Mongabay.co.id

Ritual Tolak Bala Corona di Sikka, Seperti Apa?

 

Wajah kota Maumere tak seperti biasanya. Hilir mudik kendaraan menurun drastis sampai 70%. Perlakuan social distancing dan meliburkan sekolah, kampus dan sebagian besar pegawai pemerintah membuat mobilitas kendaraan berkurang.

Begitu juga jalan negara trans Flores ruas Maumere-Ende tampak lengang. Tak terlihat bis antar kota yang lewat. Hanya beberapa sepeda motor dan mobil angkutan barang sesekali melintas.

“Virus Corona ikut andil menurunkan angka polusi dan menekan pemanasan global. Banyak kendaraan bermotor berhenti beroperasi,” canda Athy Meaq, wartawati yang ikut dalam perjalanan, Senin (30/3/2020).

Kami menuju Desa Korobhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) di pesisir selatan pulau Flores, untuk melihat ritual adat tolak Bala Joka Segu Ngawu Re’e yang digelar Mosalaki atau tetua adat Tanah Bhera etnis Lio. Wilayah adat Tanah Bhera terbentang di desa Korobhera, Bhera, Dobo, Dobo Nua Pu’u serta sedikit wilayah Desa Gera. Semuanya ada di kecamatan Mego.

Tuan tanah atau Laki Pu’u Bernadus Kere (82) tampak duduk di sebuah kursi yang hanya berjarak beberapa meter dari bibir pantai. Delapan Mosalaki atau kepala suku lainya duduk bersila di pasir.

Di hadapannya sebatang bambu dibentuk setengah lingkaran menyerupai pintu. Batang bambu tersebut diikat janur. Sepanjang pantai pun dipasangi tali dan diikat janur.

“(Ritual) pakai janur, daun kelapa yang muda karena  menyejukkan untuk kita dan membuat kita terhindar dari penyakit. Daun kelapa dianggap sebagai simbol pembawa kesejukan dan kedamaian,” kata Robertus Beke salah seorang Mosalaki.

baca : Nyepi 2020: Merehatkan Alam, Manusia, dan Pandemi Corona

 

Ritual adat tolak bala Joka Segu Ngawu Re’e mencegah masuknya virus Corona yang digelar masyarakat adat Tanah Bhera di Desa Korobhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Bernadus bertugas memandu ritual adat. Persis di depannya terdapat sebuah batu ceper ditanam berdiri di tanah, dikelilingi tiga buah batu ceper lainnya. Beras dan telur ayam kampung diletakan di ujung atas batu ceper yang telah diperciki darah babi. Di tiga batu ceper lainnya yang juga ditetesi darah babi, diletakkan tembakau (rokok) dari lintingan daun Koli atau Tuak, sirih pinang dan beras.

Tampak Bernadus menatap tajam ke depan sambil sesekali komat kamit melantunkan doa dan memanggil arwah leluhur untuk hadir dalam ritual adat untuk mengusir wabah penyakit Corona

“Batu-batu ini dinamakan Mase atau Mahe, tempat diletakan persembahan atau sesajen. Mase menjadi pusat pagelaran ritual adat. Tiga Mase yang kecil di sekeliling Mase yang besar sebagai penopang dari belakang (Tau Tuke),” terang Robertus.

Ritual menghadap ke laut, jelas Robertus, karena wabah penyakit diyakini datang dari suatu tempat yang jauh dan bukan dari wilayah mereka, sehingga harus dibawa kembali ke tempat asal wabah penyakit tersebut.

 

Halau Penyakit

Desa Korobhera berpenduduk 1.035 dengan 300 Kepala Keluarga tahun 2017. Desa ini merupakan satu-satunya desa dari 10 desa di kecamatan Mego yang berada di pesisir pantai sementara yang lainnya berada di pegunungan.

Ritual adat digelar di dusun Wara di lokasi yang dinamakan Kuwu Si’e. Lokasi ini tempat warga desa kerap membuat garam. Saat ritual, Bernadus didampingi 8 Mosalaki yang duduk bersila mengelilinginya.

“Kalau ada sesuatu yang dilihat tidak beres maka para Mosalaki berkumpul dan bermusyawarah untuk membuat adat untuk menolak bala mengusir penyakit,” kata Blasius Senda, Mosalaki lainnya.

Blasius mengatakan mereka harus memberi makan dan minum kepada leluhur dan meminta leluhur menghantar wabah penyakit Corona ke rumah besar (asal) mereka.

Dengan menggelar ritual adat, pihaknya berharap wabah Corona tidak datang ke wilayah ulayat Tanah Bhera khususnya dan Indonesia umumnya. Juga mencegah segala penyakit serta hama yang menyerang tanaman pertanian dan perkebunan warga.

baca juga : Hadapi Virus Corona, Cara Ini Dilakukan Masyarakat Palembang

 

Tuan Tanah atau Laki Pu’u Bernadus Kere sedang memberikan sesajen kepada leluhur di Mase atau batu ceper dalam ritual adat tolak bala Joka Segu Ngawu Re’e mencegah wabah Corona di Desa Korobhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Blasius mengatakan pihaknya percaya selain berusaha sesuai anjuran medis, penyakit pun bisa dihalau dengan melantunkan doa kepada Allah dan menggelar ritual adat. Sebagai insan berbudaya, pihaknya selalu menjunjung tinggi adat budaya.

Nasi yang dimasak di periuk tanah bersama daging ayam berbumbu garam diambil dari dua tungku yang dibuat tak jauh dari tempat ritual. Bernadus pun meletakkan sedikit daging ayam dan nasi di Mase. Tak lupa juga Moke atau arak dituangkan juga.

