Mongabay.co.id

Isu Laut dalam Konvensi Perubahan Iklim dan Kesiapan Indonesia

Baru-baru ini, Indonesia mematangkan bahan submisi untuk disampaikan kepada UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) terkait isu laut yang mulai bergulir sejak pelaksanaan COP 25 (Blue COP) di Madrid, Spanyol tahun 2018. Dalam keputusannya, pihak Indonesia meminta kepada pimpinan SBSTA (the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) untuk melakukan dialog tentang laut dan perubahan iklim pada pertemuan ke 52 yang sedianya akan berlangsung pada bulan Juni 2020 mendatang.

Untuk memfasilitasi dialog tersebut, UNFCCC meminta kepada para pemangku kepentingan (negara, organisasi, forum dan sebagainya) untuk menyampaikan submisi terkait isu yang akan dibahas dalam dialog yang akan diselenggarakan selama sidang SBSTA.

Dalam submisinya, Indonesia menekankan pentingnya pertukaran informasi, pengalaman dan praktek-praktek yang dapat diimplementasikan dengan baik untuk kepentingan resiliensi pada masyarakat pesisir sebagai kelompok masyarakat yang paling terkena dampak perubahan iklim.

Selain itu, Indonesia juga menganggap pentingnya meningkatkan aksi-aksi yang berbasis pada ekosistem yang diintegrasikan pada pengelolaan laut dan pesisir.

Memproteksi dan merehabilitasi ekosistem laut yang rentan terhadap perubahan iklim, merupakan salah satu poin yang disampaikan pada submisi tersebut, termasuk bagaimana kerjasama dan penemuan-penemuan ilmiah dari kegiatan riset dan observasi dapat didiskusikan terutama untuk membantu negara-negara yang memiliki kapasitas terbatas baik dari sisi teknis dan sumberdaya. Submisi tersebut belum menekankan upaya mitigasi yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim.

Baca : Makin Diperhatikannya Isu Laut untuk Penanganan Perubahan Iklim

 

Petani makin terdesak karena lahan budidaya dan mengeringkan makin sedikit dan perubahan iklim. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sebagai panel saintifik yang dijadikan acuan oleh UNFCCC, bulan September 2019 IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) meluncurkan laporan khusus tentang laut dan kriosfer dalam Perubahan Iklim yang menyoroti pemanasan global terhadap ekosistem laut, pesisir, kutub dan gunung, dan komunitas manusia.

Laporan tersebut menyoroti pentingnya memprioritaskan tindakan yang sesuai dan pada waktu yang tepat, terkoordinasi dan ambisius untuk mengatasi perubahan yang terjadi secara luas dan dapat terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama.

Ditekankan pula pentingnya memberdayakan masyarakat, komunitas, dan pemerintah untuk menangani perubahan-perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya di semua aspek masyarakat. Menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pengetahuan lokal dan tradisional, menjadi kunci penting dalam memberikan bukti-bukti nyata terhadap kejadian perubahan iklim.

Laut sendiri, memegang dua peranan dalam sistem perubahan iklim, yaitu laut sebagai bagian yang terkena dampak dan laut sebagai sumber terjadinya perubahan iklim. Namun, dalam laporan IPCC laut dinyatakan sebagai objek yang terdampak oleh akibat adanya perubahan iklim. Bukan sebagai sumber penyebab terjadinya perubahan iklim.

Sebagai negara dengan lautan yang luas, Indonesia tentunya akan menjalani dua peran tersebut. Apakah betul laut Indonesia terkena dampak dari perubahan iklim? Dan seberapa besar peranan laut Indonesia sebagai sumber terjadinya perubahan iklim?

