Mongabay.co.id

Banjir Terjang Lamongan, Ratusan Desa Terendam

 

Bagi Saim, banjir merupakan musibah dan juga berkah. Sebab di tengah air menggenang di halaman rumahnya lelaki bercelana pendek itu bisa dengan mudah menangkap ikan. Berbekal alat tangkap jala, dia tampak lihai menjaring ikan yang berasal dari tambak sebelah rumah yang terendam banjir di Candisari, Desa Tambakploso, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Pria ini bukan satu-satunya yang mencari ikan di saat banjir melanda. Ada pula yang sedang menjala di dalam rumah. Bahkan, tidak jarang ibu-ibu terlihat sedang memancing ikan di saluran irigasi di depan halaman rumah mereka.

Sementara itu, bocah-bocah tampak kegirangan tatkala bapaknya berhasil mendapatkan ikan.

“Dapat ikan 5 kilo, lumayan bisa dimasak. Jenis ikanya bermacam-macam, ada bandeng, mujahir dan juga udang,” ucap Saim, pria 50 tahun ini kepada Mongabay, Senin (13/04/2019) .

baca : Banjir Cekungan Bandung dan Keberlanjutan Sungai Citarum

 

Pasangan suami istri Karni (65) dan Siono (70) berpose di ruang tamu rumahnya yang mengalami kebanjiran. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, baru tahun ini banjir lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun dia cukup beruntung karena genangan air tidak sampai masuk ke rumah. Hanya, Saim merasa sial di sisi lain tambak miliknya mengalami kebanjiran.

Sehingga ikan dan udang yang mestinya siap panen tahun ini mengalami gagal penuaian. Padahal di lahan seluas 300 meter persegi itu.

Dia menaksir bisa mendapatkan hasil kurang lebih Rp8 juta. “Sedang ikan sudah berumur 2 bulan, sementara udang vaname umurnya berkisar 100 hari,” kesahnya.

baca juga : Banjir dan Politik Ekologi Perkotaan

 

Warga menonton televisi di ruang tamu saat banjir di Desa Tambakploso, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Banjir Terparah

Hal sama juga dirasakan Karni, perempuan 65 tahun ini bercerita, air mulai masuk rumahnya sejak hari Minggu lalu. Hanya airnya belum seberapa tinggi, sehingga dirinya masih sempat menguras genangan air yang masuk ke kediamannya itu. Namun, di lain hari air malah semakin meninggi.

Banjir itu memaksanya untuk memindahkan barang-barang berharga yang ada di ruang tamu untuk dialihkan ke dapur yang kebetulan tempatnya lebih tinggi. Perempuan ini tidak menyangka akan ketinggian banjir bisa sampai 60 cm. Padahal tahun-tahun sebelumnya air yang menggenang itu masih bisa diatasi.

Bagi dia, saat musim hujan rumahnya sudah terbiasa tergenang air. Hanya, tahun ini lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Kisahnya, yang terparah itu pernah terjadi pada tahun 1967, dengan ketinggian air mencapai satu meter.

Akibat kejadian ini Karni dan keluarganya untuk sementara waktu mengungsi di tempat kerabatnya karena rumah sudah tidak bisa ditempati. “Saya hanya bisa berharap agar ini tidak terjadi lagi, sampai sekarang juga belum ada bantuan apa-apa dari pemerintah,” keluhnya.

perlu dibaca : Banjir, Fenomena Climate Whiplash dan Dampaknya di Indonesia

 

Seorang warga melintas di jalan Desa yang mengalami kebanjiran. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Pelaksana tugas Sekdes Desa Tambakploso, Bambang, menjelaskan, penyebab terjadinya banjir ini dikarenakan debit air yang meninggi di sungai Pelalangan, sungai ini merupakan anakan sungai dari Bengawan Solo.

