Mongabay.co.id

Nasib Gajah di Sorolangun dan Balai Raja, Kala Habitat Terus Tergerus

Pondok warga yang rusak oleh gajah di Sepintun. Foto: Marhoni

 

 

 

 

Marhoni bergadang dua hari menghalau gajah di Sepintun. Satu gajah jantan masuk perkebunan dan menghabiskan tanaman sawit warga. Sebulan terakhir, warga Desa Sepintun, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Jambi, dihantui rasa was-was.

Di RT06, Dusun III, Desa Sepintun, tempat Marhoni tinggal, 10 hektar kebun karet dan sawit rusak awal Maret lalu. “Padi ladang yang baru mulai buah habis dimakan gajah. (Padi) yang disimpan di bilik jugo habis,” kata Marhoni. Beberapa pondok warga tempat menyimpan padi di kebun juga rusak.

Selang seminggu, gajah kembali masuk ke Desa Lamban Sigatal, konsesi PT Samhutani, tak jauh dari Sepintun. Lima hektar kebun sawit ludes.

Kejadian ini bukan kali pertama. Sebelumnya, 31,6 hektar kebun karet Marhoni rusak oleh gajah. “Habis total, dipatahi,” katanya.

Dia perkirakan, konflik gajah di Sepintun, mulai sejak wilayah hidup gajah dibuka untuk konsesi perkebunan kayu, PT Alam Lestari Nusantara, anak usaha PTPN—yang mendapatkan izin HTI Menteri Kehutanan seluas 10.785 hektar pada 2009.

“Kalau dulu gak ada konflik. Ketemu gajah kalau cari jernang biasa saja. Masyarakat buka ladang nggak pernah gajah merusak, nggak pernah saling ganggu.”

Mulai 2016, konflik gajah dengan masyarakat di Sepintun meningkat. Banyak kebun di RT05, 06, 07 dan RT09 yang masuk izin konsesi Samhutani, rusak.

“Yang merusak ini Haris samo Lanang (nama kedua gajah-red) karena sudah kenal sawit. Kalau gajah liar gak berani,” kata Marhoni.

Awal Maret, warga Sepintun mendatangi BKSDA Jambi. Mereka menuntut BKSDA bertanggung jawab atas kerusakan kebun warga. “Yang datangin gajah dari Tebo ke Reki (Restorasi Ekosistem Indonesia-red) ini kan BKSDA. Jadi, BKSDA harus tanggung jawab,” katanya.

Pada 2017, BKSDA merelokasi gajah Haris dari Bukit Tigapuluh, Tebo ke Reki. Gajah jantan umur 17 tahunan itu untuk perkembangbiakan gajah betina di Reki. Selang setahun, BKSDA kembali mereloksi gajah jantan umur 30-an tahun ke Reki.

Akhir 2019, Marhoni dapat kabar kalau GPS collar di leher gajah Haris dan Lanang, putus. Beberapa bulan terakhir keduanya sulit diketahui. Marhoni juga protes, selama ini yang tahu posisi gajah lewat GPS collar justru tinggal jauh dari Sepintun, termasuk pejabat BKSDA yang banyak di Kota Jambi.

Dia bilang, warga Sepintun yang rawan konflik seharusnya dibekali alat mendeteksi gajah. Dengan begitu, warga bisa cepat menghalau saat gajah mendekati perkebunan.

“Mau buka ladang dak biso lagi, bakar (buka lahan) nggak boleh. Kebun yang tinggal nunggu panen rusak dihabiskan gajah.”

Rahmat, Kepala BKSDA Jambi menduga, gajah yang masuk perkebunan warga di Sepintun itu si Lanang. Dari keterangan warga, gajah punya satu gading.

 

Kebun sawit warga di Dusun III< Desa Sepintun, yang rusak oleh gajah. Foto: Marhoni

 

Lanang yang sedang mencari teritori menganggap Sepintun adalah bagian wilayah jelajahnya. Hasil laporan tim BKSDA Jambi, ditemukan cukup sumber air dan banyak sawit. Besar kemungkinan Lanang akan kembali ke Sepintun.

