Mongabay.co.id

Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19

 

Peringatan Hari Nelayan secara nasional yang jatuh pada Senin (6/4/2020), menjadi momen yang menggetarkan bagi seluruh masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional dan skala kecil. Hari Nelayan yang seharusnya menjadi hari penuh makna dengan kebahagiaan, harus diperingati nelayan dengan suasana prihatin di tengah wabah COVID-19.

Selain karena para nelayan merasakan dampak negatif dari penyebaran virus tersebut yang mengakibatkan pendapatan harian menjadi turun dratis, di saat yang sama juga nelayan harus menerima kenyataan bahwa rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law sudah ditetapkan sebagai bagian dari program legislasi nasional (Prolegnas) 2020.

Penetapan RUU tersebut dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada rapat paripurna kedua dalam masa persidangan III tahun 2019-2020 yang dilaksanakan pada Kamis (2/4/2020). Pada kesempatan tersebut, DPR RI membacakan Surat Presiden RI (Surpres) tentang RUU Omnibus Law.

baca : Dampak COVID-19, Harga Ikan Tangkapan Nelayan Turun Drastis

 

Penjual ikan melakukan transaksi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Dampak yang ditimbulkan dari wabah virus COVID-19 ini yaitu harga ikan turun drastis. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, pembahasan RUU tersebut dinilai tidak tepat di saat masyarakat Indonesia sedang menghadapi ancaman wabah COVID-19. Bagi KIARA, tidak ada langkah yang lebih tepat untuk saat ini, selain melaksanakan penyusunan untuk menanganai penyebaran virus tersebut.

“DPR RI dan Pemerintah Indonesia malah menjadikan situasi saat ini sebagai kesempatan untuk membahas RUU Omnibus Law, yang jelas-jelas akan merugikan masyarakat, khususnya keluarga nelayan di Indonesia,” ungkapnya di Jakarta, Senin (6/4/2020).

Jika DPR RI dan Pemerintah Indonesia tetap memaksakan pembahasan RUU Omnibus Law, maka itu akan menambah ancaman bagi para nelayan, pelaku usaha perikanan skala kecil, dan masyarakat pesisir yang hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ancaman itu muncul, karena RUU tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan kelompok tersebut sebagai bagian yang penting.

Dengan kata lain, Susan mengatakan, pembahasan RUU Omnibus Law dengan nyata akan mengancam sedikitnya 2,2 juta nelayan dan 6 juta pelaku usaha perikanan skala kecil yang tersebar di seluruh Indonesia. Tanpa mempertimbangkan kepentingan mereka, keberlangsungan hidup dan usaha mereka akan terancam hilang seketika.

baca juga : DPR Lanjut Omnibus Law, Mestinya Fokus Tangani Corona dan Cegah Krisis Pangan

 

Saat cuaca buruk awal Maret 2020, sebagian nelayan di Tuban, Jatim, memilih untuk memperbaiki kapal maupun alat tangkap mencari ikan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman

Dalam RUU tersebut, ada tujuh ancaman yang harus dihadapi masyarakat pesisir, nelayan, dan juga pelaku usaha perikanan skala kecil. Ketujuh ancaman itu, di antaranya adalah:

