Mongabay.co.id

PLTU Terdampak COVID-19, Saatnya Kesehatan Warga jadi Pertimbangan saat Bangun Pembangkit

Pelabuhan Ikan Desa Menganti yang berdekatan dengan lokasi PLTU Cilacap. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) memperkirakan pembangunan dan operasi sejumlah proyek batubara jadwal terancam meleset dari target terdampak Virus Corona (COVID-19). Organisasi masyarakat sipil menyatakan, wabah ini bisa jadi pengingat keras betapa keselamatan, kesehatan warga dan lingkungan harus jadi pertimbangan penting dalam pembangunan pembangkit listrik.

Ahmad Ashov Birry, Program Director Trend Asia lembaga yang fokus pada advokasi transisi energi, mengatakan, pandemi COVID-19 ini seharusnya membuka mata, hati dan akal pemerintah Indonesia untuk mulai mengutamakan keselamatan, kesehatan publik dan lingkungan dalam pembuatan berbagai kebijakan termasuk di sektor energi.

Pemerintah, katanya, harus menunjukkan keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan dengan mengambil langkah konkret membatalkan proyek-proyek pembangunan energi fosil kotor PLTU batubara.

Sebuah kajian dari Global Energy Monitor (GEM) menghitung potensi kerugian investasi terhadap 11 proyek PLTU di Indonesia yang bakal tertunda pembangunan atau operasional karena COVID-19 sebesar US$13,1 miliar atau setara Rp209,6 triliun (asumsi kurs Rp16.000).

Hasil ini didapat dari model perhitungan kerugian investasi dengan mengacu pada rerata capital costs yang dirangkum oleh International Energy Agency (IEA).

Secara global, GEM juga mengidentifikasi 14 PLTU batubara di Asia Selatan dan Asia Tenggara berpotensi mengalami kerugian investasi mencapai US$17,1 miliar.

Perhitungan proyeksi kerugian itu karena capital outlays karena ada gangguan tenaga kerja dan rantai pasokan dari pandemi global COVID-19 yang mengakibatkan keterlambatan maupun penundaan proyek PLTU. Hal ini menambah keterlambatan yang sudah terjadi di beberapa proyek.

Kondisi ini, menunjukkan tingkat kerentanan tinggi dari ekspansi PLTU batubara global dampak pandemi. Saat bersamaan, katanya, kelebihan kapasitas (overcapacity) hingga makin menambah beban dalam menghadapi resesi.

“Pembatalan PLTU batubara harus diambil tidak hanya menghindari kerugian ekonomi jangka panjang, utamanya melindungi masyarakat dari tambahan paparan polusi beracun yang dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan.”

 

Dampak pembuangan limbah PLTU Teluk Sepang. Foto: Rusdi/Mongabay Indonesia

 

Dalam situasi krisis multidimensi ini, kata Ashov, pemerintah seharusnya memperkuat ketahanan kesehatan masyarakat, bukan membuat rentan.

Prediksi ini muncul bersamaan dengan laporan Boom and Bust 2020: Tracking The Global Coal Plant Pipeline yang kelima. Laporan ini disusun sejumlah lembaga, yaitu Global Energy Monitor, Greenpeace International, The Sierra Club, dan Centre for Research on Energy and Clean Air.

Laporan ini menunjukkan, terjadi penurunan global kapasitas PLTU dalam status konstruksi (under construction) dan pembangunan pra-konstruksi (pre-construction development) sebesar 16% year-on-year, merupakan penurunan total 66% sejak 2015. Saat bersamaan, status permulaan konstruksi turun 5% dari 2018 dan 66% dari 2015, dibandingkan 2019.

Meskipun terjadi penurunan dalam fase konstruksi, secara kapasitas neto PLTU batubara tumbuh 34,1 gigawatt (GW) pada 2019. Data ini merupakan peningkatan pertama dalam penambahan kapasitas bersih sejak 2015. Hampir dua pertiga atau sekitar 43,8 GW dari 68,3 GW kapasitas PLTU baru di Tiongkok.