Dalam konteks perubahan iklim, sering disebut bahwa perubahan iklim menyebabkan terjadinya pencairan es dan kemudian terjadi kenaikan tinggi muka air laut karena pencairan es tersebut. Untuk negara-negara yang berada di lintang menengah dan lintang tinggi, hal ini tentu saja akan sangat terasa. Karena selain memiliki empat musim, fluktuasi suhu di negara-negara ini juga cukup tinggi sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akan sangat terasa.

baca juga : Indonesia Tekankan Tiga Isu Kelautan pada Sidang Umum PBB

 

Permukaan air laut, terus meningkat akibat mencairnya es di berbagai belahan dunia dan pemanasan global yang berkelanjutan. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Lalu apakah isu kenaikan tinggi muka air laut akan sampai di Indonesia?

Dari pola sirkulasi laut yang saling terkoneksi satu sama lain (the great conveyor belt) dan perjalanannya yang akan memakan waktu ratusan tahun untuk sampai ke Indonesia, sepertinya isu kenaikan tinggi muka laut karena pencairan es bukan menjadi isu utama yang perlu diperhatikan.

Isu itu menjadi membingungkan ketika kemudian kita dihadapkan pada situasi dimana, seperti contoh klasik yang terjadi di pesisir utara Jawa, kenaikan tinggi muka air laut lebih banyak dipengaruhi oleh turunnya muka air tanah (land subsidence).

Kemungkinan lain kenaikan tinggi muka air laut, dapat disebabkan oleh adanya thermal expansion yang disebabkan oleh menghangatnya suhu air laut. Tetapi masih perlu dilakukan banyak kajian terkait seberapa besar pengaruh thermal expansion ini terhadap kenaikan tinggi muka air laut di Indonesia, mengingat fluktuasi suhu muka laut Indonesia tidak besar.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah adanya gelombang ekstrim akibat adanya siklon tropis. Walaupun siklon tropis tidak terjadi di wilayah ekuator, namun siklon tropis diyakini dapat memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung kepada Indonesia.

Dampak secara langsung dari siklon tropis adalah penjalaran alun dari sumber siklon yang dapat meningkatkan intensitas gelombang di perairan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, Samudera Pasifik, Laut Cina Selatan, dan Perairan Australia.

Upaya-upaya adaptasi perubahan iklim sudah banyak dilakukan di Indonesia, terutama terkait dengan resiliensi masyarakat pesisir seperti nelayan, wisata bahari dan penggunaan solusi hybrid untuk perlindungan pantai. Upaya mitigasi, terutama apabila dikaitkan dengan pengertian bahwa mitigasi adalah aksi pengurangan emisi, masih berjalan lambat dan belum sepenuhnya diimplementasikan.

Perlu dibaca : Indonesia Kembali Serukan Blue Carbon Untuk Penanganan Perubahan Iklim

 

Hutan mangrove di Teluk Etna, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat yang masih asri. Mangrove di Teluk Etna menjadi bagian dari mangrove Kaimana yang terluas dan potensial menjadi blue carbon di Indonesia. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Berbagai forum global (Because the Ocean, Global Ocean Forum, High Level Panel for Sustainable Ocean Economy) menekankan pentingnya fungsi laut sebagai bagian dari aksi mitigasi. Pemanfaatan energi terbarukan dari laut dan pengalihan bahan bakar untuk kapal-kapal yang berlayar dianggap sebagai upaya yang signifikan dalam pengurangan emisi.

Sebagai negara yang memiliki wilayah laut yang besar, energi dari pasang surut dan gelombang, dan konversi energi dari panas laut, merupakan potensi laut Indonesia yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai energi terbarukan. Sayangnya, semua masih dalam tahap kajian. Dan jika pun ada, pemanfaatan energi dari laut itu belum dimanfaatkan secara optimal.

Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah mengeluarkan regulasi yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2020 yang bertujuan untuk secara signifikan mengurangi emisi SOx dari 3,5% m/m (konten massa) sulfur konten sampai saat ini menjadi 0,5% m/m.

Implementasi regulasi ini di Indonesia, kemudian juga diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor 35 Tahun 2019 tanggal 18 Oktober 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar yang tidak Memenuhi Persyaratan serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang dari Kapal.

