- Merebaknya virus corona [COVID-19] di berbagai belahan dunia telah menimbulkan kekhawatiran bersama. Umat manusia menghadapi musuh bersama, musuh yang tidak terlihat mata.
- Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintahan berbagai negara, salah satunya dengan mengimbau penduduknya tinggal di rumah, mengurangi bepergian.
- Menurut Badan Antariksa Eropa [ESA], serta beberapa peneliti independen, emisi nitrogen dioksida telah menurun signifikan di Italia setelah Lockdown yang disebabkan penyebaran COVID-19. penurunan emisi tersebut menandakan berkurangnya polusi udara, dengan perubahan paling signifikan diamati di bagian utara negara itu.
- Di Hubei, Tiongkok, sejak beberapa waktu lalu, pabrik-pabrik ditutup dan jalan-jalan sepi saat diberlakukan Lockdown untuk menghentikan penyebaran COVID-19. Mungkin tak banyak yang menduga, ada dampak ‘lain’nya, yakni langit menjadi biru. Menurut Kementerian Ekologi dan Lingkungan Tiongkok, jumlah rata-rata “hari dengan udara berkualitas baik” meningkat 21,5% pada Februari 2020, dibandingkan Februari 2019.
Merebaknya virus corona [COVID-19] di berbagai belahan dunia telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat global. Umat manusia tengah menghadapi musuh bersama, musuh yang tidak terlihat oleh mata. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintahan berbagai negara, salah satunya dengan mengimbau penduduknya tinggal di rumah, mengurangi bepergian. Meskipun, dampak COVID-19 begitu hebat, namun setidaknya, ada hal ‘positif’ juga yang terjadi karenanya.
Di berbagai kota di Indonesia, sejak diumumkan Presiden Joko Widodo agar masyarakat tinggal di rumah, jalanan kota-kota besar mulai sepi. Lalu lintas di Jakarta, Surabaya, Bandung, terlihat tak seperti biasanya. Tentu, sedikit banyak, polusi berkurang. Para ilmuwan pun juga melaporkan berbagai ‘dampak positif’ dari berkurangnya aktivitas miliaran manusia di planet ini.
Menurut Badan Antariksa Eropa [ESA], serta beberapa peneliti independen, emisi nitrogen dioksida telah menurun signifikan di Italia setelah lockdown yang disebabkan penyebaran COVID-19. Satelit Copernicus Sentinel-5P mendeteksi, penurunan emisi tersebut menandakan berkurangnya polusi udara, dengan perubahan paling signifikan diamati di bagian utara negara itu.
“Penurunan emisi nitrogen dioksida di atas Lembah Po di Italia utara sangat nyata,” kata Claus Zehner, manajer misi ESA Copernicus Sentinel-5P. “Meskipun mungkin ada sedikit variasi data karena tutupan awan dan perubahan cuaca, kami sangat yakin pengurangan emisi yang dapat kita lihat, bertepatan dengan lockdown di Italia menyebabkan lebih sedikit lalu lintas dan kegiatan industri.”
Di Hubei, Tiongkok, sejak beberapa waktu lalu, pabrik-pabrik ditutup dan jalan-jalan sepi saat diberlakukan lockdown untuk menghentikan penyebaran COVID-19. Mungkin tak banyak yang menduga, ada dampak ‘lainnya’ yakni langit menjadi biru.
Menurut Kementerian Ekologi dan Lingkungan Tiongkok, jumlah rata-rata “hari dengan udara berkualitas baik” meningkat 21,5% pada Februari 2020, dibandingkan Februari 2019. Hubei adalah provinsi dimana Wuhan [yang diyakini sebagai awal mula tersebarnya virus corona] sebagai ibu kotanya.
Tentu tak hanya Hubei. Gambar satelit yang dirilis NASA menunjukkan penurunan dramatis emisi nitrogen dioksida -yang dikeluarkan kendaraan, pembangkit listrik dan fasilitas industri- di kota-kota besar Tiongkok antara Januari dan Februari 2020. Awan gas beracun yang terlihat menggantung di atas pusat-pusat industri hampir menghilang.
“Ini adalah pertama kalinya saya melihat penurunan dramatis di area seluas itu untuk acara tertentu,” kata Fei Liu, seorang peneliti kualitas udara di Goddard Space Flight Center NASA. “Saya tidak terkejut karena banyak kota di seluruh negeri telah mengambil langkah-langkah [lockdown atau semi lockdown] untuk meminimalkan penyebaran virus,” ujarnya dilansir dari CNN.
Pola serupa telah muncul dengan karbon dioksida [CO2] dilepaskan pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara. Menurut Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih [CREA], sebuah organisasi penelitian polusi udara, dari 3 Februari hingga 1 Maret 2020, emisi CO2 turun setidaknya 25% setelah pemberlakukan kebijakan terkait COVID-19.
