Mongabay.co.id

Nyepi 2020: Merehatkan Alam, Manusia, dan Pandemi Corona

 

Nyepi tiba lebih awal di Bali dengan imbauan social distancing dampak virus Corona baru selama dua pekan sampai 29 Maret 2020. Peringatan Nyepi yang menandai tahun baru Saka 1942 pada 25 Maret nanti akan benar-benar hening. Aktivitas manusia terhenti, dan alam bisa rehat dari eksploitasi manusia.

“Untuk Indonesia untuk dunia, saat semua semakin cepat, Bali berani berhenti,” kata Robi Navicula pada konser live online-nya pada Jumat (20/3) melalui kanal Youtube band ini. Band ini mengajak warga #dirumahaja mencegah penularan COVID-19 yang makin meluas di dunia termasuk Indonesia.

Saat Semua Makin Cepat, Bali Berani Berhenti adalah bukan lagu baru Navicula, namun jelang Nyepi kembali hangat. Nyepi tahun ini juga begitu berbeda di tengah pandemi yang diakibatkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).

Biasanya ada sejumlah rangkaian ritual sebelum dan sesudah warga menjalankan tradisi penyepian 36 jam. Namun kini pemerintah mengimbau untuk tak dilaksanakan atau dilaksanakan dengan sangat terbatas.

Misalnya melasti atau ritual penyucian alam sebelum Nyepi yang biasanya dilakukan ratusan ribu warga kini jauh berkurang. Surat Edaran Gubernur Bali pada 20 Maret 2020 merevisi surat sebelumnya, anjurannya tidak melakukan keramaian termasuk tajen, tidak mengadakan pengarakan ogoh-ogoh dalam bentuk apapun dan di mana pun, dan melasti maksimal diikuti 25 orang.

baca : Bali Berhenti 24 Jam Saat Nyepi, Termasuk Internet

 

Warga diminta melaksanakan melasti, penyucian bumi dan diri ke sumber air terdekat seperti danau dan pantai. Danau Batur adalah salah satu sumber air utama di Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Khusus umat Hindu di Bali, kegiatan Melasti Tawur Kasanga Hari Suci Nyepi Tahun Saka 1942 dilaksanakan dengan di sumber air terdekat seperti campuhan (pertemuan sungai dan laut), pantai, danau, dan beji (mata air).

Pentingnya sumber-sumber air seperti laut bagi Bali, terlihat saat ritual Melasti. Sebagian besar desa menuju ke pantai dan melakukan persembahyangan menghadap sang baruna. Bahkan ritual ini terasa magis karena sarana suci perwujudan Ida Betara di pura-pura dibawa ke laut untuk disucikan. Bahkan tak jarang ada warga yang trance. Sebelum pulang ke rumah, warga yang ikut melasti akan diperciki air tirta di kepala dan juga meminum percikannya setelah simbol-simbol suci yang dibawa disucikan di air.

Namun melasti tahun ini jauh berbeda. Ribuan orang yang biasanya menuju sumber air di tiap desa kini dibatasi. Untuk mencegah kerumunan massa. Walau tak dijalankan sepenuhnya, sebagian desa membatasi kehadiran warga di ritual melasti kali ini.

Mahendra dari Desa Adat Sesetan, Denpasar melakukan prosesi melasti dengan warga yang jauh lebih sedikit, hanya pengurus desa dan pemimpin ritual desa setempat. Nyepi pun datang lebih awal, seminggu sebelumnya dengan sejumlah pembatasan aktivitas untuk pencegahan COVID-19.

Desa adat Sesetan juga akhirnya membatalkan tradisi jelang Nyepi lainnya seperti pengarakan dan lomba Ogoh-ogoh. Juga meniadakan Festival Omed-omedan setelah Nyepi yang biasanya menyedot ribuan pengunjung untuk menonton.

Kesepakatan para pihak terkait kegiatan agama menyebut pengarakan ogoh-ogoh bukan rangkaian hari suci Nyepi, sehingga tak wajib dilaksanakan. Oleh karena itu pengarakan sebaiknya tidak dilaksanakan. Ogoh-ogoh sudah jadi tradisi dan diarak di seluruh jalan-jalan raya di Bali pada malam hari sebelum Nyepi keesokan hari. Ogoh-ogoh yang dibuat tiap banjar (setingkat dusun) biasanya menyimbolkan sifat buruk manusia atau perilaku yang perlu diseimbangkan agar bumi lebih seimbang.

baca juga : Menarik.. Merayakan Nyepi yang Lebih Ramah Lingkungan

 

Warga menghaturkan rangkaian bunga atau canang di titik yang dianggap pelindung seperti gunung, sawah, dan laut. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

I Gusti Ngurah Sudiana, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali mengatakan imbauan ini sebagai upaya agar tak melanggar protap Dinas Kesehatan dan Surat Edaran terkait pandemi COVID-19. Pun terkait pemadaman akses internet saat Nyepi, ia memastikan akan terjadi lagi.

“Internet jelas, tak ada media sosial aktif, kecuali untuk kantor-kantor vital, keamanan, rumah sakit, pelabuhan tetap berjalan. Telpon dan SMS tetap bisa,” urainya.

