Mongabay.co.id

Ketika Tutup, Kesempatan Wisata Alam ‘Bernapas’ dan Pengelola Berbenah

Wisata Alam Bantimurung, Sulawesi Selatan. Kawasan-kawasan konservasi ini sebagian besar jadi destinasi wisata alam. Penutupan sementara ini, selain mencegah penuran Covid-19, juga dinilai kesempatan bagi kawasan-kawasan ini untuk ‘bernapas’ atau memulihkan diri setelah di hari-hari biasa penuh pengunjung. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Sore, 22 Maret 2020, kawasan wisata alam Bantimurung, di Maros itu, benar-benar lengang. Berjalan di pinggiran tebing dan menyaksikan percikan air terjun sungguh pemandangan langka. Tempat wisata ini tutup sejak 19 Maret 2020, ketika pandemi virus Corona (COVID-19) menghantam 188 negara dan menewaskan ratusan ribu manusia di seluruh dunia.

Indonesia masuk dalam pendemi ini. Hingga 27 Maret 2020, tercatat 1.046 kasus, 87 orang meninggal dan 46 dinyatakan sembuh dari.

Virus ini menyebar seperti kilat dari mulai Desember 2019 di Wuhan, Tiongkok, lalu Februari melompat ke Eropa, dan Maret mencapai hampir semua belahan bumi. Virus ini menyebar dengan cepat, karena dapat berpindah dari sentuhan, hingga udara pada orang yang memiliki virus.

Baca juga: Antisipasi Penyebaran Corona, Kawasan Konservasi Tutup Sementara

Data lain di Indonesia, menyebutkan, kalau Sulawesi Selatan, menempati urutan pertama kasus Corona tertinggi di luar Jawa. Sampai 27 Maret 2020, provinsi ini, mencatat kasus positif tertular Corona 27 orang, dan tiga meninggal.

Apa hubungan kawasan wisata alam dengan virus ini? Pengelola wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maros, menutup tempat rekreasi itu guna menekan angka penularan. Di Bantimurung, pada Januari hingga awal Maret, setiap pekan rata-rata pengunjung mencapai 10.000 orang.

Orang-orang ini mendatangi loket, membeli tiket, memegang tiket dan mengantri, serta sebagian besar merabah besi pengaman untuk masuk gerbang Bantimurung. Semua media ini, jadi sarana penularan virus Corona. “Kami menutupnya untuk memutus siklus penularan itu. Kalau tidak, potensi penyebaran di kawasan ini pasti sangat besar,” kata Yusriadi Arief, Kepala Bidang Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

“Kami juga tidak tahu sampai kapan penutupan sementara ini. Kami akan buka jika wabah sudah mereda. Pemerintah telah menurunkan status darurat nasional pandemi ini,” katanya.

Penutupan Bantimurung adalah pertama kali sejak tempat itu dikelola pemerintah daerah. Dalam hitungan pendapatan, menutup sementara, adalah menutup pendapatan asli daerah dari wisata dengan nilai cukup besar.

Dalam hitungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, penutupan sepekan itu akan menghilangkan pendapatan hingga Rp250 juta – dengan catatan setiap pengunjung membayar tiket Rp25.000.

Asumsi kehilangan PAD lain, dari sewa gazebo, hotel, hingga ruang pertemuan. “Jadi, jika melihat itu, ada Rp300 juta-Rp350 juta, daerah kehilangan PAD,” katanya.

Di sekitar Bantimurung, ada 350 pelaku usaha, dari mulai pedagang cinderamata, warung makan, penyewaan tikar, jasa foto, ataupun pemandu wisata. Semua terhenti karena Corona.

 

Wisata Alam Bantimurung, tutup sementara karena Virus Corona. Biasanya, lokasi ini penuh dengan pengunjung. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Ketika saya berkunjung, semua warung tertutup. Melihat Bantimurung tanpa pengunjung, seperti menyaksikan sistem pemulihan diri oleh alam sendiri. Dua minggu, rencana penutupan sementara pemerintah daerah–kalau kondisi Corona sudah mereda–memang tak cukup memberikan alam untuk membangun diri. Dua minggu, hanya memberi kesempatan pada jamur dan lumut untuk tumbuh, setelah itu akan dihantam kembali oleh alas kaki pengunjung.

