segitiga Rebana terwujud akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Jabar sebesar 9%. Tak hanya itu, peluang lapangan pekerjaan dipredikisi menyerap 5 juta angkatan kerja.

Hitung-hitungan itu memang menjanjikan. Pada 2019, investasi yang terealisasi di Jabar mencapai Rp137,5 triliun. Ridwan pun memaparkan sejumlah langkah dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui lima strategi ekonomi.

“Provinsi yang nilai konkret investasinya terbesar di Republik Indonesia adalah Jawa Barat. (Investasi) kita sendiri Rp137,5 triliun yang hadir. Membawa pekerjaan, transfer teknologi, dan lain sebagainya,” ujar Ridwan Kamil di acara pembukaan Musyawarah Daerah (Musda) XVI Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jawa Barat di Kabupaten Karawang, Senin (9/3/20) lalu .

perlu dibaca : Menggagas Pembangunan Rendah Emisi Dalam Rencana Pembangunan Desa. Seperti Apa?

 

Petani garam menggarap lahannya berlatar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, beberpa waktu lalu. PT Cirebon Electric Power (CEP) kembali membangun PLTU Cirebon Unit II, dan ditargetkan beroperasi secara komersial (Commercial on Date/COD) pada 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dituntut Bijak Tata Ruang

Pengamat Lingkungan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Chay Asdak, mengingatkan Pemerintah Jabar agar seyogyanya mendahulukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Jika berjalan lambat dalam konteks pembangunan KEK dikhawatirkan dapat berimbas pada anomali tata ruang.

Chay memberikan catatan, instrumen penting itu kerap dianggap sebagai pelengkap administrasi semata, penyusunannya dilakukan untuk menjalankan perintah Undang-Undang, tanpa benar-benar menjawab substansi persoalan lingkungan.

Hal itu mutlak dihindari. Apalagi, Jabar sudah berkomitmen dalam PRK. “Karena KEK ini skemanya satu lansekap yang menggabungkan lintas wilayah, jangan sampai konsep perancangannya justru parsial. Misalnya RTRW (rencana tata ruang wilayah) daerah tidak inline dengan provinsi. Jika sudah begitu akan sulit untuk mencapai membangun secara berkelanjutan,” katanya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, sejauh ini RTRW teranyar Jabar masih dalam tahap pembahasan dengan pemerintah pusat dan DPR. Karena pada RTRW sebelumnya pembangunan KEK Rebana memang tidak dimasukan.

Chay mengatakan, pemerintah juga perlu mempertimbangkan tata guna lahan. Pembangunan Waduk Jatigede di Sumedang, adalah contohnya. Semula bendungan ini dibangun untuk menunjang pertanian seluas 90 ribu hektare di kawasan timur Jabar. Kini, dipastikan bakal bergeser menjadi penunjang bagi industri dan properti.

“Pemerintah perlu memperhitungkan itu. Masalahnya, kawasan itu merupakan lumbung pangan yang juga punya peran strategis,” ungkap Chay. Pemerintah dianggap belum memiliki desain besar pembangunan KEK. KEK dibangun, tetapi belum ada yang berhasil dan bisa dijadikan model.

Bercermin pada bencana hidrometerologi kian intens melanda Jabar menunjukkan kerusakan daya dukung lingkungan. Direktur Walhi Jabar, Meiki Paedong mengkritisi, menyoal itu. Hasil kajian Walhi menyebut kerusakan lingkungan kerap kali meningkat seiring pembangunan insfrakstruktur.

 

Petani garam menggarap lahannya berlatar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, beberpa waktu lalu. PT Cirebon Electric Power (CEP) kembali membangun PLTU Cirebon Unit II, dan ditargetkan beroperasi secara komersial (Commercial on Date/COD) pada 2022.
Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sementara, di Kabupaten Cirebon, laju investasi melonjak tajam dalam beberapa tahun terakhir. Keteresediaan lahan untuk industri mampu membawa investor ke sentra pangan nasional tersebut.

Dalam Peraturan Daerah No.7/2018 tentang RTRW Kabupaten Cirebon 2018-2038, Pemkab Cirebon menyiapkan lahan 10.000 hektar untuk industri. Jumlah ini melonjak dibandingkan Perda No 17/2011 tentang RTRW 2011-2031 yang awalnya hanya 2.000 hektare.

Alih fungsi lahan untuk kawasan industri tak hanya menggusur lahan pertanian, tetapi juga ribuan orang yang bergantung pada penghidupan petani dan petambak. Di Losari, misalnya, rencananya lahan industri telah disiapkan seluas 2.000 hektare. Losari menjadi salah satu dari 16 kecamatan yang daerahnya menjadi kawasan industri besar dan menengah.

Warga Desa Ambulu, Ridwan, mengaku gusar dengan rencana pemerintah. Dia tak ingin bernasib seperti warga di Karawang dan Bekasi. Ketika beralih menjadi industri, mereka kehilangan tanah. Penghidupan warganya menjadi tak jelas karena kehilangan mata pencarian.

“Kami sudah sejahtera dengan bertani maupun menambak, yang bagi kami lahan di sini produktif. Kalau nanti jadi industri lalu kami hidup dari mana?” keluh Ridwan.

Merujuk data Pertanian Cirebon, kabupaten yang berpenduduk 2.3 juta jiwa ini rutin setiap tahun memasok lebih dari 100.000 ton beras ke Jabar dan Jakarta. Begitupun potensi produksi garam mencapai 483.000 ton atau hampir sepertiga target produksi nasional, 1,5 juta ton.

 

Exit mobile version