Mongabay.co.id

Ocky Karna Radjasa: Kelola Berkelanjutan dengan Obat-obatan dari Genetik Laut

Panorama terumbu karang perairan Malalayang Dua, Manado, Sulut. Tim Peneliti Scientific Exploration khawatir reklamasi akan menimbulkan dampak merusak terumbu karang. Foto : Scientific Exploration/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Jalesveva jayamahe.” Seruan ini ada sejak zaman Majapahit, dengan arti “Di lautan kita jaya.” Makna ini cukup dalam kalau melihat Indonesia memiliki potensi kekayaan laut besar yang harus bisa dimanfatkan dengan arif agar tetap lestari.

Ocky Karna Radjasa, tak pernah berpikir untuk menjadi ahli dalam mikrobiologi kelautan. “Jadi saya itu antara terjebak juga cinta,” kata pria yang mendapatkan Kehati Award 2006 untuk kategori Cipta Lestari Kehati. Saat itu, Ocky menyodorkan metode baru dalam pemanfaatan terumbu karang tropis untuk obat antibiotik dan antikanker.

Pria kelahiran Purwokerto ini memulai menekuni bidang ini saat masih mahasiswa S1 Fakultas Biologi Universitas Soedirman, Purwokerto. Masa itu, kala mengambil mata kuliah mikrobiologi secara umum, Ocky diminta jadi asisten praktikum.

Setelah lulus, dia mendapat kesempatan mengabdi di Program Studi Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang dan mendapatkan Surat Keputusan (SK) di Mikrobiologi Laut. Itu bidang baru bagi Ocky.

Sejak itulah, dia terus mendalami tentang mikrobiologi kelautan, dia mengambil S2 di Department of Biology, McMaster University Hamilton Canada tahun 1994. Kebetulan sekali, saat itu pembimbing tesisnya memiliki riset di Marine Station Teluk Awur, Jepara, Jawa Tengah.

Keinginan mendalami mikrobiologi kelautan terus menggebu hingga dia melanjutkan program doktoral di Department of Aquatic Biosciences, The University of Tokyo–Japan.

Pada 2002-2003, dia mendapatkan Postdoctoral DAAD Fellow, ICBM, University of Oldenburg, Jerman. Kemudian, pada 2004-2005, mendapatkan Posdoctoral Humboldt Fellow, IFM-GEOMAR, Jerman.

Pada 2012, dia dilantik jadi Senat Guru Besar Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang. Kini, dia dipercaya jadi Direktur Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kementerian Riset dan Teknologi.

“Memang hidup saya memang ditakdirkan bergulat dengan mikrobiologi di laut,” kata pria kelahiran 29 Oktober 1965 ini.

Lusia Arumingtyas, dari Mongabay Indonesia, berkesempatan berbincang-bincang dengan Ocky Karna Radjasa terkait perkembangan mikrobiologi kelautan. Berikut petikannya:

 

Ocky Radjasa, dua dari kanan, bersama para kolega. Foto: dokumen Ocky Radjasa

 

Mengenai mikrobiologi kelautan, bagaimana awal mula Anda mencintai dan mendalami ilmu ini?

Sekitar 70% wilayah Indonesia terdiri dari laut, sementara itu tidak setiap orang Indonesia itu bisa berenang. Kalau di fakultas kami, mahasiswa itu wajib bisa berenang dan disarankan mengambil sertifikasi selam. Saya hanya bisa renang tak bisa diving (menyelam).

Saat riset 1995, saya harus bisa menyelam, mau tidak mau saya harus mengambil sertifikasi. Saat itu, saya menyadari kekayaan alam Indonesia, produk penyembuh banyak masih mengandalkan daratan. Hal ini yang mendorong saya mendalami ilmu mikrobiologi karena kekayaan laut kita bisa jadi sumber pengobatan.

Teknik yang saya pelajari itu keanekaragaman mikroba laut berbasis monokuler, yang sangat applicable. Bisa diterapkan di semua lini bagian perairan, bisa di terumbu karang, mangrove, dan lamun.

Kebetulan waktu itu saya masuk sebagai tim penasehat ahli Coralreef Rehabilition And Management Program. Saya mulai terlibat dengan riset terumbu karang.

 

Anda mendapatkan Kehati Award pada 2006, dengan menawarkan metode baru terkait pemanfaatan terumbu karang tropis untuk obat antibiotik dan antikanker, seperti apakah itu?

Saat itu, sebenarnya yang saya tawarkan pemanfaatan terumbu karang berkelanjutan dalam konteks pengembangan sebagai sumber senyawa bioaktif. Senyawa itu kan macam-macam disebut aktif berdasarkan targetnya. Ada yang anti jamur, anti bakteri, anti virus, anti oksidan, anti biotik, anti peradangan dan anti kanker.

