Mongabay.co.id

Pantau 27 Perusahaan Kayu di Lima Provinsi, Ini Hasil Temuan Jurnal Celebes

Pada tahun 2018-2019 lalu, Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan (Jurnal Celebes) melakukan pemantauan peredaran kayu pada industri pengelolaan hasil hutan kayu di lima provinsi, yaitu Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur.

Selama sembilan bulan, pemantauan dilakukan terhadap 27 perusahaan atau unit usaha industri pengelolaan dan pengolahan hasil hutan kayu, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hasil pemantauan menemukan bahwa berbagai pelanggaran hampir dilakukan semua perusahaan, baik pelanggaran kecil yang bersifat teknis hingga pelanggaran prinsipil regulasi.

Di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara, terdapat pemegang sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari menyimpang dari tata batas wilayah konsesi sehingga berkonflik dengan masyarakat lokal/masyarakat adat.

“Perusahaan dalam hal ini tidak melakukan sosialisasi secara transparan pada masyarakat,” ungkap Mustam Arief, Direktur Jurnal Celebes, di Makassar, Sabtu (4/4/2020).

baca : Koalisi: Perusahaan Kayu Pemegang SVLK Masih Banyak yang Langgar Aturan

 

Jurnal Celebes memantau selama sembilan bulan terhadap 27 perusahaan di lima provinsi menemukan bahwa berbagai pelanggaran hampir dilakukan semua perusahaan, baik pelanggaran kecil yang bersifat teknis hingga pelanggaran prinsipil serius regulasi. Foto: Jurnal Celebes/Mongabay Indonesia.

 

Selain itu, pemantau juga menemukan penebangan kayu di luar wilayah konsesi. Penebangan kayu juga dilaksanakan sampai di batas sungai yang sebenarnya dilindungi dengan aturan untuk menghindari kerusakan lingkungan.

Di Maluku Utara, terdapat perusahaan diduga menyalahgunakan dokumen angkut. Dalam Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) dan dokumen Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) perusahaan itu hanya mengangkut kayu rimba campuran ke Sulawesi Selatan. Tetapi, pemantau di lapangan menemukan ada Kayu Merbau (Fabaceae leguminosae) di antara tumpukan kayu-kayu rimba campuran di tempat penampungan (logpond) yang ada di Babang, Pulau Bacan.

Praktik seperti ini dinilai melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.P43/2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam yaitu mengenai dokumen pengangkutan kayu Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).

“Ini merupakan tindakan manipulasi pembayaran retribusi karena retribusi kayu campuran jauh lebih murah di bawah Kayu Merbau,” jelas Mustam.

Hal krusial adalah hampir semua perusahaan yang dipantau mengabaikan pengelolaan lingkungan. Bahkan ada perusahaan yang diduga tidak memiliki dokumen Amdal, karena pemantau tidak mendapatkan dokumen pengelolaan lingkungan itu di instansi berwenang.

Menurut Mustam, rata-rata perusahaan juga tidak patuh pada laporan berkala pengelolaan lingkungan hidup RKL-RPL. Terdapat perusahaan yang tidak melaporkan pengelolaan lingkungan hingga dua tahun ke belakang.

“Ketidakpatuhan ini juga karena pemerintah daerah dalam hal ini dinas-dinas lingkungan hidup mempunyai kinerja yang minim dalam pengawasan,” tambahnya.

baca juga : Sudah 384 Kontainer Kayu Merbau Ilegal Asal Papua Diamankan, Bagaimana Hukuman Pelaku?

 

Hanya dalam beberapa bulan yakni Desember 2018 hingga sekitar April 2019, operasi gabungan yang dikoordinir Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengamankan 422 kontainer kayu ilegal. Foto: Jurnal Celebes/Mongabay Indonesia.

 

Hasil lainnya adalah lemahnya sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Pemerintah daerah yang punya kewenangan terkait SVLK terkesan menganggap masalah SVLK adalah urusan pemerintah pusat.

Pada bagian lain, laporan ini juga menjelaskan bahwa selama pemantauan tercatat 422 kontainer kayu ilegal disita aparat keamanan yang diangkut ke Surabaya dan Makassar.

Kayu terbaik ini umumnya berasal hutan Papua dan beberapa daerah lain di Indonesia Timur.

“Ini adalah bukti bahwa praktik perdagangan kayu ilegal masih masif. Para pelaku kejahatan kayu ilegal ini telah diproses hukum di Surabaya dan Makassar. Namun pemantau menemukan ada indikasi putusan hukuman yang diterima masih ringan dan kurang transparan,” jelas Mustam.

Di Makassar ditemukan banyak industri kayu yang ditutup karena kekurangan bahan baku. Ada yang beroperasi sesuai tersedianya bahan baku. Namun di Jawa Timur ada indikasi sebagian industri memonopoli distribusi kayu meski lewat mekanisme ilegal untuk bisa memenuhi kebutuhan bahan baku yang terbatas.

Dalam pelaksanaan pemantauan ini, kendala yang dihadapi adalah sulitnya akses informasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta badan-badannya sendiri telah menyediakan informasi terkait SVLK secara online. Tetapi, sistem informasi online ini kemudian tidak diberi akses, terutama pemantau independen.