Pada 9 Maret, tim BKSDA Jambi bertemu dengan warga Sepintun membahas penanganan konflik gajah. Perwakilan PT Alam Lestari Nusantara (ALN), PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS), PT Samhutani juga ikut dalam pertemuan. Wilayah konsesi tiga perusahaan ini merupakan habitat gajah. PT Reki tak hadir.

Hasilnya, ada 10 poin kesepakatan, pertama, mengusulkan pembentukan anggota Wildlife Rescue Unit (WRU) di Sepintun, yang rawan konflik gajah. Kedua, melatih anggota WRU. Ketiga, membangun pos terpadu pemantauan gajah di RT05, 06, 07 dan 09 Desa Sepintun.

Keempat, pengadaan sarana prasarana dan radio komunikasi untuk anggota WRU. Kelima, mengusulkan biaya operasional untuk anggota WRU. Keenam, mengusulkan bantuan taliasih untuk masyarakat Sepintun yang terkena dampak konflik gajah dan satwa liar lain. Ketujuh, kerugian materil masuk dalam surat SK Gubernur Jambi. Kedelapan, pemasangan GPS collar pada Haris dan Lanang. Kesembilan, mengusulkan pemindahan gajah Haris. Kesepuluh, mengadakan rapat lanjutan penanggulangan konflik gajah di Sepintun.

Albert, anggota Forum Konservasi Gajah Indonesia menilai, perlu pemasangan pagar listrik sepanjang 15 km di wilayah perbatasan Reki dan ALN untuk membatasi gerak gajah keluar dari kawasan restorasi. Menurut dia, hal itu lebih efektif mencegah konflik kembali terjadi.

“Kalau tidak ada blokade gajah itu pasti akan kembali ke Sepintun, karena itu wilayah jelajahnya.”

Dua minggu berselang, Marhoni belum dapat kabar kapan hasil pertemuan dengan BKSDA dan perusahaan akan mulai dilakukan.

 

Gajah liar yang berkonflik dengan warga, lepas liar di Bukittigapuluh. Foto: Lili Rambe/ Mongabay Indonesia

 

 

Habitat gajah tergerus

Sekitar 1960-an, di Desa Karang Mendapo sekitar 50 kilometer dari Sepintun ditemukan lebung gajah. Awal 1980-an sejak HPH PT Pitco masuk, tak ada lagi gajah Sepintun yang sampai ke Karang Mendapo. Wilayah jelajah gajah menyempit terpotong konsesi perusahaan.

Gajah-gajah Sepintun perlahan tersingkir karena pembukaan lahan yang terus terjadi. Wilayah jelajah jadi, seperti ALN, AAS, Samhutani dan perkebunan warga. Konflik satwa rawan.

Sepanjang 2020, BKSDA Jambi sudah lima kali menerima laporan konflik satwa dengan manusia di Tanjung Jabung Barat, Tebo, Kerinci dan Desa Sepintun, Sarolangun.

Rahmat mengatakan, selama ini konflik satwa di Jambi dipicu ada tumpang tindih kepentingan manusia di habitat satwa. “Manusia dan satwa itu diciptakan bukan sebagai musuh, manusia sebagai pelindung satwa. Kalau itu dipahami, tidak akan ada konflik.”

Bambang, dari Perkumpulan Hijau pernah riset gajah di Sepintun, menyarankan, gajah di Sepintun jadi obyek wisata dan melatih warga sekitar jadi mahout (pawang).

“Saat ini (gajah) jadi wisata akan jadi pemasukan ekonomi buat masyarakat dan meminimalisir konflik satwa di Sepintun.”

Hampir semua semua kantong-kantong wilayah satwa di Jambi tergerus konsesi dan perkebunan warga. Albert menyebut, konflik di Sepintun awal dari dampak pemberian izin di habitat satwa.

Dia mendorong pemerintah mengevaluasi semua izin perkebunan kayu maupun hak guna usaha di habitat satwa, dan menyusun tata ruang baru. “Itu harus dilakukan kalau pemerintah melihat konservasi satwa itu penting.”