Imbauan ini berdasarkan arahan Presiden Republik Indonesia melalui pidato tanggal 15 Maret 2020, tentang perkembangan penyebaran penyakit virus Corona (COVID-19) di Indonesia. Juga Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 7194 Tahun 2020 tanggal 16 Maret 2020 tentang Panduan Tindak Lanjut terkait Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lingkungan Pemerintahan Provinsi Bali, dan hasil rapat koordinasi Gubernur Bali, PHDI Provinsi Bali, dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali pada 16 Maret 2020 di Gedung Gajah Jayasabha, Denpasar.

Jalan-jalan di sekitar obyek wisata populer seperti Kuta, Legian, dan Sanur sudah makin lengang walau masih ada sebagian toko dan restoran yang buka. Demikian juga obyek wisata. Namun aktivitas warga sebagian besar masih berlansung seperti pasar tradisional, swalayan, dan lainnya. Hanya sekolah dan sebagian kantor yang mengimbau sekolah atau kerja di rumah.

Kadek Andari, seorang peternak di Kabupaten Karangasem mengaku resah dan panik jelang Nyepi. Terlebih ada informasi dari mulut ke mulut dan medsos ada warga desa tetangganya yang dikarantina. Walau belum pasti positif, kepanikannya mewujud dengan membeli sembako untuk stok 1-2 bulan.

Nyepi yang biasanya menenangkan, kini membuat gundah.

Pemerintah Provinsi Bali, melalui Satgas Penanggulangan COVID-19 yang dipimpin Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali Dewa Made Indra menyampaikan perkembangan penanggulangan COVID-19 per 23 Maret 2020. Pasien Dalam Perawatan berjumlah 102 orang. Dari 102 sampel yang telah diuji, telah keluar hasil sampel 79 orang yaitu 73 orang negatif, 6 orang positif (2 orang meninggal, 4 orang masih dirawat). Empat orang di antaranya yang positif adalah WNA, termasuk 2 orang meninggal.

Saat ini ada juga kedatangan pekerja migran Indonesia (PMI) yang tercatat di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada tanggal 22 Maret 2020 berjumlah 521 orang. Setelah dilakukan pemeriksaan, sebanyak 27 orang PMI dikarantina di UPT-BPKKTK Dinas Kesehatan Provinsi Bali.

“Tidak semua PMI harus dikarantina karena sudah ada regulasi internasional yang harus diikuti. Harus dimengerti pula bahwa mereka sebelum pulang juga sudah dikarantina,” sebut Dewa Indra.

menarik dibaca : Begini Pengaruh Nyepi terhadap Laut dan Penghuninya

 

Ilustrasi. Pesisir pantai yang sepi. Nyepi kini diharapkan tak hanya merehatkan alam, juga kegelisahan karena pandemi COVID-19. Foto: Luh De Suriyani/ Mongabay Indonesia

 

Konsepsi Nyepi

Saat Nyepi, ada sejumlah panduan jika menjalaninya di Bali yang berdampak pada penghematan energi dan pengurangan emisi. Di antaranya tidak bekerja (amati karya), tidak melepaskan emisi seperti bahan bakar minyak, asap, dan lainnya. Pergerakan manusia tiap hari menyisakan banyak jejak karbon mulai dari sampah, transportasi, sarana hiburan, dan lainnya.

Berikutnya, tidak menyalakan api (amati geni). Ada sejumlah tafsir, tapi intinya tidak menyalakan lampu, listrik, atau secara sosial bisa merujuk ke amarah. Saat Nyepi, satuan pengaman tradisional desa adat yang disebut pecalang akan menjadi pengawas aktivitas ini pada malam hari dengan cara melakukan patroli di tiap gang atau kompleks.

Bali akan terlihat lebih gelap pada Nyepi. Bintang-bintang terlihat lebih jelas karena tak ada terpaan cahaya lampu dan langit yang lebih bersih.

Lalu tidak bepergian (amati lelungan). Seluruh tempat publik ditutup 24 jam seperti bandara, pelabuhan, jalan raya lengang karena tak seorang pun kecuali kondisi darurat keluar rumah. Warga yang harus keluar karena sakit keras atau perlu bantuan darurat harus menghubungi pecalang yang akan mengawal ke lokasi tujuan.

Kemudian tak mengumbar hawa nafsu (amati lelanguan), secara umum dipersepsikan tak bersenang-senang seperti pesta.

Dikutip dari laman BMKG, Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG beberapa kali melakukan pengamatan lapangan terkait kualitas udara ambien pada saat seminggu menjelang hingga perayaan hari raya Nyepi di Bali.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi pola perubahan kualitas udara ambien yang ditandai dari adanya konsentrasi gas rumah kaca dan partikulat dengan menganalisis tingkat penurunan relatif emisi gas rumah kaca dan partikulat dibandingkan dengan seminggu sebelum perayaan hari raya Nyepi.

Sebagai bukti pengukuran langsung dan indikator untuk mengklarifikasi kontribusi aktifitas manusia (penduduk lokal) sebagai pemicu meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca dan partikulat di wilayah Bali.

Dikutip dari berita Mongabay Indonesia, hasil pemantauan 2013 menunjukkan pengaruh anthropogenic pada kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) mencapai 33%. Artinya pada Hari Raya Nyepi terjadi penurunan emisi GRK rata-rata 33 persen.

Nyepi kini diharapkan tak hanya merehatkan alam, juga kegelisahan karena pandemi COVID-19 ini.

 

 

Exit mobile version