Mongabay.co.id

Banjir Cekungan Bandung dan Keberlanjutan Sungai Citarum

Kondisi Sungai Citarum di Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Foto: Dony Iqbal

 

Jarum jam menunjukkan angka 22.20 WIB, Jumat (20/3/2020). Sebagian warga RT 01 RW 01, Kampung Palasari, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sedang terlelap di peraduannya. Sebagian lagi berjaga-jaga dengan perasaan gusar. Hujan deras yang mengguyur kawasan cekungan Bandung sejak sore, membuat mereka harus bersiaga.

Tiba – tiba, riuh teriakan warga memecah keheningan malam itu. “Bangun! Banjir! Banjir! Banjir!”

Mendengar keriuhan itu, Sutanto Nurhadi (30) tersentak dari lelapnya tidur. Betapa kagetnya dia, saat kakinya menginjak lantai, air sudah setinggi mata kaki. Dengan tergopoh-gopoh bersama ibu dan bapaknya, mereka segera mengemasi harta benda yang ada. Tak sampai sejam, air sudah meninggi nyaris setengah betis.

“Heran. Sekarang rumah sering dilanda banjir. Padahal dulu tak pernah begini sekalipun lama diguyur hujan,” kata Sutanto.

baca : Respon Kota Lambat Tangani Banjir Bandung

 

Kondisi banjir di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada awal Februari 2020.
Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hal sama juga dirasakan Dedi, warga Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Melihat air Sungai Citarum meluber, dia beserta istri dan anaknya bergegas mengamankan beberapa barang berharga ke atas para atau atap rumah.

Selama 30 tahun diuji, warga telah lama beradaptasi. Mereka berinisiatif menambah ruang di atap. Ruang itu digunakan untuk menaruh barang sekaligus tempat mengungsi jika banjir menerjang.

Dedi dan warga lainya banyak yang memilih tak mengungsi. Dia bilang, harta benda karena kerap dicuri jika banjir menjadi alasan kuat sebagian warga tak meninggalkan rumah.

Di beberapa titik, banjir bahkan mencapai hampir 3 meter. “Banjir sekarang sepertinya hampir mirip 2008 lalu. Dulu, lama banjirnya sampai satu minggu bahkan lebih. Tetapi, banjir kali ini gampang surut dalam dua hari,” ujarnya. Dedi mengaku risau, “Setelah surut, banjir kerap datang lagi. Apalagi jika sudah hujan.”

Sementara itu, warga Komplek Kota Baru Cibaduyut, Asep Majid (27), dirundung resah. Belasan tahun tinggal di sana, Kamis (26/3/2020) lalu, rumahnya di kepung banjir sepinggang. Dia kini harus rela didera banjir dan bencana akibat perubahan lingkungan di DAS Citarum.

baca : Krisis Lingkungan : Cekungan Bandung Kian Rentan

 

Kondisi banjir di Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada awal Februari 2020.
Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dua hari kemudian, BPBD Kabupaten Bandung mengumumkan bahwa banjir merendam lebih kurang 12.073 rumah, 72 tempat ibadah, dan 41 sekolah. Lebih dari 80.000 jiwa terdampak banjir luapan Sungai Citarum. Sekitar 900 orang diantaranya mengungsi.

Dikutip dari Pikiran Rakyat, 06 April 2009, banjir besar pernah terjadi pada Desember 2008. Banjir merendam ribuan rumah yang dihuni oleh 6.499 kepala keluarga atau 34.995 jiwa di Baleendah. Tapi, itu belum termasuk di Dayeuhkolot, dan Bojongsoang.

Selama itu pula, banjir terus mengepung tiap musim hujan. Hanya saja, yang membedakan saat ini dengan 12 tahun lalu yaitu penduduk dan lahan kian meningkat dan padat.