Di luar Tiongkok, kapasitas PLTU batubara global secara keseluruhan mengalami penyusutan selama dua tahun berturut-turut. Kondisi ini karena banyak negara menghentikan kapasitas PLTU batubar hingga 27,2 GW dibandingkan yang beroperasi sebesar 24,5 GW.

“Secara global PLTU batubara turun dan memecahkan rekor pada 2019 karena energi terbarukan tumbuh dan permintaan listrik melambat,” kata Christine Shearer, penulis utama laporan dan Direktur Program Batubara GEM.

“Terlepas dari itu, jumlah PLTU baru yang ditambahkan ke jaringan kian dipercepat. Artinya PLTU batubara dunia yang dioperasikan jauh lebih sedikit. Lebih banyak pembangkit menghasilkan energi lebih kecil.”

Bagi bank dan investor yang terus menjamin PLTU baru, katanya, berarti berpotensi pada pelemahan profitabilitas dan peningkatan risiko bisnis.

Adila Isfandiari, Periset Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menjelaskan, dalam RUPTL 2019-2028, Pemerintah Indonesia berencana membangun PLTU batubara baru 27 GW PLTU hingga 10 tahun mendatang.

Kondisi ini, katanya, sangat berlawanan dengan tren global, di mana pertambahan PLTU batubara, baik yang sedang dibangun maupun dalam perencanaan, menurun dua pertiga dalam empat tahun terakhir.

“Salah satu PLTU batubara baru yang akan dibangun dalam waktu dekat di Banten adalah PLTU Jawa unit 9 dan 10 dengan kapasitas 2×1.000 MW. Proyek ini didanai Korea Selatan, ironisnya melarang pembangunan PLTU baru di dalam negeri mereka,” kata Adila.

Sisi lain, penambahan PLTU batubara juga sangat bertentangan dengan komitmen menanggulangi krisis iklim. Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim telah mengharuskan pengurangan PLTU 80% pada 2030 untuk mencegah kenaikan temperatur di atas 1.50 C.

Penambahan 27 GW PLTU di Indonesia akan menghasilkan emisi sekitar 162 juta ton CO2 per tahun, setara emisi dari 77 juta mobil per tahun. Sementara itu 28 GW PLTU eksisting di Indonesia menghasilkan emisi 168 juta ton CO2 per tahun.

 

Surayah mengaku lebih sering sakit termasuk cucunya setelah PLTU Celukan Bawang beroperasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Masa operasi PLTU batu bara yang bisa 30-40 tahun hingga membuat Indonesia akan terkunci oleh emisi gas rumah kaca (GRK) tinggi selama masa operasi pembangkit itu.

Rencana kelistrikan Indonesia, kata Adila, bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi GRK.

Penambahan PLTU batubara baru perlu dipertimbangkan kembali di tengah penurunan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik dampak Covid-19.

Fakta reserve margin Jawa-Bali mencapai 30% pada 2019, ditambah banyak PLTU batubara baru akan beroperasi berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi negara.

Pius Ginting, Kordinator Perkumpulan Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER), mengatakan, tren perlambatan pembangunan PLTU batubara telah terjadi di Indonesia, seperti tersendatnya pembangunan PLTU Riau-1, Jawa-5, Sumsel-1.

Pius bilang, hal ini mencerminkan ketidakpastian bagi pembangunan proyek batubara, termasuk karena iklim korupsi.

Pelemahan lembaga anti-korupsi, KPK, yang terjadi pada periode kedua Presiden Joko Widodo membuat agenda pemberantasan korupsi lemah dapat berkonsekuensi pada biaya listrik yang sebenarnya ytak mencerminkan internalisasi biaya lingkungan dan sosial namun karena korupsi.

“Di tengah situasi ini, pengawasan publik dan pelaku pasar dibutuhkan agar kelanggengan industri batubara di Indonesia bukan terjadi karena state capture dan korupsi,” katanya. Hal itu, tentu merugikan publik yang sudah merasakan dampak pemanasan global.

 

Batubara ciptakan masalah dari hulu ke hilir., dari tambang hingga penggunaan seperti buat pembangkit listrik Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Harga terbarukan makin rendah

Saat bersamaan, India berhasil mencetak harga terendah di dunia untuk kombinasi energi surya dan storage menyaingi harga listrik PLTU batubara. Bagaimana dengan Indonesia?