 

Jejak laluan gajah Seruni dan Rimba di area Chevron. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Nasib gajah di Balai Raja

Tak hanya di Jambi, di provinsi tetangganya, Riau, gajah juga alami nasib serupa. Habitat tergerus, hidup mereka terus terancam. Satu contoh kematian gajah Dita.

Satu malam, Senin 7 Oktober 2019, beberapa anggota Himpunan Pegiat Alam (Hipam) di Duri menjaga bangkai gajah betina di Kecamatan Pinggir, Bengkalis, Riau. Mereka mengenal gajah itu sebagai Dita. Tandanya, gajah itu tak punya telapak kaki kiri.

Mereka jaga agar Dita tidak dimakan binatang buas. Isi perut Dita sudah berserakan. Malam itu, mereka juga melihat kawan-kawan Dita mendekat, seperti Seruni, Rimba, Getar dan Codet.

Paginya, Tim Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau datang bawa alat berat. Dita langsung dikubur dekat kubangan lumpur tempat mamalia itu tergeletak.

Dita mati di lahan sewaan Ahong, kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja. Dia menyewa pada petani ubi. Pegiat konservasi di Duri minta Ahong melepaskan sedikit lahan untuk bikin tugu Dita. Permintaan itu disanggupi. Rencana itu belum terwujud karena terkendala biaya dan pegiat konservasi lebih banyak bekerja dari rumah selama wabah Covid-19 ini.

Rendi Simatupang, koordinator Hipam, sempat tidak percaya dengan kematian Dita. Lima hari sebelumnya, Rendi dan kawan-kawan masih bertemu Dita. Rendi mengamati kawan-kawan Dita seperti kehilangan arah, masuk pemukiman dan mendekati keramaian.

Pertama, Seruni dan Rimba hendak menyeberang Jalan Lintas Duri-Pekanbaru, persis di sebelah warung Kak Lili. Induk dan bayi gajah itu makan pisang di kebun belakang warung. Lili tidak permasalahkan kelakuan gajah waktu itu, asal dia dan warung tidak terganggu.

Perkiraan Rendi, lebih kurang dua minggu Seruni dan Rimba, keluar masuk hutan di tepi jalan lintas, namun terhalang kendaraan lalu-lalang.

Beberapa hari Rendi dan kawan-kawan mengintai dari seberang jalan supaya Seruni dan Rimba tak sampai masuk ke areal pengeboran minyak Chevron.

Kedua, di sela azan maghrib, Rendi dapat kabar dari Sekuriti Kompleks Chevron bahwa Seruni menyeberang di gate II. Beberapa jam kemudian Seruni balik arah bersama Rimba. Mereka menduga, Seruni sekadar menjemput anaknya.

Sehari sebelumnya, Seruni dan Rimba juga masuk di lapangan golf Kompleks Chevron, Duri. Pertandingan golf sempat tertunda.

 

Ladang ubi di SM Balai Raja. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Rendi, gajah-gajah itu sebenarnya lebih aman berada dalam Kompleks Chevron. Selain terhindar konflik, juga banyak pakan.

Zulhusni Syukri atau Husni, Direktur Rimba Satwa Fondation (RSF) makin cemas dengan nasib gajah di Balai Raja, pasca Dita mati. Awal mula mereka bergiat di Balai Raja, jumlah gajah terpantau lebih 20, kini tinggal empat.

Pergerakan gajah Balai Raja sampai ke SM Giam Siak Kecil (GSK). Dua kantong ini dulu saling terhubung. Belakangan, gajah Balai Raja tak bisa kembali karena terhalang parit. Gegara ini, salah satu pemicu konflik gajah dan manusia pernah menelan korban.

Saat ini, tinggal empat gajah di Balai Raja, tetapi sulit terpantau, terutama Codet. Gajah jantan tak bergading karena patah gara-gara kelahi dengan Getar di Belakang Kantor Camat Pinggir pada 2015.

Anggota Hipam hanya melihat jejak kaki, bekas lintasan dan tumpukan kotoran gajah di sekitar Hutan Talang dan Balai Raja lain yang sudah terbuka.