“Kalau pemantau membutuhkan data, harus melalui mekanisme yang butuh waktu lama. Selain itu, tidak semua lembaga sertifikasi menampilkan pengumuman hasil audit dan dokumentasi sertifikat yang diterbitkan.”

Sulitnya akses informasi juga dialami pemantau di level pemerintah daerah. Hampir semua kantor terkait dengan SVLK, selain tidak memiliki data, dan kinerja layanan informasi yang sangat rendah.

perlu dibaca : Aturan Ekspor Kayu Tanpa Verifikasi Legal Ancam Tata Kelola Hutan

 

Sebuah perusahaan di Maluku Utara diduga menyalahgunakan dokumen angkut. Dalam SIPUHH dan RPBBI perusahaan itu hanya mengangkut kayu rimba campuran ke Sulsel, faktanya terdapat Kayu Merbau di antara tumpukan kayu-kayu rimba campuran di tempat penampungan (logpond) yang ada di Babang, Pulau Bacan. Foto: Jurnal Celebes/Mongabay Indonesia.

 

Rekomendasi

Terkait berbagai temuan ini, Jurnal Celebes menyampaikan sejumlah rekomendasi. Terkait penegakan hukum, pemerintah dan pemangku kepentingan diharapkan serius mendorong peran sinergis dalam mengawasi implementasi SVLK, mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari tempat asal kayu sampai ke industri dan pemasaran keluar negeri.

Selain itu, diharapkan adanya pemberian sanksi yang tegas bagi semua pelaku kejahatan kayu ilegal, termasuk keterlibatan oknum aparat keamanan, mulai dari lokasi penebangan, proses pengangkutan, industri pengolahan, dan pemasaran ekspor.

Rekomendasi lainnya adalah agar pemerintah dan para pemangku kepentingan harus kembali melakukan review regulasi-regulasi terkait SVLK dan meningkatkan pengawasan bersama di lapangan untuk mengurangi dampak seperti kerusakan lingkungan hidup, konflik tenurial dengan masyarakat lokal/masyarakat adat.

Pemerintah dan para pemangku kepentingan juga dinilai perlu mendorong pengawasan ketat terhadap pemberian izin industri di bidang kehutanan. Dalam hal ini pemerintah diharapkan menciptakan sistem atau mekanisme yang bisa berdampak langsung pada pencegahan praktik korupsi di bidang perizinan, dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan organisasi masyarakat sipil.

Pemerintah juga diharapkan membangun sistem pengawasan berbasis teknologi informasi yang bisa mengawal proses lacak balak distribusi kayu mulai dari hulu sampai hilir. Dari lokasi tebangan kayu, industri pengolahan, dan proses ekspor.

Terkait SLVK, Jurnal Celebes merekomendasikan agar pemerintah dan Komite Akreditasi Nasional (KAN) perlu mendorong perbaikan instrumen penilaian dari lembaga-lembaga verifikasi legalitas kayu agar menerbitkan sertifikat legalitas kayu kepada perusahaan yang benar-benar memenuhi kelayakan.

Pemerintah juga diharapkan meningkatkan status SVLK dan sertifikat legalitas kayu yang terintegrasi dengan perizinan. Dengan demikian, ketika SLK sebuah perusahaan dibekukan atau dicabut, akan berdampak pada proses produksi secara keseluruhan.

“Kita juga merekomendasikan pemerintah pusat meningkatkan sinkronisasi dengan kewenangan pemerintah daerah serta mendorong kolaborasi parapihak dalam implementasi SVLK untuk akselerasi tata kelola kehutanan yang lebih baik,” kata Mustam.

baca juga : Pengusaha Hutan Diversifikasi Produk Tak Hanya Kayu

 

Ilustrasi. Kayu gelam ukuran besar dari hutan Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Diameter mencapai 15 centimeter. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah juga diharapkan memberikan penghargaan (reward) kepada industri di bidang kehutanan yang memiliki kinerja baik dalam implementasi SVLK.

Reward tidak sekadar tanda penghargaan, tetapi bisa berdampak pada nilai tambah pemasaran produk,” lanjutnya.

Dalam hal pemantauan independen, pemerintah perlu mempertimbangkan pembiayaan sebagai bagian dari sistem/SVLK yang punya kedudukan yang sama dengan komponen-komponen lain.

“Selama ini pemantau independen dalam menjalankan fungsinya masih dengan dukungan biaya dari lembaga donor dan swadaya,” kata Mustam.

Terkait akses informasi, KLHK dan badan-badan terkait sebagai otoritas pengelola data/informasi SVLK, perlu memberi akses informasi dan data kepada pemantau independen, sebagai bagian dari sistem SVLK dan representasi masyarakat sipil. Data dan informasi dapat diakses dengan cepat dan efektif.

Rekomendasi lainnya terkait rasionalisasi izin, dimana Pemerintah diharapkan melakukan review terhadap jumlah izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu terutama industri hilir, agar pemberian izin mempertimbangkan potensi bahan baku, terutama bersumber dari hutan alam.

“Hal untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan hasil hutan kayu yang sehat. Bila jumlah industri tidak berimbang dengan potensi bahan baku, akan terjadi ketimpangan, persaingan tidak sehat, memicu praktik-praktik illegal,” tambah Mustam.

 

Exit mobile version