Konsep kami, konservasi sekaligus bioekonomi atau sekarang dikenal dengan bioprospecting.

Saat itu, berkembang isu marine drugs. Ketika saya katakan,” say no to drugs, but say yes to marine drugs.” Drugs ini berarti obat-obatan dari genetik laut.

Salah satu perhatian saya saat itu adalah invertebrata terumbu karang, seperti sponge, karang lunak, tunikata, moluska dan lain-lain. Itu adalah organisme penyusun terumbu karang yang dikenal menghasilkan senyawa metabolit sekunder atau secondary metabolite. Itu adalah senyawa untuk meningkatkan daya tahan suatu organisme di habitatnya, di terumbu karang, misal.

Konsepnya secondary metabolit itu dihasilkan sebagai mekanisme untuk bertahan, pertama, terhadap predator, kedua, terhadap penyakit. Ketiga, kompetisi ruang. Pertumbuhan invertebrata terumbu karang ini lambat dan senyawa aktif yang dihasilkan itu sangat kecil.

Kalau menginginkan senyawa aktif harus mengambil sampel yang banyak dan kemudian diekstrak untuk mendapatkan sejumlah kecil senyawa bioaktif. Ini bisa menjadi masalah pemanfaatan yang tidak berkelanjutan, nanti bisa habis sumber dayanya dalam proses uji praklinis hingga mendapatkan obat.

Satu sisi, langkah ini memiliki manfaat membantu manusia menyembuhkan penyakit, sisi lain akan merusak ekosistem terumbu karang.

Untuk itu, saya gunakan pendekatan bioteknologi atau mikrobiologi, dengan menekankan mikroba simbion, yang bersimbiosis dengan invertebrata laut itu disebut dengan simbion. Hampir semua invertebrate laut itu mengandung mikroba simbion.

Untuk apa kita mengambil sejumlah besar sampel invertebrata kalau bisa ambil sedikit saja dari invertebrata untuk menghasilkan mikroba yang bisa di-screening dan tes untuk menghasilkan aktivitas tertentu, baik itu antibiotik, anti mikroba, anti kanker, antioksidan dan lain-lain.

Sambil belajar, ada suatu konsep yang disebut dengan HMA (high microbial abandonment invertebrate). Artinya, inverterbrata terumbu karang, dimana 40-60% jaringan mengandung mikroba.

Kemudian berkembang lagi bukti-bukti kajian ilmiah yang ternyata simbion itu menghasilkan senyawa bioaktif yang mirip dengan inangnya. Konsep itu yang saya tawarkan. Boleh kita memanfaatkan terumbu karang tapi jangan diambil dari ekstrak dari inangnya. Carilah mikroba simbionnya yang kemudian kita tes sesuai kebutuhan kita.

 

Bagaimana perkembangan penelitian itu?

Tahun 2006, dahulu saya masih sangat susah. Fakta lain, rata-rata alat di perguruan tinggi di Indonesia ini relatif sudah berumur, 5-30 tahun. Perlu ada kolaborasi dengan pihak luar.

Kita sudah bisa mendapatkan senyawanya, terkait hilirisasi karena modal sangat besar, satu sisi saat itu tidak setiap perusahaan farmasi bisa dengan mudah berkolaborasi. Saat ini, perkembangan itu, senyawa marine drugs yang masuk ke market sudah banyak dan perlu didorong oleh investasi yang sangat besar. Artinya, pengembangan itu sudah menjadi alternatif dan banyak dimanfaatkan.

 

Ikan-ikan mulai bermain di terumbu karang yang ditansplanasi di pesisir pantai desa Birawan kecamatan Ilebura kabupaten Flores Timur. Foto : Misool Baseftin/Mongabay Indonesia. 

 

Penelitian seringkali terkendala hilirisasi, apa yang harus dibenahi?

Banyak riset bagus yang bisa membantu masyarakat tetapi tidak terinformasikan dengan baik ke industri dan pihak lain. Dalam portofolio Kemenristek, fokus pada tiga hal, yakni, pertama, inovasi mensejahterakan masyarakat. Namanya, teknologi tepat guna yang terimplementasi melalui salah satu program namanya diseminasi teknologi. Ini sedang berjalan.

Kedua, riset bernilai tambah. Seorang periset yang mampu meneliti biji cokelat itu nilai tambah satu kali. Kalau bisa menjadi butter cokelat bisa sembilan kali dan berlipat sampai tahap riset pengembangan.

Ketiga, substitusi impor atau teknologi komponen dalam negeri (TKDN). Jadi memperbanyak persentase dalam negeri.

 

Bagaimana kebijakan pemerintah sendiri?