Heru Sutmantoro, Kepala Bidang Wilayah I KSDA Riau, mengatakan, sebenarnya ada enam gajah lagi di Balai Raja. Dua gajah tanpa nama dan sangat jarang terlihat. “Dulu juga ada Bara, tapi gajah itu mungkin sudah menetap di GSK.”

Gajah di GSK juga tidak selalu aman, terutama yang melintas di konsesi PT Arara Abadi. Beberapa kali dan tiap tahun, selalu ada gajah mati atau terjerat di konsesi itu. Bahkan, pernah jadi ladang perburuan gading.

 

Balai Raja tergerus

Hutan Talang adalah hutan alami tersisa di Balai Raja. Luas seitar 300 hektar dari 15.343,95 hektar keseluruhan Balai Raja sejak ditetapkan pada 23 Mei 2014.

Hutan Talang masih menyimpan beragam flora. Ketika saya menjelajahi bersama anggota Hipam, paling sering melihat kantong semar dan rotan. Sebagian pohon besar masih tegak kokoh dan beberapa tinggal bekas tebangan.

Selain patroli gajah, anggota Hipam beberapa kali melihat beruang madu, tapir, kucing, kera ekor panjang, siamang dan babi hutan. Kicauan burung juga masih terdengar dalam hutan adat Suku Sakai itu.

Talang, penamaan dari Caltex sebelum berganti nama PT Chevron Pacific Indonesia (Chevron). Perusahaan minyak asal Amerika itu menamai kompleks karyawan dengan nama-nama gunung di Indonesia. Selain Kompleks Talang, ada Leuser, Singgalang, Sago, Sinabung, Merapi, Kerinci, Sibayak, Seulawah, Krakatau dan Dempo.

Masyarakat Sakai lebih senang menyebut Hutan Batang Setupang atau Hutan Belobih (berlebih). Hutan Talang merupakan wilayah Sutan Botuah. Masyarakat Sakai, cari obat-obatan di sana sampai saat ini. Ritual-ritual adat mereka masih bergantung pada tanaman dari hutan.

Bagi Panglima Sakai Rhodei Aouhgeh atau Ogek, mencari kebutuhan dan keperluan di Hutan Talang tidaklah sebebas sebelum Chevron mengeruk minyak.

Di luar Hutan Talang, Balai Raja ditanami sawit, ladang ubi bahkan berdiri sejumlah pemukiman, fasilitas umum dan fasilitas sosial. Sempat hendak dibangun pabrik pengolahan ubi. Batal setelah pegiat konservasi menolak.

Pada beberapa hamparan terdapat plang pemberitahuan hutan negara oleh BBKSDA Riau. Di beberapa titik plang itu justru tergeletak begitu saja di semak-semak.

Hamzah, pemilik ladang ubi di Balai Raja tahu, tanamannya berada dalam suaka margasatwa. Ubi juga beberapa kali rusak dilalui gajah. Dia paham, bekas lintasan gajah tidak akan ditanami lagi karena pasti akan dilewati kembali. Gajah-gajah itu tidak memakan ubi. Hanya, dia pesan pada pekerja agar hati-hati bila melihat gajah ketika sedang bekerja.

 

Ladang ubi dan pohon dilindungi di Balai Raja. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Hamzah beladang ubi sejak 2013 atau sebelum Balai Raja jadi suaka margasatwa. Hamzah menyewa ladang itu dari beberapa orang, awal mula 40 hektar, kini 100 hektar.

Untuk mengurusi ladang yang kian luas itu, Hamzah mengupah pekerja tanam, panen, angkut, pengupas, penggiling dan penjemur. Pasar ubinya di Dumai, Bengkalis, Belilas bahkan di luar Riau seperti Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

Hamzah penduduk asli sana. Dia mantan narapidana kasus menebang kayu. Dia hapal pemilik lahan dengan menyebut nama, pekerjaan dan tempat tinggal masing-masing.

Heru bilang, BBKSDA Riau sudah mengusulkan evaluasi keseluruhan fungsi Balai Raja ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penyelesaian masalah ini, katanya, secara terpadu antara pemerintah pusat dan daerah. Fungsi Balai Raja akan tetap sebagai kawasan konservasi tetapi kemungkinan ada penurunan status seperti jadi taman wisata alam.