Sebagai pencemar terbesar di dunia, Tiongkok menyumbang 30% emisi CO2 dunia setiap tahunnya, sehingga dampak penurunan ini sangat besar, meski dalam periode singkat. CREA memperkirakan itu setara 200 juta ton karbon dioksida -lebih dari setengah total emisi tahunan Inggris.
“Sebagai tindakan yang dilakukan efektif dalam semalam, ini lebih dramatis daripada apapun yang saya lihat dalam hal dampak emisi,” kata Lauri Myllyvirta, analis di CREA.
Di samping itu, penurunan produksi minyak dan baja, dan pengurangan 70% penerbangan domestik, berkontribusi pada penurunan emisi, menurut CREA. Namun pendorong terbesar adalah penurunan tajam dalam penggunaan batubara di Tiongkok.
Tiongkok adalah produsen dan konsumen batubara terbesar di dunia, menggunakan sumber daya ini untuk 59% energinya pada 2018. Selain menjalankan pembangkit listrik dan industri berat, batubara juga merupakan satu-satunya sumber panas di musim dingin bagi jutaan rumah di pedesaan yang luas.
Pembangkit listrik tenaga batu bara utama di negara itu mengalami penurunan konsumsi 36% dari 3 Februari hingga 1 Maret dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut analisis CREA.
Menurut Marshall Burke, peneliti dari Stanford University, AS, penurunan polusi udara di Tiongkok diyakini telah menyelamatkan ribuan orang dari kematian akibat udara beracun. Burke mengatakan, ada hubungan nyata [proven link] antara kualitas udara yang buruk dan kematian dini, terkait menghirup udara beracun.
“Dengan mengingat hal ini, pertanyaan wajar -jika memang aneh- adalah apakah nyawa yang diselamatkan dari pengurangan polusi yang disebabkan gangguan ekonomi dari COVID-19 melebihi jumlah kematian akibat virus itu sendiri,” katanya.
Menurutnya, hanya dalam dua bulan, penuruan tingkat polusi di Tiongkok telah menyelamatkan nyawa 4.000 balita, dan 73 ribu manula [di atas 70 tahun].
Di Hong Kong, kualitas udara juga dilaporkan meningkat sejak kota megapolitan ini memasuki masa lockdown parsial untuk memerangi penyebaran virus corona.
Polusi udara utama turun hampir sepertiga dari Januari hingga Februari 2020, menurut data Hong Kong University School of Public Health, yang dianalisis organisasi lingkungan, Clean Air Network.
Polusi di kota itu sebagian besar disebabkan kendaraan bermotor, kapal laut, dan pembangkit listrik di Hong Kong dan sekitar Delta Sungai Pearl, kata pemerintah setempat. Namun, sejak COVID-19 merebak, praktis kegiatan-kegiatan tersebut berkurang drastis.
Pemerintah Hong Kong sejak lama telah berkampanye dampak kesehatan jangka panjang polusi udara di Hong Kong yang buruk menurut WHO, yang menyebabkan rata-rata 1.500 kematian prematur per tahun di kota itu.
“Selama dekade terakhir, polusi udara Hong Kong naik dua kali lipat dari tingkat aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia,” kata Patrick Fung, Chairman Clean Air Network. “Terutama di pinggir jalan, banyak pejalan kaki dan komuter terkena polusi udara beracun dan karsinogenik semacam itu,” jelasnya sebagaimana masih dikutip dari CNN.
Di kota tersibuk AS, New York, terjadi hal yang sama. Para peneliti di kota itu mengatakan, hasil awal penelitian mereka menunjukkan karbon monoksida terutama dari mobil telah berkurang hampir 50% dibandingkan tahun lalu di kota berjuluk “Big Apple” tersebut.
Tingkat lalu lintas di kota itu juga diperkirakan turun 35% dibandingkan tahun lalu. Emisi karbon monoksida, terutama karena mobil dan truk, turun sekitar 50% selama beberapa minggu ini, menurut para peneliti di Universitas Columbia, New York.
Mereka juga menemukan, ada penurunan 5-10% dalam CO2 dan metana di New York dan sekitar. “New York memiliki jumlah karbon monoksida sangat tinggi selama satu setengah tahun terakhir,” kata Prof Róisín Commane, dari Universitas Columbia, yang melakukan pekerjaan pemantauan udara New York.
“Kondisi saat ini adalah yang terbersih yang pernah saya lihat. Ini kurang dari setengah dari apa yang biasanya kita lihat pada Maret setiap tahun,” terangnya dikutip dari BBC.