Selain itu, intensitas hujan yang tinggi di wilayah lain juga sangat mempengaruhi. Sedangkan di wilayah lain, ujung sungai, arus air kemungkinan terhalang jembatan yang kurang tinggi. Akibatnya tanggul yang digunakan untuk melindungi sepanjang aliran sungai itu ada yang jebol.

“Di Desa sini sudah ada dua titik yang jebol, masing-masing panjangnya 10 meteran,” ujarnya. Padahal selama tiga hari sebelum kejadian pihak Desa sudah mengintruksikan ke warga untuk berjaga-jaga. Namun, karena jarak tanggulnya yang panjang sehingga tetap saja masih kecolongan.

Akibat kejadian ini Bambang menyebut dari 512 Kepala Keluarga (KK) di Desa Tambakploso, ada sejumlah 450 KK yang terimbas. Sementara untuk sawah tambak yang mengalami kebanjiran sekitar 200 an hektar dari 249 hektar.

Menurut dia, secara normal selama musim penghujan ini para petani tambak biasanya dalam satu hektar bisa mendapatkan hasil kurang lebih Rp25-30 juta. “Ambil rata-rata misalnya Rp30 juta dikali 200 hektar. Sudah Rp6 miliar kerugiannya, itu belum termasuk ternak dan juga rumah warga yang terdampak,” ujarnya.

Bambang menyebut, sementara untuk biaya untuk penanggulangan tanggul yang jebol diperkirakan membutuhkan anggaran hingga ratusan juta rupiah.

baca juga : Meracik Strategi Atasi Banjir Ala “Total Football”

 

Puluhan warga dibantu aparat terkait bergotong-royong membetulkan kondisi tanggul yang ambrol. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Tingginya Debit Air Bengawan Solo

Sementara itu, Badan Penanggulangan Daerah (BPBD) Lamongan menyebut, selama kurun waktu musim hujan tahun ini, untuk data sementara sudah ada 115 Desa di 17 Kecamatan di Lamongan yang dilanda banjir. Dari 17 Kecamatan itu setidaknya sejumlah 9.610 rumah terendam.

Kasi Tanggap Darurat BPBD Lamongan, Muslimin, menjelaskan, data tersebut terhitung mulai 10 April, update hingga tanggal 14 April. Menurutnya, ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya banjir yang menggenang beberapa wilayah di Kabupaten berjuluk kota mbah Lamong ini.

Diantaranya, intensitas curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan debit air Bengawan Solo naik, sungai-sungai kecil juga ikut meluap. Selain itu sendimentasi tanah yang mulai dangkal juga sangat berpengaruh. Penyebab lainnya, karena kurang maksimalnya peran masyarakat dalam penanganan sampah dan memelihara tanggul.

 

Kondisi di dalam rumah warga yang mengalami kebanjiran karena tanggul jebol. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Lanjut dia, walaupun di wilayah Lamongan tidak terjadi hujan, sementara wilayah lain hujan dampaknya bisa sampai ke Lamongan, karena daerah ini termasuk zona rentan kebanjir. Hal itu karena banyaknya pemukiman yang dekat dengan aliran sungai Bengawan Solo. Selain itu kondisi topografi wilayahnya yang datar.

“Jadi bukan karena intensitas curah hujan saja. Melainkan ada faktor lain yaitu sampah sebagai penghambat arus, kemudian juga pendangkalan sungai,” ujarnya.

Jika dibiarkan, hal ini bisa terulang kembali sepanjang musim hujan datang. Untuk itu pihaknya menghimbau kepada masyarakat agar lebih memperhatikan persoalan yang terjadi, dan masyarakat bisa lebih waspada terhadap pergantian musim yang sedang mengalami pancaroba.

Sementara, untuk kondisi hujan tahun ini, Muslimin memperkirakan kemungkinan sampai akhir bulan April sudah mengalami perubahan. “Kendalanya juga air sama-sama tinggi, sehingga kita mau melakukan pompa air juga sia-sia,” tutupnya.

 

Kodim 0812 Lamongan membawa tanah yang akan digunakan untuk membendung tanggul yang jebol. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version