Sesudah Bernadus memanggil arwah leluhur untuk datang makan, sisa makanan dan Moke diberikan kepada para Mosalaki dan tetamu yang hadir.

Sebuah kayu Reo ditancapkan di samping Mase. Bernadus lalu meletakkan Nyiru di kayu dengan bagian belakangnya menghadap ke laut.

“Kayu Reo untuk penahan nyiru membelakangi laut agar menghalau penyakit tidak bisa masuk ke wilayah kami.Tempat ini dinamakan Kuwu Si’e, pembuangan segala jenis wabah penyakit dan segala sesuatu yang jelek,” terang Blasius.

 

Janur dipasang di sepanjang garis pantai Desa Korobhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, NTT sebagai simbol menyejukan atau mendinginkan kampung agar terhindar dari wabah penyakit Corona. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Menutup Kampung

Hampir semua wilayah kabupaten Sikka hingga sebagian wilayah kota Maumere selalu dijumpai janur yang diikat di tiang dan pagar rumah. Ada juga yang ditanam di jalan masuk ke perkampungan.

Ada yang mengikat janur dengan sepotong kain berwarna merah dan juga daun damar. Kain merah dan daun damar diyakini sebagai penolak bala, termasuk menghalau wabah Corona.

Blasius mengatakan ritual adat dilakukan untuk mendukung langkah pemerintah mencegah penularan wabah penyakit Corona. Setelah ritual adat digelar, ada dua pantangan yang harus ditaati yaitu dilarang menerima tamu dari luar selama dua hari dan dilarang membuat kegaduhan.

“Dengan memasang berbagai tanda di pintu masuk kampung dan diberbagai tempat termasuk di rumah-rumah warga membuat orang dari akan segan masuk,” jelasnya.

Masyarakat juga diingatkan untuk selalu hidup selaras dengan alam dan mencintai alam dan lingkungan. Larangan untuk beraktifitas juga semacam karantina mandiri agar masyarakat bisa berdiam diri di rumah dalam jangka tertentu.

“Masyarakat adat percaya, segala hama penyakit terjadi karena ada sesuatu yang salah baik perbuatan maupun lainnya. Termasuk melakukan kesalahan terhadap lingkungan dan alam sekitar sehingga harus ada ritual tolak bala dan pesan untuk kembali menuju kearifan lokal,” pungkasnya.

menarik dibaca : Ketika Bumi “Istirahat” Gegara Corona: Langit Biru Terlihat di Tiongkok dan Beningnya Air Terpancar di Venesia

 

Warga Desa Habi dan Langir di Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, NTT memasang janur dan kain merah di pertigaan jalan menuju kampung mereka untuk menangkal wabah penyakit Corona usai digelar ritual adat. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Pemkab Sikka pun telah melakukan berbagai kebijakan selain social distancing. Pintu masuk perbatasan antara kabupaten Sikka dengan kabupaten Flores Timur dan Ende juga ditempatkan petugas kesehatan dan dinas Perhubungan.

Setiap mobil yang masuk ke wilayah kabupaten Sikka didata dan disemprot cairan disinfektan. Penumpangnya didata nama,alamat dan nomor telepon serta ditanyai riwayat perjalanan dan kesehatan.

Pemkab Sikka juga memberlakukan jam malam. Selepas jam 19.00 WITA, toko, kios, warung makan dan tempat usaha lainnya ditutup. Hanya apotik, Puskesmas dan rumah sakit yang diperbolehkan beroperasi.

“Kita ingin membatasi pergerakan orang dan mencegah terjadinya kerumunan orang. Selain di perbatasan,kita tempatkan petugas di pelabuhan dan bandara untuk melakukan pemeriksaan sesuai standar World Health Organization (WHO),” kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kabupaten Sikka,Wilhelmus Sirilus, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (28/3/2020).

Selain itu, diberlakukan libur selama 14 hari hingga tanggal 4 April dan kemungkinan diperpanjang selama 14 hari lagi. Libur diberlakukan bagi sekolah, kampus serta kantor pemerintah.

Gereja dan masjid,  jelasnya, juga mengeluarkan himbauan untuk meniadakan berbagai kegiatan keagaman bahkan Uskup Maumere telah memperpanjangnya hingga tanggal  29 Mei 2020.

Pastor paroki gereja Santa Maria Imakulata RD.Yulius Heribertus mengaku mendukung pelaksanaan ritual adat. Bahkan dirinya hadir memipin doa dan memberi berkat awal sebelum ritual adat digelar.

Romo Yulius mengatakan, segala upaya positif yang dilakukan baik oleh komunitas adat, agama maupun pemerintah semuanya bersinergi dalam upaya memerangi wabah penyakit Corona.

Pembatasan orang yang masuk keluar sebuah kampung setelah acara adat, katanya, merupakan kearifan lokal yang jauh ada sebelum ada istilah lockdown.

“Kearifan lokal dengan aturan adat melarang dan membatasi pergerakan warga merupakan sebuah tindakan yang juga diyakini pemerintah dapat memutus mata rantai penularan penyakit ini,” tuturnya.

Sedangkan Data dari Posko COVID-19 kabupaten Sikka, Selasa (31/3/2020) menyebutkan ada 65 Orang Dalam Pemantauan (ODP), jumlah PDP dan positif tidak ada, serta Pelaku Perjalanan berjumlah 3.179 orang.

 

Exit mobile version