Karena menurut sejarah geologisnya, kawasan tersebut kerap tergenang. Letaknya yang persis di area pertemuan beberapa anak sungai bermuara ke Sungai Citarum.

baca juga : Inovasi Infrastruktur Jadi Solusi Banjir 

 

Panorama kawasan Cekungan Bandung, di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Foto: Gigin A. Ginanjar/Mongabay Indonesia

 

Keberlanjutan program

Sungai Citarum tak bisa dipisahkan dengan topografi Cekungan Bandung. Cekungan seluas 350.000 hektar tidak bisa sepenuhnya bebas dari banjir karena 945 hektar di antaranya merupakan daerah limpasan air alami, yang pasti terjadi banjir setiap kali Sungai Citarum meluap.

Upaya normalisasi Citarum, sebetulnya, telah dimulai sejak 1986 berupa penyodetan dan pengerukan. Tahun itu, menjadi tahun pertama banjir besar terjadi.

Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum kala itu, menyusun rencana mengatasi banjir Citarum dalam tiga tahap proyek, yakni tahap I (1994-1999), tahap II (1999-2008), dan tahap III (2008 – 2023) Program Investasi Pengelolaan Sumber Daya Air Citarum secara Terpadu (Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program/ICWRMIP) yang diusung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Merujuk data BBWS Citarum, luas daerah genangan di Cekungan Bandung mencapai 7.450. Dalam rentang waktu 1987-1993, dilakukan serangkaian studi di DAS Citarum dengan bantuan hibah dari Jepang. Setelah tahap I dan II dijalankan, luas genangan berkurang menjadi 4.500 hektar.

Dalam proyek tahap III, mendapat dukungan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) senilai 50 juta dollar AS untuk pembangunan Kanal Tarum Barat.

perlu dibaca : Catatan Akhir Tahun: Berharap Banyak Pada Program Prestisius Pemulihan Sungai Citarum, Mungkinkah?

 

Petugas mengecek kondisi air hasil instalasi pengolahan air limbah (IPAL) milik PT Sansan Saudaratex, di Jalan Cibaligo, Kota Cimahi. Menurut data Satgas Citarum Harum, dari 1,900 industri di DAS Citarum hanya sebagian kecil yang punya IPAL ideal. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Program itu bertujuan memperbaiki kualitas Citarum, menangani banjir, mengatasi persoalan lingkungan di DAS Citarum, menyediakan pasokan air baku yang berkualitas, dan lainnya. Program itu meliputi seluruh jalur Citarum yang mencakup sepuluh kabupaten dan enam kota di Jawa Barat, dengan total luas area 13.000 kilometer persegi.

Seharusnya, program itu menjanjikan harapan besar bagi warga Jabar yang menjadi langganan banjir Citarum, seperti di Baleendah, Majalaya, dan Dayeuhkolot. Namun, sejak munculnya, program anyar Citarum Harum, perkembangan program tahap III tersebut dipertanyakan kelanjutannya.

Pasalnya, baru – baru ini, pemerintah punya target lain. Kualitas Sungai Citarum pada akhir tahun 2020 ditargetkan naik menjadi cemar ringan dari sebelumnya cemar sedang. Untuk mencapai hal tersebut, Satuan Tugas Citarum Harum didorong ikut andil mengelola sampah di sepanjang daerah aliran Sungai Citarum.

Citarum Harum adalah program pemulihan Sungai Citarum yang digagas pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden No.15/2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum. Program ini diharapkan memulihkan sungai sepanjang 297 kilometer, dengan target utama membebaskan Sungai Citarum dari limbah pabrik, rumah tangga, pertanian, dan peternakan hingga tujuh tahun ke depan.