Menyaksikan, beberapa jenis kupu-kupu beterbangan di sekitar air terjun, seperti menyaksikan tarian kesunyian yang agung. Tak ada teriakan pengunjung yang mengusik, tak ada aroma makanan dari bekal wisatawan.

Mungkin inilah yang dirasakan Alfred Russel Wallace, ketika mengunjungi Bantimurung pada Juli-November 1857. Dia mengawali perjalanan pada pukul 06.00 dari pondoknya di Ammasangeng, yang sekarang berdekatan dengan pabrik semen Bosowa–milik Aksa Mahmud.

Wallace menggunakan kuda, dan mencapai air terjun Bantimurung, selama dua jam. Di tempat itu, dia tinggal selama empat hari, dan memusatkan perhatian pada karakteristik flora dan fauna.

Dalam The Malay Archipelago–Kepulauan Nusantara-Wallace mencatat tentang burung punai yang baru dilihatnya, Phalaegenas tristigmata, jenis punai tanah besar dengan dada dan jambul putih, dan leher berwarna ungu. Betapa bahagia, ketika menemukan spesies kupu-kupu yang dia idamkan, Papilio androcles.

Dia harus mengikuti dengan sabar, naik turun pinggiran sungai dengan tebing rendah. “Saya merasa beruntung bisa memperoleh enam spesimen kupu-kupu itu,” katanya.

‘Bila mahluk ini terbang, ekornya yang putih dan panjang akan melambai-lambai bagaikan bendera. Bila hinggap, ekornya membawa mereka terus melayang ke atas seakan-akan menjafa dari kemungkinan cedera. Kupu-kupu ini sangat langka, bahkan di daerah ini sekalipun.”

Sekitar 167 tahun setelah itu, saya berdiri di dekat air terjun. Melihat tebing sungai yang diceritakan Wallace. Melihat beberapa jenis kupu-kupu bermain menyelinap di antara atap gazebo hinggap di kursi kayu dengan gagang besi. Melipir diantara tembok tempat duduk para wisatawan. Tak ada lagi, jalan licin dari batuan yang terus disiram percikan air terjun, seperti gambaran Wallace.

Kini, jalan-jalan utama memasuki kawasan air terjun itu, sudah berlantai marmer. Kalau pengunjung sesak, pinggiran sungai akan penuh para pelancong.

Inilah yang dikemukakan guru besar Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Ngakan Putu Oka bila membuat wisata yang bersisian dengan wilayah konservasi sebaiknya penuh pertimbangan.

“Kesalahan kita, dalam kawasan itu selalu dibangun hal-hal yang dianggap nyaman untuk manusia. Padahal, tujuannya menjaga alam dan biodiversiti untuk dilihat. Membangun fasilitas dalam obyek akan merusak obyek wisata itu sendiri,” katanya.

Kini, Bantimurung sedang tertutup untuk kunjungan wisata. “Hmmm… saya membayangkan Bantimurung yang sepi, mendengar suara gemuruh air terjun dan burung-burung,” kata Putu Oka.

Pandemi Corona, bagi Putu Oka, seharusnya menjadi pelajaran bagi pengelolaan wisata berbasis biodiversiti agar memberi ruang obyek wisata untuk ‘bernapas’ sebagai upaya menjamin keberlanjutan.

Secara ekologi, kerusakan Bantimurung sudah sangat parah. Untuk mengembalikan fungsinya, dengan julukan The Kingdom of Butterfly, sebaiknya pembongkaran besar-besaran.

Kenapa? “Karena dirusaknya secara biofisik maka pemulihan juga gerakan biofisik. Tidak bisa hanya mengistirahatkan selama dua minggu,” katanya.

Obyek wisata skala besar seperti Bantimmurung, yang hanya mementingkan target PAD akan membuat ekologi kawasan makin buruk. Tak ada pembatasan pengunjung.

