Mongabay.co.id

Soal Target Pembangkit Listrik di Tengah Corona dan Krisis Iklim, Ini Beberapa Masukan

PLTU Suralaya I atau dikenal PLTU I Banten dibangun sejak 1985. Kini, sudah ada delapan PLTU Suralaya dan pemerintah hendak menambah dua PLTU baru, unit IX dan X. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pemerintahan Joko Widodo, mencanangkan pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt pada kepemimpinan periode pertama dengan dominasi bersumber batubara. Dengan asumsi pertumbuhan kebutuhan listrik 8,7% atau 7.000 megawatt per tahun, terealisasi hanya 4,4%. Penyelesaian proyek pun mundur sampai 2028, alias tertunda 10 tahun.

Pada periode 2014-2019, asumsi pertumbuhan ekonomi 7,1% per tahun, realisasi hanya 5,08%, hingga Februari 2020 pembangkit beroperasi hanya 19%. Tahun 2020, target proyek ini 44% tetapi negeri ini sedang wabah Virus Corona ditambah krisis iklim. Realistikkah target itu?

“Apakah perlu untuk dicapai?” kata Adila Isfandiari, peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, memantik diskusi media awal April lalu.

Greenpeace menyatakan, pemerintah dan PLN harus melakukan beberapa penyesuaian, terutama karena pandemi Corona dan krisis iklim yang nyata di Indonesia.

Pertama, kata Dila, perlu penyesuaian asumsi pertumbuhan ekonomi. Sebelum pandemi Corona, Bank Indonesia memproyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 antara 5,4%. Setelah wabah masuk Indonesia, setidaknya sejak Maret lalu, proyeksi BI turun antara 4,2-4,6%. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dengan skenario terburuk ekonomi bisa 0%.

Selama tiga tahun terakhir, asumsi pertumbuhan ekonomi selalu di atas 6%, rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,08%.

“Perlu penyesuaian asumsi pertumbuhan ekonomi lebih realistis pada rencana umum penyediaan tenaga listrik 2020-2029,” katanya.

 

Petugas yang sedang memonitor panel-panel surya di PLTS Oelpuah. PLTS ini terbesar di Indonesia. Foto: Palce Amalo

 

Kedua, penyesuaian dengan penurunan angka keperluan listrik. Imbauan #dirumahaja dan social/physical distancing dari pemerintah, katanya, membuat perlu penyesuaian penurunan keperluan listrik.

Greenpeace mengutip data PLN per 26 Maret 2020, atau dua minggu setelah siaga pandemi, beban sistem listrik Jawa-Bali turun 7%. Beban Jakarta pada minggu ke-tiga Maret turun 30%. Karena itulah perlu penyesuaian proyeksi keperluan listrik konsumen pada RUPTL 2020-2029.

Ketiga, penyesuaian kapasitas pembangkit. Hal ini, katanya, karena ada penundaan konstruksi PLTU batubara dan estimasi kerugian investasi akibat pandemi.

Laporan Boom and Bust yang rilis akhir Maret lalu menunjukkan, estimasi kerugian US$13,1 miliar atau sekitar Rp210 triliun karena ketelambatan pengiriman impor bahan baku komponen PLTU dan pembatasan perjalanan tenaga kerja dari negara investor. Sebagian besar, investor PLTU di Indonesia dari Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok.

Dengan kondisi ini, kata Dila, seharusnya Indonesia serius beralih pada energi terbarukan. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2109, potensi energi terbarukan 442 gigawatt, tetapi pemanfaatan baru 10,3 gigawatt atau 2,3%.

Di beberapa daerah kelebihan kapasitas pembangkit menyebabkan listrik bersumber energi terbarukan, seperti produksi PLTMh di Sumatera Utara, dikurangi. Kondisi ini, katanya, karena ada sistem take or pay dari PLN dengan PLTU batubara, di mana listrik produksi PLTU harus dibeli PLN.

Keempat, penting lagi, katanya, penyesuaian komposisi pembangkit untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca atau komitmen Indonesia dalam nationally determined contributions (NDC).

 

Operasional Intake PLTA Singkarak di nagari Guguk Malalo, Tanah Datar. Foto : Riko Coubut

 

Berly Martawardaya, Direktur Riset Indef mengatakan, PLN perlu sigap mengubah pola bauran energi dengan tepat untuk menyiapkan kebijakan adaptasi.

“Vietnam, dalam dua tahun bisa bangun 5 gigawatt dari energi surya. Tak usah bicara India atau China, ini Vietnam bisa masif sekali,” katanya.

Apakah Indonesia perlu lebih banyak listrik? Menurut Berly, konsumsi listri Indonesia masih lebih rendah dibanding Malaysia dan Thailand.

“Padahal, kita mau menuju industrialisasi di luar Jawa. Malaysia dan Thailand sudah jadi negara industri manufaktur. Indonesia katanya juga ingin menuju ke sana.”

Melihat intensitas energi, katanya, konsumsi per kapita Indonesia masih jauh di bawah Thailand. “Kita cuma sedikit di atas Filipina.”

Saat ini, juga menguat industri teknologi keuangan dengan keperluan energi cukup besar.

Sayangnya, kata Berly, produksi listrik masih dominan di Jawa. Dengan kelebihan produksi listrik Jawa-Bali, tetapi belum ada transmisi yang bisa mengalirkan listrik ke pulau lain, misal Sumatera, sebagai pulau besar lain yang dekat Jawa.

Hal lain yang jadi sorotan Berly soal elektrifikasi masih jadi perdebatan sejumlah pihak. Menurut dia, perlu ada kategori elektrifikasi yang jelas. Saat ini, hanya satu kategori elektrifikasi, termasuk daerah yang hanya menikmati listrik beberapa jam sehari seperti di Indonesia bagian timur.

“Kita juga perlu equality (elektrifikasi) terutama untuk Indonesia Timur,” katanya.

Merujuk RUPTL, katanya, memang ada peningkatan bauran energi terbarukan tetapi porsi batubara juga makin besar. Dengan kondisi pandemi Corona dia khawatir akan menimbulkan masalah kesehatan lebih besar karena rentan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Mengingat tren global ada penurunan harga solar photovoltaic (PV), dia mengusulkan pemerintah mengalihkan anggaran batubara ke energi terbarukan.

“Anggaran PLTU yang belum jadi bisa alihkan ke proyek energi terbarukan. PLN juga bisa mengubah pola sentralisasi selama ini ke desentralisasi energi terbarukan.”

 

Keterangan foto utama:  PLTU Suralaya I atau dikenal PLTU I Banten dibangun sejak 1985. Kini, sudah ada delapan PLTU Suralaya dan pemerintah hendak menambah dua PLTU baru, unit IX dan X. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

Air laut di sekitar penumpukan batubara untuk PLTU Pangkalan Susu sudah bewarna coklat, tak jernih lagi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version