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45/2019 mengatur terkait super deductible tax hingga 300%, insentif pajak itu diberikan kepada perusahaan yang mau riset dan pengembangan. Harapannya, bisa mendorong makin banyak perusahaan di Indonesia bersedia bekerjasama dengan peneliti. Salah satunya mencari bioaktif dari simbion yang berasal dari terumbu karang.

 

Menurut Anda, dengan pengembangan riset bisa mendorong pelestarian ekosistem terumbu karang?

Ya pastilah, karena biodiversitas satu dari lima topik prioritas dalam PRN (prioritas riset nasional-red) terkait fokus multidisiplin dan lintas sektor. Melalui itu, jelas terumbu karang akan mendapatkan prioritas, termasuk riset yang kita inginkan itu pemanfaatan yang berkelanjutan. Misal, terumbu karang rusak transplantasi, riset struktur permukaan tempat menempelnya larva karang.

Juga ada komitmen dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang menciptakan 20 juta hektar kawasan konservasi, salah satunya terumbu karang.

 

Bagaimana pendapat anda tentang penelitian mikrobiologi kelautan di Indonesia?

Masih minim, untuk PhD dalam mikrobiologi laut di Indonesia tidak lebih dari 30 orang.

Saat ini, Kemenristek nebggalakkan fungsi riset sebagai integrator, menggabungkan antara riset perguruan tinggi, riset lembaga penelitian non kementerian seperti LIPI, Batan, BPPT, itu akan bergabung dengan Kemenristek. Akses untuk alat akan makin mudah.

 

Bagaimana upaya hadapi kerentanan biopiracy?

Secara internasional, Indonesia sudah meratifikasi Convention On Biological Diversity (CBD) maupun Nagoya Protocol melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bagi pihak asing yang mau riset harus memiliki FRP (foreign riset permit-red).

Karena banyak peneliti luar negeri memiliki niat tidak baik. Tahun 2019, Kemenristekdikti mendeportasi 10 peneliti asing yang melanggar aturan.

Regulasi itu untuk melindungi jika ada sampel dikirim ke luar negeri harus memenuhi syarat, salah satunya, MTA (material transfer agreement-red). Itu yang kurang ketat dilaksanakan sebelum Kemenristekdikti dibentuk lima tahun lalu.

 

Menurut Anda, apa saja yang perlu diperkuat agar peneliti handal, terutama bidang kelautan di Indonesia ?

Ada tiga faktor yang mempengaruhi peneliti bisa lebih handal dalam keragaman hayati khusus dil aut. Pertama, kualifikasi sumber daya manusia, kita harus dorong terus menghasilkan doktor-doktor baru yang memiliki kualifikasi. Kedua, riset konsorsium. Sudah tidak zaman lagi main sendiri-sendiri, agar saling berbagi kepakaran. Riset konsorsium ini pun membuat penelitian menjadi optimal karena bisa berbagi aktivitas.

Kolaborasi bukan sesuatu yang bisa ditawar lagi. Ketiga, fasilitas riset bisa dipakai bersama, misal, terkait laboratorium atau LIPI yang memiliki kapal riset. Itu yang perlu diperkuat agar Indonesia bisa berjaya di bidang riset.

 

Apa mimpi anda yang belum tercapai?

Dulu, itu saya memimpikan memiliki suatu laboratorium independen yang bisa dikatakan sebagai Center for Biotechnology Riset in Coral Reef. Itu yang belum kesampaian. Mungkin dari segi perguruan tinggi, ada kepentingan yang lebih penting. Saya juga harus lebih memiliki jaringan lebih kuat lagi, khususnya dari semacam industri atau perusahaan atau filantropi yang bersedia mendukung ini.

Bagaimanapun bioteknologi itu kunci masa depan, laut kita masih luas dan memerlukan sentuhan teknologi.

 

Apa pesan untuk para peneliti yang calon Kehati Award?

Buat para calon Kehati Award, baik yang sedang menimbang atau berpikir, kalau kalian memiliki ide jangan takut mengekspresikan. Ajukan, tuliskan ide anda melalui program Kehati Award. Ini menjadi salah satu media yang ideal untuk jadikan mimpi suatu kenyataan. Jangan patah hati, atau patah semangat. Menang kalah urusan nanti, yang penting ide anda akan terkomunikasikan dengan baik.

Jangan lelah berbuat baik untuk lingkungan kita !

 

Keterangan foto utama: Kekayaan laut Indonesia begitu besar hingga potensial jadi salah satu sumber obat.  Agar pemanfaatan tak merusak atau tetap berkelanjutan, Ocky Rajasa, menawarkan, pengembangan keragaman genetik laut. Foto:  Scientific-Exploration

Ocky Karna Radjasa, bersama istri. Foto: dokumen Ocky K Radjasa

Exit mobile version