Mongabay.co.id

Cerita Perjuangan Warga Seko Pertahankan Wilayah Hidup [1]

Lembah di Sae, yang dipenuhi hamparan sawah, jadi titik bendungan PLTA PT Seko Power Prima . Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Andry Karyo dan Ratna, istrinya, harus menempuh jarak sekitar 140 km dengan motor untuk ke Masamba, pusat kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Pada 2008 itu, dengan jarak lebih 100 kilo meter, Andry menghabiskan waktu sehari penuh untuk sampai pusat kabupaten.

Dia memulai rute dari rumah, di Desa Tana Makaleang, Seko Tengah, melewati Longa, Amballong, dan Sae. Di wilayah Salu Padang, pada jalur dengan jalan lebar, tempat terakhir kendaraan roda empat dapat melintas, dia beristirahat. Di tempat itu ada juga mobil terparkir dan beberapa penumpang meregangkan badan setelah dihantam jalanan buruk.

Baca juga: Kala Protes PLTA, Belasan Warga Seko Ditangkap

Tak lama, beberapa penumpang mendekati. Andry tahu, mereka bukan warga Seko. Seseorang dari mereka beranikan diri bertanya mengenai Kampung Sae di Seko Tengah. “Apakah masih jauh?” Andry mengenang percakapan itu. “Saya bilang, masih jauh, harus pakai motor. Jalanan jelek,” jawab Andry.

Tak lama sang penanya membuka lembaran kertas. Andry tahu itu gambar peta. Nama-nama kampung yang dia kenal tertulis dengan jelas. Pada peta terdapat beberapa titik-titik berwarna bersebaran, dari mulai Seko Padang, Seko Lemo hingga Seko Tengah. Tak ada keterangan tertulis sedikitpun dalam peta itu.

Wilayah administratif Seko terbagi dalam tiga wilayah. Seko Padang jadi pusat kecamatan dengan ada beberapa desa. Seko Tengah bagian lain juga terdiri dari beberapa desa, termasuk Tana Makaleang. Daerah Seko Lemo, juga demikian. Secara administratif, semua masuk Kecamatan Seko.

Baca juga: Cerita dari Persidangan Amisandi

Andry terus memperhatikan peta dengan saksama. Ada nama kampung yang tertukar. “Saya bilang, ini salah. Harusnya Amballong jadi Longa. Ini peta untuk apa?” tanya Andry.

Pembawa peta tak menjawab pertanyaan Andry. Dia balik minta bantuan agar Andry mau mengantar mereka ke lokasi peta. Andry tak bisa. Seorang yang sedang beristirahat di tempat itu, diminta mencari ojek. “Seandainya saya tidak dengan istri, saya mau antar. Karena penasaran,” katanya.

Waktu berlalu. Desas-desus berseliweran. Kabar sampai ke telinga warga Seko lewat para tukang ojek. Tak ada jaringan telepon seluler di bumi Seko. Informasi pun beredar hanya dengan getuk tular. Makin lama informasi menderas makin cepat. Warga Seko mulai membincangkan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Sae.

Baca juga: Konflik PLTA Seko, Mau Dialog Malah Ditangkap

Setelah itu, kabar penerimaan karyawan untuk PLTA pun bermunculan. Para pemuda bersiap diri untuk tarung kesempatan. Pada 2014, perusahaan mulai masuk membawa peralatan. Beberapa pekerja bahkan nekat memasang patok, untuk jalur pipa. Seorang warga bergegas menuju kebun Andry untuk mengabarkan.

Para pekerja PLTA sudah masuk ke wilayah Poririang dan Ratte kampung Andry. Dia kaget,karena tak ada pemberitahuan sebelumnya. Pekerja masuk ditemani kepala desa dari kampung tetangga.

 

Aliran sungai di Sae, yang mau dijadikan sumber air PLTA. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Orang tua berkumpul, tokoh masyarakat juga ikutan. Mereka hendak mengusir para pekerja PLTA. Diskusi menemui kata sepakat. Warga Desa Tana Makaleang meminta kejelasan soal rencana pembangunan PLTA. Mereka menyesalkan gerak para pekerja memasuki kampung tanpa sosialisasi.

Akhirnya, warga memberikan hukuman pada perusahaan untuk membayar denda adat, karena memasuki wilayah tanpa izin. Mereka wajib menyembelih seekor kerbau, kemudian makan bersama. Setelah itu, perusahaan memberikan penjelasan pada warga mengenai proyek mereka.

Belakangan, setelah denda adat, perusahaan dan pemerintah daerah menuding Andry dan kawan-kawannya, memeras perusahaan. Seorang kolega Andry yang jadi anggota TNI, sejak awal mengawal perusahaan masuk, menghardiknya, dan menyatakan kalau warga desa tak tahu berterimakasih.