  1. Menyamakan nelayan skala kecil dan nelayan tradisional dengan nelayan skala besar. Dengan status tersebut, maka nelayan kecil dan tradisional yang menggunakan perahu berukuran di bawah 10 gros ton (GT), dipaksa untuk mengurus perizinan perikanan. Kondisi tersebut akan semakin menyulitkan kehidupan nelayan skala kecil dan tradisional di seluruh provinsi. Mengingat, kewajiban perizinan sebelumnya hanya diberlakukan kepada nelayan skala besar yang mengoperasikan kapal ikan berukuran di atas 10 GT;
  2. Adanya kemudahan izin yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada kapal-kapal asing untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia, khususnya di kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Kebijakan tersebut diperkirakan akan menghancurkan kehidupan nelayan tradisional dan skala kecil, karena kapal mereka harus bersaing dengan kapal-kapal asing yang berukuran besar yang dibekali teknologi canggih;
  3. Mendorong ekspansi pembangunan pelabuhan skala besar di kawasan pesisir Indonesia. Kebijakan ini akan memicu alih fungsi kawasan di pesisir dari pusat permukiman menjadi pelabuhan. Dengan kata lain, kehidupan nelayan dirampas dengan legal atas nama pembangunan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi;
  4. Mendorong perluasan kawasan konservasi laut di Indonesia yang pada 2019 sudah tercapai luasan hingga 20 juta hektare. Kebijakan ini, akan memaksa Pemerintah untuk terus melaksanakan kegiatan perluasan proyek konservasi laut hingga seluas 32 juta ha pada 2030. Di sisi lain, kebijakan ini juga dinilai tidak akan bisa menjawab kebutuhan nelayan, karena sifat dari proyek tersebut adalah hanya dari atas ke bawah dan bukan sebaliknya;
  5. Mendorong pelaksanaan impor ikan dan garam ke Indonesia dilakukan tanpa batas oleh Pemerintah Indonesia. Saat kebijakan ini diterapkan, maka itu akan mendorong terciptanya liberalisasi sektor perikanan di Indonesia dan akan semakin mempersulit kehidupan nelayan serta pelaku usaha perikanan skala kecil;
  6. Mewajibkan nelayan untuk memperoleh izin pengelolaan dalam rangka melakukan pemanfaatan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan. Kebijakan ini menegaskan bahwa nelayan skala kecil dan tradisional dianggap sama dengan entitas bisnis besar yang melakukan aktivitas bisnis di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
  7. Menguatkan posisi tata ruang laut, sebagaimana diatur dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang tidak menempatkan nelayan sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kebijakan ini tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan ekosistem laut, serta hanya memberikan kepastian hukum untuk investor.

perlu dibaca : Indikasi Kemunduran Tata Kelola Kelautan dan Perikanan Mulai Terlihat

 

Nelayan dari Flores Timur memancing ikan tuna dan cakalang menggunakan huhate di perairan Laut Flores dan Laut Sawu. Foto : Fitrianjayani/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Perlindungan

Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan tersebut, Susan Herawati mendesak kepada Pemerintah Indonesia dan DPR RI untuk segera mencabut RUU Omnibus Law, karena dinilai hanya akan memperparah kehidupan nelayan di Indonesia. Menurutnya, Pemerintah harusnya fokus untuk menjalankan amanat UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam.

“Yang dibutuhkan oleh nelayan adalah laut yang sehat dan bersih, bukan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. DPR RI dan Pemerintah harus segera mencabut RUU tersebut dan fokus melakukan penanganan terhadap penyebaran COVID-19,” tegas dia.

Ancaman bagi kehidupan nelayan tersebut, menjadi hal yang bertentangan dengan program perbaikan data produksi perikanan yang sedang dilaksankaan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk mencapai perbaikan, dibutuhkan peran yang signifikan dari nelayan skala kecil dan tradisional yang memang mendominasi usaha perikanan di Indonesia.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar pada 2019 pernah mengatakan bahwa upaya untuk melaksanakan perbaikan data harus dilakukan untuk menciptakan industri perikanan menjadi lebih baik lagi. Dalam melaksanakan proses tersebut, KKP bekerja sama dengan Organisasi Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

FAO menilai, karakteristik nelayan tradisional yang sebagian besar nelayan kecil di Indonesia masih setia menggunakan sistem pencataan hasil tangkapan ikan yang belum optimal. Metode tersebut dinilai harus diperbarui dan diperbaiki untuk kebaikan mereka dalam bersaing dengan nelayan modern.

baca juga : Pentingnya Peran Nelayan Menjaga Kedaulatan di Perbatasan

 

Nelayan di pantai selatan Lebau, Flores. Foto: Burung Indonesia/Erlangga

 

National Project Officer Program Enabling Transboundary Cooperation for Sustainable Management of the lndonesian Seas (ISLME) FAO Muh Lukman mengatakan, Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki peran dan posisi strategis dalam perikanan dunia. Peran besar tersebut, harus didukung dengan ketersediaan data perikanan yang sama baiknya.

“Indonesia perlu mendapat dukungan dalam perbaikan data perikanan, dan FAO berkomitmen untuk mendukung pengelolaan perikanan Indonesia berbasis wilayah pengelolaan perikanan,” ungkapnya.

Oleh itu, FAO berharap bisa berkontribusi pada peningkatan kualitas data perikanan tangkap di seluruh Indonesia. Dengan demikian, rencana pengelolaan perikakan pada akhirnya bisa disusun berdasarkan data, informasi, dan analisis yang akurat.

“Data yang akurat akan menjadi pijakan dalam pengelolaan perikanan skala kecil di Indonesia yang sejauh ini telah mengalami banyak perbaikan,” ungkapnya.

 

Exit mobile version