Seberapa besar pengurangan emisi dari penerapan regulasi ini masih harus menunggu hasil implementasi ini sekitar 5-10 tahun mendatang.

Meskipun laut terbuka atau laut lepas menampung banyak ekosistem dan organisme laut yang berfungsi sebagai penyerap karbon dalam jangka panjang, sampai sekarang sebagian besar perhatian masih tertuju pada peluang dari ekosistem pesisir kunci yaitu mangrove dan padang lamun.

Ekosistem pesisir ini memiliki potensi mitigasi yang diakui secara luas dan memiliki manfaat tambahan adaptasi. Walaupun potensi ekosistem pesisir ini besar, potensi untuk melepaskan emisi juga akan menjadi besar jika mangrove dan lamun mengalami degradasi.

Stok karbon yang tersimpan pada biomassa ataupun sedimen akan terekspos udara dan kemudian selanjutnya proses mikrobiologi akan melepaskan gas rumah kaca ke kolom air atau atmosfer secara langsung. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan mengingat konversi alih guna lahan menjadi lahan tambak masih cukup banyak terjadi di Indonesia.

Baca juga : Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?

 

Panorama keindahan bawah laut di Pulau Pramuka wilayah Kabupaten Administrasi Pulau Seribu, Kepulauan Seribu, Kamis (14/3/2018). Disisi lain sebagian besar terumbu karang sudah mengalami kerusakan pemutihan atau coral bleaching. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana dengan isu global lain seperti pengasaman atau penurunan pH air laut (ocean acidification) dimana pengasaman laut merujuk kepada penurunan tingkat keasaman air laut akibat reaksi antara gas rumah kaca CO2 dan air laut?

Sama seperti halnya kenaikan tinggi muka air laut, di kawasan perairan Indonesia terutama di wilayah pesisir, sulit dibedakan antara pengasaman air laut yang memang terjadi karena faktor perubahan iklim dan faktor lokal seperti pembuangan limbah yang menyebabkan laju pengasaman lebih tinggi apabila kita bandingkan dengan tren global.

Isu yang sama juga terjadi pada peristiwa pemutihan karang (coral bleaching) di Indonesia, yang masih sulit dibedakan antara faktor perubahan iklim dan faktor lokal.

Masih banyak isu lokal perubahan iklim di Indonesia yang (mungkin) tidak menjadi perhatian di lingkup global. Salah satu contoh adalah berubahnya ritme musiman dan distribusi spesies di laut seperti yang terjadi pada ikan lemuru di Selat Bali. Kombinasi antara pemanasan dan pengasaman laut juga berdampak negatif pada perikanan budidaya.

Perlu menjadi catatan bahwa secara saintifik kurangnya monitoring dan observasi terhadap kondisi laut, termasuk data historis, menjadi penyebab lemahnya data dan analisis perubahan iklim untuk menjawab isu yang terjadi di laut (sebagai sumber atau objek yang terkena dampak).

Hal ini sering membuat analisis yang dibuat tidak sesuai dengan fenomena yang sudah, sedang dan akan terjadi. Ditambah lagi dengan adanya gap antara peneliti (ilmu alam dan sosial), sehingga implementasi mitigasi perubahan iklim kadang tidak sesuai dengan kultur masyarakat setempat.

Untuk itu, pekerjaan besar perlu dilakukan oleh instansi/lembaga terkait untuk membuat suatu peta jalan (roadmap) khusus isu laut dan perubahan iklim yang tidak hanya menjawab isu global tapi juga menjawab dan mengantisipasi isu-isu perubahan iklim yang terjadi pada konteks lokal. Peta jalan ini harus spesifik, terukur, mampu dilaksanakan, realistis dan memiliki target waktu tertentu.

 

* Dr. Anastasia Rita Tisiana Dwi Kuswardani, Peneliti Oseanografi Fisik di Badan Riset dan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Artikel ini adalah opini penulis.

 

Exit mobile version