“Di Bantimurung, pengunjung menginjak, dan menyentuh apapun. Pengelola bahkan membuat tembok semen hingga pinggir sungai dari mulai bibir tebing. Tidak ada lagi rembesan mineral tempat kupu-kupu berkumpul. Padahal obyek utamanya, kupu-kupu.”

Bahkan, katanya, tak ada juga pengaturan pengunjung saat memasuki goa di wilayah itu. “Semua bebas memegang stalaktit.”

Sebelum penutupan sementara kawasan ini karena pandemi Corona, saya berkali-kali melihat antusiasme pengunjung. Rata-rata wisatawan adalah liburan keluarga, menghabiskan waktu mandi di sejuknya air. Orang-orang lebih menikmati bermain ban dan makan bersama, dan berfoto di depan tugu kupu-kupu.

Akhirnya, kupu-kupu hanya jadi penanda kecil dalam kawasan itu. Jadi cinderamata dalam bingkai untuk pajangan atau kupu-kupu dicetak dalam kaos dan kain, sebagai buah tangan.

 

Sisi lain dair wisata Bantimurung, Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Bukit Lawang sepi

Di Sumatera Utara juga sama. Sejak penutupan Taman Nasional Gunung Leuser 18 Maret 2020, Bukit Lawang, sepi pengunjung. Tak ada wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Ada beberapa turis mancanegara masih menginap, itupun karena Bandara Kualanamu sudah tutup.

Colm, turis asal Irlandia sudah mengunjungi beberapa negara belakangan ini, seperti, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Dia dinyatakan negatif COVID-19 oleh pejabat kesehatan di Bandara Kuala Lumpur, Malaysia, saat akan mengunjuni Indonesia. Visa di Indonesiany, hanya berlaku empat minggu.

Negaranya memutuskan lockdown, dan bandara menutup penerbangan internasional maka dia tak dapat kembali ke negaranya.

“Saya harus ke Medan untuk mendatangi Imigrasi untuk memperpanjang visa, setidaknya sampai semua aman untuk kembali pulang,”katanya.

Ada juga Sina, turis asal Jerman, mengaku tidak ada pemeriksaan terlalu ketat ketika di Bandara Kualanamu. Hanya diperiksa suhu tubuh memalui alat yang menggunakan laser. Dia diminta mengisi formulir riwayat perjalanan oleh petugas bandara untuk memastikan setiap penumpang bebas dari Corona.

Pemilik hotel dan restoran otomatis sepi, kecuali turis yang sejak lama sudah menginap. Para pemandu wisata juga merasa lesu.

Warga mulai bingung peroleh pendapatan lain, karena pemasukan mereka bergantung pada obyek wisata ini. Pengusaha transportasi juga terimbas.

Menurut Alamsyah, owner (pemilik) Hotel dan Restoran ‘Back To Nature’, pengunjung yang datang turun drastis. Semenjak fenomena virus corona, seluruh kedatangan dari mancanegara telah sah ditutup. Mereka hanya mengandalkan pemasukan dari wisatawan luar negeri yang mengalami ‘stuck’ (tertancap) karena tak bisa kembali ke negara asalnya.

“Akibat kebijakan lockdown dari negara asal. mereka tak dapat pulang. Sehingga mau tidak mau harus menambah ‘cost’ (pengeluaran) lebih untuk memperpanjang masa inapnya di penginapan (hotel),” katanya.

Alamsyah alias Acha, pemilik hotel mengatakan, wabah Corona ini jadi pengalaman paling buruk. Bias, selalu ada pengunjung menginap, kini kosong sudah beberapa hari.

 

Penginapan di Ekowisata Bukit Lawang, tak ada tamu. Foto: Barita News L/ Mongabay Indonesia

 

Iqbal, pemandu wisata lokal mengatakan, penghasilan hanya mengandalkan tip dari pengunjung. “Sebelum tutup saya biasa dapat job (pekerjaan) buat memandu wisatawan luar negeri ke lokasi orangutan. Selain dapat penghasilan dari guide, dia paruh waktu kerja sebagai pelayan resto Jungle Inn.

