Mongabay.co.id

Buku Faizi Ulas Cara Makan Bisa Merusak Bumi

Cara makan, penyajian makanan sampai kemasan yang dipakai untuk makanan dan minuman, berdampak terhadap bumi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Ma’ lako a buteran ba’an cong, jeria buterah nangis.”

“Kaemmah ma’ sobung, ma’ ta’ e keding?”

“Iye tak e keding jeria, jeria aslina nangis”

“Arapa ma’ nangis?”

(Kok makannya nasi jatuh-jatuh begitu. Itu nasinya nangis.” “Mana nangisnya, tak kedengaran.” “Iya, tak kedengaran, itu aslinya nangis.” “Mengapa kok nangis?” )

“Mbah tidak jawab, pokoknya nangis,” kata M Faizi mengenang masa kecil kala si mbah menegurnya ketika makan nasi berjatuhan dari piring. Kini, kiai pengasuh Pesantren An-Nuqayah Daerah Sabajarin (Al-Furqan) di Sumenep, Madura ini mengerti, dan menyadari maksud mbahnya soal butiran nasi menangis itu.

 

M Faizi, pengasuh Pesantren An-Nuqayah Daerah Sabajarin (Al-Furqan) di Sumenep, Madura, merilis buku baru berjudul “Merusak Bumi dari Meja Makan.” Foto: Facebook M Faizi

 

Butiran nasi itu menangis karena setelah melakukan “perjalanan” panjang harus berakhir dengan sia-sia. Sebelum jadi nasi, ia masih benih, lalu ditanam, disemai, giling, jadi gabah, angkut ke truk, masuk gudang, lalu didistibusikan ke toko-toko atau rumah-rumah. Kemudian, dicuci, dimasak, dan tersaji di piring, tetapi berakhir hanya dibuang ke tempat sampah.

Semua proses panjang sebutir padi hingga menjadi nasi seolah tak berarti. Faizi bilang, itu tidak adil karena ada yang masuk perut dan sebagian ke tempat sampah.

Food and Agriculture Organization (FAO) atau Badan Pangan PBB menyebutkan, Indonesia hasilkan sekitar 13 juta ton sampah makanan setiap tahun. Ia berasal dari restoran, katering, dan ritel.

Baca juga: Cerita Pondok Pesantren Anti Sampah Plastik di Sumenep

Berawal dari kekhawatiran terhadap sampah makanan dan penggunaan wadah atau alat untuk makan minum inilah, Faizi membuat buku dengan judul “Merusak Bumi dari Meja Makan.”

Bertempat di Cafee Kancakona, Februari lalu, dia meluncurkan buku setebal 140 halaman ini. Buku ini membahas tentang berbagai ironi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kengawuran manusia dalam menjalani hidup, mulai dari hal-hal kecil seperti tak menghabiskan makan, sampah-sampah makanan, termasuk wadah dan peralatan makan plastik sekali pakai buat makanan maupun minuman.

“Mereka [orang-orang makan jadi sampah] itu berpendidikan, ulin nuha, ulil albab, ulil absar, tapi kalau sudah ngawur bal hum adhal. Adhal, lebih daripada binantang,” katanya.

Pada dasarnya, buku itu membahas tentang sesuatu yang sangat erat dengan manusia, yaitu makanan. Baginya, sampah makanan merupakan sampah yang direncanakan.

Dia miris, sampah makanan banyak di tengah satu dari tujuh orang di bumi ini mengalami kelaparan. “Kita tidak pernah kelaparan, tidak pernah kekurangan, jadi tidak merasa ada ironi seperti itu. Kita punya duit, hingga merasa semua berjalan aman-aman saja.”

“Kalau punya duit terangsang untuk ngawur. Makanya, yang tak pate punya pesse, (tidak begitu punya uang-red) alhamdulillah. Ngawurnya lebih sedikit daripada orang yang punya duit.”

Belum lagi beragam wadah plastik sebagai kemasan makanan dan minuman. Dari piring plastik, gelas kemasan, styrofoam, sampai sedotan, merupakan wadah yang membahayakan bumi.