Solusi lain, saat ini BBKSDA Riau juga merancang konsep perhutanan sosial seperti kemitraan konservasi untuk merespon keterlanjuran penguasaan sebagian Balai Raja. Areal itu akan jadi hutan kembali dengan tetap memberi nilai ekonomi pada masyarakat sekitar, seperti menanam jengkol dan pete di sela-sela tanaman hutan.

 

Ilegal

Heru tidak menutup informasi, bahwa ada juga kelompok atau badan usaha tertentu menguasai Balai Raja. Mereka telah melaporkannya.

Eduward Hutapea, Kepala Balai Gakkum Wilayah Sumatera, membenarkan itu. Mereka sempat terima dua laporan badan usaha dan perorangan tanam sawit di Balai Raja.

Setelah mereka periksa dan telusuri areal itu, ternyata banyak penguasaan oleh pihak lain termasuk pemerintah daerah setempat yang buat kolam pembibitan ikan tawar. Menurut Eduward, kegiatan itu tidak cocok karena selain dalam kawasan hutan juga ketersediaan air tak cukup.

Eduward merekomendasikan, harus ada penyelesaian menyeluruh terhadap penguasaan lahan di sana supaya penegakan hukum tidak tebang pilih pada pelaku-pelaku tertentu.

Secara detail, mereka juga belum terima laporan luasan yang tak dapat dikuasai BBKSDA Riau lagi sebagai pemangku kawasan. “Pengamatan kami, lebih dari separuh Balai Raja telah dikuasai illegal.”

 

Solusinya?

BBKSDA Riau bersama Chevron juga hendak buat Pusat Pendidikan dan Konservasi Gajah Sumatera di Hutan Talang. Itu semacam sanctuary untuk menyelamatkan habitat dan gajah tersisa di Balai Raja. Dengan luas Hutan Talang tadi ditambah 200 hektar semak-semak di Balai Raja, dinilai cukup untuk melindungi gajah.

“Dari pada gajah-gajah itu keliaran ke mana-mana dan konflik dengan manusia. Di sana populasinya kecil dan tergolong gajah yang soliter atau tidak berkelompok. Konsepnya edukasi, konservasi dan ekowisata,” kata Heru.

Fokus BBKSDA Riau di Balai Raja di Hutan Talang karena masih menyimpan nilai ekologis buat gajah. Mamalia itu perlu hutan alam untuk pengobatan penyakit terutama ketika terkena jerat.

Heru beri gambaran, sanctuary nanti setidaknya memiliki kilinik satwa, kandang sosialisasi gajah-gajah jinak dan kandang perkembangbiakan nampun beberapa sarana pendukung lain.

Rancang bangun, katanya, telah dibuat dan menunggu persetujuan menteri. Setelah itu, tinggal ditandatangani Chevron. “Itu sebagai tanggungjawab moral yang mereka berikan. Sanctuary akan jadi satu-satunya di Sumatera.”

Dalam jawaban yang dikirim Manager Corporate Communication Chevron Sonitha Poernomo melalui Whatsapp, disebutkan, dalam pengalihan barang milik negara yang dikelola Chevron termasuk Hutan Talang, harus melalui koordinasi dengan SKK Migas untuk dapat persetujuan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Juga persetujuan Ditjen Kekayaan Negara di bawah Menteri Keuangan.

 

Bibit pohon dari BKSDA yang akan disebar di Hutan talang, Balai Raja. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Chevron akan mengikuti keputusan dan arahan Pemerintah Indonesia sebagai pemilik aset-aset hulu migas nasional. Mengingat, Chevron merupakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Pemerintah Indonesia di Blok Rokan, yang mengelola barang milik negara untuk mendukung kegiatan hulu Migas Nasional. Chevron juga bekerja di bawah pengawasan dan pengendalian SKK Migas.

Sembari menunggu proyek itu terlaksana, BBKSDA Riau menyebar garam pada bebera titik di Hutan Talang dan pengkayaan pakan gajah. Mineral itu untuk memancing gajah supaya bertahan di sana sebagai tempat berlindung.