Khusus penanganan sampah, ADB memberikan dana hibah Rp1,4 triliun yang dikucurkan bertahap hingga 2022. Dana itu untuk membuat menjemen penanganan sampah terpadu di delapan kabupaten/kota yang dilintasi Sungai Citarum.

baca juga : Citarum Harum, Langkah Optimis Pemerintah Pulihkan Kejayaan Sungai Citarum (Bagian 3)

 

Botol-botol berisi air dari hasil instalasi pengolahan air limbah (IPAL) milik PT Sansan Saudaratex, di Jalan Cibaligo, Kota Cimahi. Perusahaan tekstil itu menyebutkan biaya pembenahan IPAL sesuai anjuran pemerintah mencapai Rp20 miliar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Asisten Deputi Pendidikan dan Pelatihan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Tubagus Haeru Rahayu di Bandung, Kamis (20/2/2020) lalu, mengatakan, penanganan sudah memasuki tahun ketiga dengan evaluasi kondisi air sungai dalam status cemar sedang. Keinginan pemerintah, indeks kualitas air mesti terus meningkat tiap tahun.

Berdasarkan hasil pemantauan tim Satgas Citarum Harum, ada sekitar 1.900 pabrik di sepanjang daerah aliran Sungai Citarum. Ironisnya, hanya sebagian besar pabrik yang memiliki instalasi pengolahan air limbah ideal. Akibatnya, Citarum rentan tercemari limbah.

Pada tahun 2018, kondisi sungai diperbaiki dari berstatus cemar berat ke cemar sedang. Pada 2019, program ini mengklaim status sungai berubah menjadi cemar sedang menuju cemar ringan. Hal itu memperlihatkan progres dari program Citarum Harum.

 

Belum menyentuh

Penerapan pengetahuan lokal dan mitigasi bencana alam berbasis budaya dalam menghadapi ancaman banjir seharusnya mulai dilirik pemeritah. Warisan kearifan lokal nyatanya terbukti ampuh menjaga kehidupan manusia yang tinggal di sekitar sungai selama ratusan tahun.

Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan peneliti dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, T Bachtiar, mengatakan, pengetahuan lokal dan budaya menjadi elemen penting yang bisa menjaga alam sekaligus mencegah bencana.

Akan tetapi, sekian lama diabaikan. Banyak kearifan lokal yang punah. “Karena tidak dipakai, pengetahuan berharga itu putus di masyarakat. Padahal, itu berpotensi memperbaiki lingkungan. Tidak cukup sekadar penanganan secara fisik saja,” kata Bachtiar, saat menyusuri jejak Karapyak atau Dayeuhkolot, pertengahan Maret lalu.

perlu dibaca : Budaya Leluhur Sunda Telah Ingatkan Masyarakat untuk Rawat Citarum

 

Foto udara instalasi pengolahan air limbah (IPAL) Terpadu di Cisirung, Kabupaten Bandung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Bachtiar mencontohkan kearifan lokal masyarakat Kampung Adat Mahmud di Margaasih. Di kampung pinggir Sungai Citarum itu, sejak dahulu ada pamali atau pantangan pengambilan air tanah. Pengambilan air tanah berlebihan rentan menurunkan muka air tanah dan permukaan tanah.

“Sejak sungai tercemar, pamali itu kini sudah dilanggar,” terang Bachtiar.

Ada juga yang masih konsisten bertahan. Kearifan masyarakat Kampung Adat Naga di Kabupaten Tasikmalaya menjaga kualitas Sungai Ciwulan. Sebelum membuang air limbah rumah tangga, warga memiliki penyaring berupa sawah dan kolam.

Di hulu Sungai Citanduy, Masyarakat Kampung Adat Kuta di Ciamis setia hidup harmonis bersama alam. Mereka memiliki hutan larangan yang selalu dijaga. Mereka menjadikan hutan sebagai kawasan penyerap air untuk mencegah kekeringan saat kemarau dan kebanjiran ketika musim penghujan.

Kemampuan masyarakat adat itu, lanjutnya, belum sepenuhnya dilirik pemerintah. Sebaliknya, arah pembangunan yang dilakukan cenderung mengabaikan aspek lingkungan.

baca juga : Kearifan Lokal dan Mitigasi Bencana ala Kampung Cikondang

***

 

Keterangan foto utama : Kondisi Sungai Citarum di Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu (12/11/2016). Akibat derasnya arus sungai menengelamkan 1 jembatan proyek PLTA Saguling. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version