Makin banyak orang bekerja dari rumah kemungkinan akan meningkatkan penggunaan AC, pemanas rumah [di negara-negara yang mengalami musim dingin] dan listrik. Namun, pembatasan perjalanan dan perlambatan umum di ekonomi kemungkinan akan berdampak pada penurunan emisi secara keseluruhan. Prof. Commane juga menyetujui pandangan bahwa secara global, tingkat CO2 akan menurun sepanjang 2020 ini.
“Namun ini tergantung pada berapa lama pandemi berlangsung, dan seberapa luas perlambatan perekonomian, khususnya di AS. Tetapi, kemungkinan besar saya pikir kita akan melihat sesuatu dalam emisi global tahun ini,” kata Prof Corinne Le Quéré dari University of East Anglia, di Norwich, Inggris.
Di Inggris, juga terjadi penurunan tingkat polusi udara. Dari hasil laporan terakhir, nitrogen dioksida -gas rumah kaca berbahaya- di London lebih rendah dibandingkan hari-hari sebelumnya. Departemen Lingkungan, Pangan dan Urusan Pedesaan Inggris juga melaporkan, tingkat polusi udara ‘rendah’ di seluruh negeri saat ini.
Hal ini menyusul setelah Senin [16/03/2020] lalu, Perdana Menteri Boris Johnson mendesak orang untuk tinggal di rumah dan menghindari semua kegiatan, kecuali perjalanan penting dan kontak orang lain.
Menurut situs web pemantauan kualitas udara UE, AirQualityNow.eu -London mengalami penurunan tingkat polusi dari 96 pada hari Minggu [sebelum pengumuman] menjadi hanya 20 pada hari Senin, setelah Perdana Menteri Inggris mendorong orang untuk tinggal di rumah. Padahal biasanya, Hari Senin polusi udara London lebih tinggi dari akhir pekan.
Penguins in the Amazon?! 🐧🌴
Some of the penguins went on a field trip to meet other animals at Shedd. Wellington seemed most interested in the fishes in Amazon Rising! The black-barred silver dollars also seemed interested in their unusual visitor. pic.twitter.com/KgYWsp5VQD
— Shedd Aquarium (@shedd_aquarium) March 15, 2020
Kembali ke Italia yang merupakan negara kedua paling parah terdampak COVID-19, beberapa hari ini ada berita yang menjadi buah bibir terutama di dunia maya. Dari kota Venesia, sebagaimana diberitakan abc News, yang terletak di Kawasan utara Italia, pemberlakuan lockdown memberikan ‘efek samping’ yang tak terduga di Venesia. Kanal-kanal yang biasanya keruh berubah sangat jernih dan terlihat ikan-ikan berenang di bawahnya.
Beningnya air di kanal-kanal di Venesia memang bukan indikasi kualitas air yang membaik, namun lebih dikarenakan bekurangnya lalu lintas kapal/ gondola yang biasanya menggerus sedimen ke permukaan, kata Pierpaolo Campostrini, direktur pelaksana untuk Consortium for Managing Scientific Research on Venice Lagoon System, Italia.
Kebijakan lockdown juga memunculkan sesuatu yang lucu di Shedd Aquarium, di Chicago, Illinois, AS. Tempat wisata yang biasanya ramai pengunjung, terutama akhir pekan, sepi karena ditutup untuk umum. Kesempatan tersebut membuat petugas kebun binatang dapat melepas beberapa penguin.
Video penguin berkeliaran layaknya pengunjung itu viral di media sosial. Penguin tampak jalan-jalan di luar kandang mereka. Seekor penguin kecil bahkan terlihat melihat ikan di tangki besar, sementara sekawanan ikan tampak mendekati penguin ke dinding kaca.
Meskipun ada hal-hal positif yang tak terduga dari merebaknya virus corona, para ahli memperingatkan bahwa ketika wabah ini dapat diatasi dan mereda, banyak negara akan kembali me-reboot ekonominya, bisa jadi polusi, emisi, dan zat-zat berbahaya lain akibat aktivitas ‘normal’ manusia naik ke tingkat lebih tinggi ketimbang sebelum pandemi melanda.
“Ketika ekonomi Tiongkok pulih, mereka kemungkinan akan melihat peningkatan emisi dalam jangka pendek untuk mengimbangi hilangnya waktu, dalam hal produksi,” kata Zeke Hausfather seorang ilmuwan klimatologi dari Berkeley Earth.
‘Secara umum, bisa dikatakan bahwa penurunan emisi global yang pernah kita lihat dalam beberapa dekade ini, terjadi justru saat krisis besar melanda dunia [COVID-19],” tegas Hausfather. [Berbagai sumber]