Pegiat konservasi di Duri juga rutin tanam pohon sembari patroli gajah. Sejumlah bibit pohon telah ditempatkan BBKSDA Riau di sekitar Hutan Talang.

Febri Anggriawan Widodo, Research and Monitoring (Tiger and Elephant) Modular Leader WWF Indonesia Program Sumatera, Balai Raja adalah kantong populasi kecil bagi gajah di Riau. Dia sangat bergantung terhadap konektivitas dengan kantong lain seperti, GSK dan Tahura-Petapahan.

Kualitas habitat Balai Raja kian menyusut, luas tutupan vegetasi berkurang, okupasi manusia tinggi hingga populasi gajah makin terdesak. Selain itu, gangguan lain juga tinggi, seperti aktivitas pembangunan, produksi minyak di sekitar dan perkotaan yang berpotensi menimbulkan konflik.

Meski Balai Raja Suaka margasatwa, sekeliling penuh pemukiman. Febri beri solusi pengaturan spasial. Pemilik kebun harus menyediakan koridor gajah dan kurangi aktivitas manusia di tempat-tempat gajah. Untuk wilayah pemukiman, masyarakat harus mengurangi tanaman-tanaman yang bisa mendatangkan gajah dan hindari aktivitas pada malam hari.

Di samping itu, perlu pelibatan pemerintah daerah dan masyarakat yang menguasai tanah di sekitar Balai Raja, termasuk penegakan hukum atas perambahan dan alih fungsi habitat gajah.

Sembari itu, Balai Raja harus diperkaya pakan gajah, penambahan mineral dengan vegetasi tinggi tempat berlindung gajah yang bisa buat mereka menetap di sana.

“Sejauh ini, tempat alami yang tersisa adalah Hutan Talang dan beberapa tempat di sepadan sungai,” kata Febri.

Dia menilai, sanctuary juga solusi positif untuk selamatkan populasi gajah. Namun, katanya, harus dipertimbangankan dengan pengelolaan berkelanjutan karena, biaya cukup tinggi. Dukungan berbagai pihak, legalitas, promosi keterlibatan semua orang harus dikemas baik dan seizin otoritas.

Seingat Febri, terakhir kali membahas solusi itu masih seputar pemilihan lokasi, aspek manajerial dan teknis bangunan. Harapannya, tetap menjaga keaslian hutan sebagai sumber vegetasi. Pengembang memperhatikan kawasan terbuka untuk dibangun dan tidak bermasalah dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), seperti sempadan sungai yang harus ada jarak.

Febri usul, memanfaatkan bangunan dan infrastruktur yang ada sekarang, misal, memaksimalkan kembali perumahan Chevron dekat Hutan Talang yang tak digunakan. Menurut Febri, itu dapat mereduksi gangguan habitat kelak.

Gambaran Febri, sanctuary kurang lebih menyediakan pusat satwa, penggembalaan, pusat medis, rehabilitasi serta infrastruktur pendukung perumahan untuk edukasi, seperti jalan, penerangan, akses listrik, air serta tempat penyimpanan pakan. Beberapa tempat rawan atau tempat rehabilitasi akan dibatasi pagar, supaya gajah tidak perlu dirantai.

Namun, kata Febri, solusi cepat harus dibuat adalah peningkatan kulitas habitat dan penambahan individu atau memindahkan alami maupun intervensi. Istilah lainnya, suplementasi dan translokasi.

Cara alami bisa dengan memelihara koridor ke GSK supaya gajah dapat menyeberang. Sedangkan cara intervensi, mendatangkan gajah seperti evakuasi gajah terluka di Balai Raja.

“Bicara metapopulasi, walau populasi besar tapi keragaman genetik tidak tinggi akan rentan kepunahan lokal. Suplementasi dan translokasi adalah solusinya,” katanya, seraya bilang, gajah Balai Raja masih memungkinkan untuk reproduksi karena ada jantan dan betina.

 

Keterangan foto utama:  Pondok warga yang rusak oleh gajah di Sepintun. Foto: Marhoni

Exit mobile version