Adhiyanti Putri, Direktur Yayasan Indonesia Cerah mengatakan, India di penghujung Januari berhasil lelang energi terbarukan terbesar di dunia dengan total kapasitas mencapai 1,2 gigawatt (GW).

Dalam tender itu, kata Ditri, sapaan akrabnya, Solar Energy Corporation of India (Seci) berhasil mendapatkan harga termurah, US$6 sen per kilowatt hour (kwh) untuk pembangkit berbasis energi terbarukan. Tak hanya itu, juga penyimpanan (storage) yang membuat performa pembangkit ini bisa menyamai cara kerja pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) fosil.

Greenko dan Renew Power, dua pengembang terbesar di India, akan menggunakan energi surya ditunjang penyimpanan menggunakan pumped hydro dan penyimpanan baterai untuk menawarkan tarif listrik bersih termurah di dunia.

“Sejumlah pihak menyebut keberhasilan ini sebagai lonceng kematian bagi sumber energi batubara,” katanya.

Selama ini, salah satu dari sedikit kelebihan batubara dibanding surya adalah kemampuan disalurkan ke jaringan listrik kapan pun ada permintaan daya. Pertanyaan yang kerap dilontarkan ketika membandingkan energi fosil dengan energi terbarukan, bagaimana jika matahari tidak bersinar dan angin tidak bertiup?

Di Indonesia, katanya, ini menjadi alasan kenapa PLN lebih mengutamakan PLTU dibandingkan pembangkit energi terbarukan. “Energi terbarukan dengan sifat intermittent seperti energi surya dan angin dianggap menyulitkan sistem yang memerlukan daya tetap (baseload).

Dalam hal ini, energi terbarukan perlu penyimpanan baterai (battery storage). “Inilah yang berhasil dicapai di India dengan lelang ini.”

Tak lama setelah pengumuman lelang ini, Tangedco, perusahaan pembangkit listrik dan distribusi milik negara Tamil Nadu di India mengatakan, terbuka meninjau kembali keperluan proyek-proyek baru berbahan bakar batubara.

Ada tujuh proyek PLTU batubara di Tamil Nadu dengan total kapasitas 13,3 gigawatt yang terancam batal karena kehilangan daya saing atas teknologi energi terbarukan yang menjadi makin murah.

Dari segi biaya, penggunaan energi bersih dapat bersaing dibanding pembangkit listrik tenaga batubara.

Carbon Tracker, lembaga kajian berbasis di London, merilis studi global dari 6.685 pembangkit batubara yang menunjukkan, hampir 62% dari semua PLTU India kini beroperasi dengan biaya lebih tinggi ketimbang membangun pembangkit tenaga surya dan angin.

Kondisi ini karena harga teknologi energi terbarukan turun di India selama lima tahun terakhir, bersamaan lonjakan harga batubara dalam beberapa bulan terakhir.

Di Indonesia, lelang energi terbarukan yang paling mutakhir, yaitu lelang pembangkit energi surya 50 megawatt di Bali berhasil mencetak angka terendah di Indonesia, yaitu US$5,8 sen per kWh.

“Sistem ini masih belum dilengkapi penyimpanan baterai, hingga performa yang sifatnya intermittent ini jadi batu sandungan bagi kapasitas yang lebih besar,” kata Ditri.

Sistem penyimpanan baterai memainkan peran krusial dalam memastikan pembangkit berbasis energi bersih memiliki porsi lebih tinggi dalam sistem kelistrikan.  Permintaan baterai lebih murah diperkirakan terus meningkat karena teknologi ini merupakan salah satu pilihan utama mengelola pasokan dan permintaan.

Saat ini, katanya, penyimpanan baterai masih terhitung mahal di Indonesia. Mengingat Indonesia membidik pasar baterai lithium sebagai pemasok nikel dan produsen baterai pada 2023, tidak tertutup kemungkinan menyebabkan harga penyimpanan baterai jadi makin ekonomis.

 

Foto Utama: Pelabuhan ikan tak jauh dari PLTU Cilacap.  Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version