Kelak warga desa, mengenal perusahaan itu dengan nama PT Seko Power Prima (Seko Power). Dalam analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) perusahaan berniat membendung dan membuat bendungan di Sae. Dari sana, perusahaan menarik pipa air menuju turbin di Ratte. Panjang terowongan mencapai 15.407 meter, berlapis penampang bulat, diameter delapan 8 terdiri dari lima pipa penyalur.

Pipa pesat (penstock)  yang membawa air menuju turbin diameter dalamnya 20 meter, diameter luar 30 meter, tinggi 16 meter. Pipa ini kelak tertimbun sedalam 40 meter.

Patok-patok awal yang dikerjakan para pekerja perusahaan, menandai kampung sebagai rute untuk jalur pipa. Pipa inilah yang akan menelusur di pinggiran kebun, di tengah kebun, di sisi kampung dan bahkan ada pula yang membelah kampung.

Topografi Seko secara keseluruhan adalah lembah yang menyempit. Wilayah itu diapit dua buah sungai, Betue dan Uro. Sungai ini bermuara membentuk sungai besar Karama di Sulawesi Barat. Di Karama, Kalla Group–perusahaan milik Jusuf Kalla–lebih awal membangun PLTA.

Perusahaan lain sedang mengerjakan pembangkit listrik, di Betue oleh Seko Power dan di Uro oleh PT Seko Power Prada. Dua perusahaan menginduk pada perusahaan sama.

Dua perusahaan yang akan membangun PLTA di Betue dan Uro, dalam data Dinas Pertambangan dan Energi Luwu Utara, pada 28 Desember 2012, mendapatkan izin prinsip atas nama PT Asri Power. Kemudian permohonan perpanjangan izin prinsip disetujui pada 18 Juni 2014, dengan pengubahan nama perusahaan jadi PT Seko Power Prima.

Di Luwu Utara, saat ini ada 11 izin prinsip pembangunan PLTA. “Kalau semua jadi, jumlah daya mencapai 1.154 MW. Kan kita belum tahu kapan semua berjalan dan beroperasi,” kata Ahmad Yani, Plt Dinas Pertambangan dan Energi Luwu Utara, beberapa waktu lalu.

Di Amballong, satu patok pipa berada di tengah kampung, tepat di antara rumah warga. Inilah yang kemudian membuat warga resah. Mereka bertanya, bagaimana bisa bertahan di kampung dan mengolah lahan kalau pipa air berada tepat di bawah pijakan. Tak ada jawaban melegakan dari para pihak.

Bahkan skenario relokasi warga pun tak pernah sedikitpun jadi bahasan. Alasan perusahaan, pipa dalam tanah tidak akan mengganggu aktivitas, entah berkebun bahkan rumah di atasnya tak akan terdampak. “Itu tidak akan mengganggu. Ini kan warga hanya terprovokasi,” kata Ginandjar Kurli, manager operasional Seko Power beberapa waktu lalu.

 

Kondisi jalan dari Lambiri menuju Eno, pusat Kecamatan Seko yang sudah dilakukan pengerasan. Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Dari informasi simpang siur itulah, gelombang protes warga bermula. Adalah masyarakat di Desa Tana Makaleang dan Hoyane, yang memulai dan terus bertahan. Mereka melakukan pertemuan di rumah-rumah penduduk. Berkali-kali demonstrasi, menggelar dengar pendapat dengan DPRD kabupaten, tetapi tetap saja perusahaan melaju.

Dengan rentetan demo, parlemen membuat berkali-kali pertemuan dengan masyarakat Seko. Kala itu, pada 2015, Basir adalah Ketua Komisi II-saat ini Ketua DPRD Luwu Utara dari Partai Golkar periode 2019-2024–, mengatakan, menerima PLTA akan membawa dampak besar dan kemakmuran warga.

“Masyarakat Seko akan masuk surga kalau menerima PLTA karena yang akan menikmati bukan cuma orang Seko, tapi Luwu Utara sampai Bantaeng,” katanya.

Bupati Luwu Utara, Indah Putri, berseloroh, kalau warga yang menolak pembangunan PLTA adalah provokasi orang luar Seko. “PLTA itu akan membawa harapan baru,” katanya.

Indah dan pasangannya Thahar Rum adalah bupati terpilih periode 2016-2021 yang mendapatkan suara terbanyak di Kecamatan Seko. Warga Seko, menaruh harapan besar agar bupati menolong mereka. Dalam rekaman video saat kampanye, dia berujar akan melindungi Seko dan mempertaruhkan harga dirinya.

“Sekarang, ketika kami merasa ada yang salah dengan pembangunan PLTA, bupati dan pemerintah daerah malah memusuhi kami,” kata Andry.

Konflik ini tercium oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, antara lain, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu dan Perkumpulan Wallacea di Palopo. Dua lembaga ini membuat simpul dan menggelar diskusi intens bersama warga.