Kalau lagi musim wisata, biasa, Juli, Agustus dan September, Iqbal bisa mengantongi jutaan rupiah per bulan, sebagai pembayaran jasa pemandu wisata. Bahkan, dia dibayar per jam. Saat lokasi menuju orangutan tutup beberapa hari lalu, dia dan warga lain yang jadi pemandu tak lagi ada penghasilan.

Sejak Corona merebak, termasuk di Medan, Sumatera Utara, turis lokal tak ada. Ada imbauan pemerintah pusat maupun daerah agar warga tidak beraktivitas di luar rumah. Pegawai kantoran juga dianjurkan work from home (WFH).

“Tak ada informasi jelas. Bukit Lawang akan ditutup sampai kapan. Menurut teman-teman lain mereka tutup hanya dua minggu. Kalau sampai sebulan, ngeri juga,” katanya.

 

Kawasan konservasi tutup

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menutup 56 kawasan konservasi di Indonesia sebagai upaya antisipasi dan pencegahan penyebaran Corona virus disease 2019 (COVID-19) yang menewaskan ribuan orang di seluruh dunia, dan lebih 100 orang di Indonesia. Penutupan untuk kepentingan kunjungan wisata ini  efektif berlaku, 19 Maret 2020.

Sampai Sabtu, (28/3/20), Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mencatat total positif COVID-19 di Indonesia 1.155 kasus, 59 orang sembuh dan 102 meninggal dunia.

Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK mengatakan, ada kemungkinan kawasan konservasi yang tutup untuk kunjungan wisata akan bertambah.  Untuk saat ini, ada 56 kawasan konsevasi tutup sementara, terdiri dari 26 taman nasional (TN), 27 taman wisata alam (TWA) dan tiga suaka margasatwa (SM).

Taman Nasional Komodo juga tutup. “Untuk Taman Nasional Komodo, di Nusa Tenggara Timur, kami juga menutup kunjungan kapal pesiar,” kata Wiratno.

 

Orangutan bermain bersama anaknya di Bukit Lawang. Foto: Barita News/ Mongabay Indonesia

 

Mengingat, katanya, cruise biasa sandar langsung di Dermaga Pulau Komodo, dan membawa wisatawan dalam jumlah banyak. Balai TN Komodo, katanya, belum memiliki peralatan memadai untuk deteksi dini Virus Corona.

Selain itu, arahan kepada 74 BKSDA dan taman nasional pun diminta mengevaluasi dan mengantisipasi penutupan kunjungan ke lembaga konservasi umum, termasuk kebun binatang, taman satwa dan penangkaran satwa liar, kalau perlu.

Aktivitas repatriasi satwa liar yang direncanakan dari negara lain pun ditunda sampai batas waktu belum ditentukan. Penanganan konflik satwa liar, penyelamatan, rehabilitasi dan pelepasan satwa, tetap kalan sesuai siatuasi dan kondisi lapangan.

 

Kesempatan kawasan istirahat

”Untuk mencegah penyebaran Covid-19, penutupan ini juga menjadi kesempatan bagi kawasan beristirahat dan bernafas,” kata Nandang Prihadi, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi melalui pesan singkat kepada Mongabay.

Saat penutupan ini, katanya, para pengelola bisa memanfaatkan untuk berbenah, seperti pembersihan, perbaikan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Kegiatan non wisata, seperti patrol, pengamanan kawasan, pembinaan habitat, dan pemulihan ekosistem masih tetap dilakukan petugas bersama masyarakat peduli konservasi.

 

 

Keterangan foto utama:  Wisata Alam Bantimurung, Sulawesi Selatan. Kawasan-kawasan konservasi ini sebagian besar jadi destinasi wisata alam. Penutupan sementara ini, selain mencegah penuran COVID-19, juga dinilai kesempatan bagi kawasan-kawasan ini untuk ‘bernapas’ atau memulihkan diri setelah di hari-hari biasa penuh pengunjung. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version