Merujuk kepada kitab-kitab turast (kitab kuning), orang-orang suci sangat serius dalam urusan makanan dengan berbagai alasan. Saat itu juga, Faizi mengeluarkan beberapa kitab dari tasnya, antara lain, Sirojut Thalibin, Muroqil Ubudiyah, dan Risalatul Mu’awanah.

Faizi mengutip pernyataan Imam Abu Hanif al-Anshari dalam kitab Sirojut Thalibin juz dua. “Dia mengatakan begini, ‘Ana ‘aqilun, ana usholli,’ saya makan padenah ben reng abhajeng (saat saya makan sama seperti saat saya sholat).”

 

“Merusak Bumi dari Meja Makan” karya M Faizi. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Syekh al-Mu’minin al-Haddad dalam kitab Risalatul Mu’awanah menjelaskan, dari nasi jadi darah, daging, lalu tubuh untuk ibadah.“Jadi kalau dari awal sudah tidak beres, ya tidak beres seterusnya.”

Dulu, kata Faizi, mbahnya marah kalau makan tak pakai songkok (kopiah). Makanan, katanya, rezeki dari Tuhan, hingga harus dihormati. Menghormati rezeki, katanya, sebagai bentuk syukur.

Ada juga dalam Kitab al-Adzkarun Nawawi, doa-doa, karangan Imam Nawawi itu, banyak sekali berhubungan dengan makan. “Kalau tak salah itu ada 12. Itu doa makan, doa ketika berterima kasih kepada orang yang memberi makan, doa kepada orang yang memberi minuman dan lain-lain.”

Begitu banyak doa soal makan, katanya, menunjukkan, masalah makan bukan main-main, sangat serius. “Makanan ini energi bagi tubuh untuk ibadah.”

Dia juga menyoroti perilaku konsumtif masyarakat pada bulan puasa, dengan pernyataan menarik. “Melihat rapor bulan Ramadan di bulan Syawal. Orang makin jarang makan, tetapi konsumerisme makin tinggi. Coba lihat!”

 

Animal plasticum

Menurut Faizi, sekarang manusia susah terlepas dari plastik. Dia mengistilahkan dalam bukunya dengan animal plasticum. Berbagai keperluan sehari-hari menggunakan plastik tanpa menyadari kalau itu menyakiti bumi.

Dia mengutip penelitian LIPI terhadap air. Dalam penelitian itu ditemukan unsur plastik dalam air. Dia tidak percaya kalau ada plastik hancur dengan sendirinya. Plastik itu “hanya” tidak kelihatan.

Bagi Faizi, agar kampanye tidak hanya melalui buku, di tempatnya telah mulai gerakan-gerakan mengurangi sampah plastik. “Ada gerakan yang disebut KTSP, Kegiatan Tanpa Sampah Plastik. Itu sudah berjalan.”

Dia mencontohkan, ketika ada kegiatan di Aula Asy-Syarqawi An-Nuqayah, beberapa waktu lalu, menggunakan konsep tersebut, tidak pakai suguhan plastik, menyuguhkan makanan-makanan lokal, menyediakan air pakai galon, hingga masuk bersih dan keluar bersih dari aula.

Faizi menyadari, langkah ini untuk mengendalikan sampah, belum tentu lepas sepenuhnya dari plastik.

Ada kutipan dalam buku Faizi di bagian Animal Plasticum, sepintas lucu tetapi memberi pesan jelas.

“Adakah yang lebih abadi daripada cinta Majnun kepada Laila? Ada, di antaranya adalah kotak styrofoam, bungkus nasi Majnun dan Laila, milenial. Bungkus makan siang mereka, akan tetap ada di atas tanah saat mereka berdua sudah terkubur di baliknya.”

 

 

Keterangan foto utama: Cara makan, penyajian makanan sampai kemasan yang dipakai untuk makanan dan minuman, berdampak terhadap bumi. Itulah antara lain yang dibahas dalam buku M Faizi, Mrusak Bumi dari Meja Makan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

M Faizi (memegang alat musik berkopiah hitam), saat main musik setelah peluncuran buku. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version