Mereka juga mengkaji kembali identitas warga. Dari ruang itu, warga membentuk Gerakan Masyarakat Adat Salombengang (Gemas), organisasi lokal yang jadi motor gerakan. Warga makin kuat dan terorganisir.

“Pikiran awal kami, kalau PLTA tetap dibangun, pipa dan turbin jangan di kampung kami. Kami tidak mungkin meninggalkan kampung,” kata Pieter Karra, warga lain.

Pieter Karra, orang tua di Tana Makaleang. Usia 68 tahun. Rambut penuh uban, dan jenggot berwarna putih. “Ratte itu tanah kakek saya. Mereka datang, lalu tebang coklat saya. Mereka mau bikin PLTA di sana, tapi mereka tidak kasih tahu saya. Jadi ini bagaimana, benar tidak itu,” katanya.

Akhirnya, gerakan masyarakat ini bergema. Di Poririang, ketika pekerja perusahaan datang, mereka aksi penolakan, juga pernah menutup akses jalan masuk kampung. Pada pertemuan itu warga bahkan membacakan pernyataan penolakan.

Aksi-aksi warga inilah yang mengusik pemerintahan. Investasi adalah bagian penting dari setiap wilayah di Indonesia, apalagi Luwu Utara dengan APBD minim. Pasukan polisi dan TNI dikirim ke Seko, untuk menjaga keamanan perusahaan. “Jadi, sebenarnya, kita ini warga biasa, siapa yang lindungi kita? Polisi dan TNI, ternyata lindungi perusahaan,” kata Pieter.

 

Pekuburan tua di Desa Hoyane, Menggunakan peti duduk. Ratusan peti rusak dijarah. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Personel Polri dan TNI membanjiri Seko tak membuat perlawanan warga surut. Semangat ‘pertempuran’ warga teruji dengan kriminalisasi. Warga dibentak, diancam, diintimidasi.

Andry Karyo, Pieter Karra, Amisandi, Janisalong, Henok Dappa, Dominggus Paongan, Yoksan, Haner, Suhardi Dappa, Alprianto, Aswar Bandi, Aspar, Sarlong, dan Marda Magau, masuk penjara dengan tuduhan mencuri barang perusahaan dan pengancaman.

Meski demikian penangkapan warga pun dinilai cacat hukum dalam prosedural. Setelah demonstrasi menolak PLTA pada 2016, Oktober tahun sama, Andry bersama empat rekan mendapatkan panggilan polisi.

Dalam perjalanan dia kemudian diciduk. Di Kantor Polisi Masamba, Andry diintrogasi. Walau boleh pulang, polisi meminta Andry, menghubungi beberapa warga lain di Seko untuk datang melapor terkait aksi.

“Saya pikir tidak ada masalah, karena kami tidak ditangkap. Itu mi kenapa kami berani pesan ke keluarga lain di kampung (Seko),” kata Andry.

Akhirnya, dia menuju Palopo dan berencana ke Toraja bertemu kerabat. Di Palopo dia menginap di Sekretariat Perkumpulan Wallacea, sembari berdiskusi mengenai kampung. Sekitar pukul 03.00, tiba-tiba tujuh polisi mendatangi sekretariat itu. Sambil menggedor pintu dengan pistol. Ikbal, seorang staf Perkumpulan Wallacea membuka pintu. Polisi sigap memasuki kamar.

Polisi menendang Andry dan dua rekan lain yang sedang pulas tertidur agar mereka segera bangun. Ikbal, melihat surat penangkapan, dengan nama Andry Karyo. “Satu saja pak yang dibawa ke kantor (polisi). Hanya Pak Andry,” kata Ikbal.

Nda apa-apa. Ikut saja, biar ada yang temani di jalan,” kata polisi.

Dua rekan Andry adalah Obet dan Marda Magau. Obet beruntung, keesokan hari bebas. Andry dan Marda Magau masuk tahanan. Pada hari penangkapan, rombongan warga dari Seko pun tiba. Mereka diinterogasi dan langsung ditahan ada 11 orang.

Jadi, 13 orang dalam tahanan kepolisian. Mereka diminta berbaris di lapangan. Dua orang polisi muda mendekati, dan memukul. Ada yang kena tamparan di wajah, perut, dan tendangan.  Alasan sama juga ditujukan pada Amisandi, terdakwa belakangan.

Di Desa Tana Makaleang dan Hoyane, saat para lelaki itu dipenjara, kehidupan keluarga jadi makin berat. Kebun keluarga terbengkalai. Tanaman produksi seperti kakao siap panen, busuk. Paling berat merayakan Natal tanpa keluarga lengkap.

Dalam perjuangan warga Seko, melawan pembangunan PLTA ini, para perempuan berada di garis depan. Mereka tak takut ancaman apapun. (Bersambung)

 

 

Keterangan foto utama: Lembah di Sae, yang dipenuhi hamparan sawah, jadi titik bendungan PLTA PT Seko Power Prima . Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version