Mongabay.co.id

Nagari Lubuk Karak, Jantungnya Hutan Negeri Dharmasraya

Nama Negeri Dharmasraya telah dikenal sejak abad ke-13. Lokasinya yang berada di sepanjang hulu Sungai Batang Hari memiliki peran vital sebagai moda transportasi dan penunjang ekonomi masyarakat di sepanjang alirannya.

Dari sinilah gerak peradaban Dharmasraya bermula. Ia turut berkontribusi turut dalam membangun tatanan politik pemerintahan, ekonomi, ilmu dan teknologi, serta religi di Sumatera Barat.

Dikutip dari Dokumen RPJMD Dharmasraya 2016-2021, maka luas wilayah Kabupaten Dharmasraya berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2009 yaitu 2.961,13 km² (296.113 hektar). Sedangkan berdasarkan perhitungan pemetaan hasil digitasi citra spot 5 pada RTRW Kabupaten Dharmasraya memiliki luas 3.025,99 km2 (302.599 hektar).

Jika dielaborasi lebih lanjut, ekonomi Dharmasraya masih didominasi pertanian (29,25 persen) diikuti sektor jasa perdagangan besar dan eceran (13,73 persen). Data ini sejalan dengan pemanfaatan wilayah yang 58 persen di antaranya digunakan untuk perkebunan, khususnya kelapa sawit dan karet (BPS 2016-2018).

Sementara itu, luas tutupan lahan hutan di Kabupaten Dharmasraya adalah 172.707  hektar, dengan tutupan hutan bervegetasi primer seluas 7.290 hektar, hutan tanaman 6.115 hektar, dan hutan bervegetasi sekunder (yang bercampur dengan kebun rakyat) seluas 157.836 hektar.

Baca juga: Percepat Perhutanan Sosial, Sumatera Barat Lahirkan Peraturan Gubernur

Namun tak bisa terelakkan, bahwa saat ini kondisi lingkungan di Dharmasraya sedang mengalami tekanan akibat berubahnya forest land cover.

Dengan kondisinya yang berada di daerah hulu, maka kerusakan lingkungan dan alam di Dharmasraya pun bakal turut menyumbang dampak terhadap terjadinya berbagai bencana alam yang ada.

 

Nagari Lubuk Karak

Beruntung sekali, ditengah kepungan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan karet yang masif, masih ada satu nagari yang masih bersemangat dan konsen untuk mengelola dan menjaga kawasan hutan, yaitu Nagari Lubuk Karak.

Nagari yang secara administratif berada di Kecamatan IX Koto ini merupakan kawasan dengan perbukitan landai dan tutupan hutan yang relatif masih baik dan dialir oleh derasnya arus Sungai Batang Momong, yang merupakan salah satu anak sungai Batang Hari.

Pada tahun 2017, Nagari Lubuk Karak memperoleh SK Hak Pengelolaan Hutan Nagari (HPHN) bernomor SK.3750/ Menlhk-PSKL/PSL.0/6/2017, dengan luas kawasan mencapai 1.708 hektar atau 20 persen dari luas wilayah Nagari Lubuk Karak.

Di luar wilayah itu, masih ada Hutan Lindung seluas 2.500 Ha, Hutan Produksi seluas 2.000 hektar dan areal penggunaan lain seluas 1.950 hektar.

Persepsi masyarakat di Lubuk Karak masih menempatkan hutan sebagai bagian dari hukum adat nagari. Pohon di kawasan lindung harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Tidak ada orang yang berani menebang pohon di kawasan itu.

 

Ilustrasi. Tanaman kopi milik masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pohon yang ditebang biasanya berada di wilayah ulayat. Dari situ masyarakat mendapat pemasuk ekonomi. Namun sekarang kegiatan ini pun mulai berkurang dengan semakin ketatnya peredaran arus keluar masuk kayu.

Biasonya kami di siko bakayu sejak dahulu, kini dek kayu lah payah dan razia gadang mako agak susah kami” (biasanya kami disini hidup dari hasil berkayu, bahkan sejak dahulu, sekarang kayu susah ditemukan, apalagi ada razia besar-besaran, semakin susah untuk berkayu),” jelas Budiman seorang warga dan pegiat kelompok tani menjelaskan.

Dia sekarang beralih ke pembudidayaan tanaman kopi.

Sebenarnya intensitas aktivitas logging di Nagari Lubuk Karak masih terbilang dalam skala kecil dibanding nagari lain yang berada di Kecamatan IX Koto.  Hampir tidak ditemukan pemain kayu besar di Lubuk Karak.

Sebaliknya, tanaman masyarakat seperti durian, manggis, dan rambutan umum dijumpai di pekarangan maupun ladang masyarakat. Hasil buah-buahan ini merupakan potensi lokal yang bisa dikembangkan menjadi komoditi alternatif dalam meningkatkan sumber pemasukan masyarakat.

Sejak tahun 2018, warga Jorong Koto Lamo, Nagari Lubuk Karak pun sudah mulai membudidayakan kopi sebagai alternatif sumber pemasukan ekonomi. Ini juga membantu masyarakat  untuk keluar dari ketergantungan aktivitas berkayu.

Bibit kopi sebanyak 5.000 batang didatangkan dari Solok Selatan, yang turut dibantu oleh KKI Warsi.

Proses penanamannya telah dilakukan secara serentak oleh anggota Kelompok Tani Harapan Baru. Setiap orang mendapat jatah 250 batang kopi yang ditanam di tiap lahan milik anggota.  Adapun, total area yang telah ditanami kopi higga saat ini adalah sekitar 10 hektar.

Inisiatif masyarakat untuk mulai meninggalkan aktivitas logging dan beralih pada tanaman agroforestri kopi pun turut merubah dan membentuk persepsi dan perilaku ekologis dan ekonomi.

Baca juga: Penghentian Aktivitas Tambang Ilegal di Sumbar Butuh Komitmen Penuh Para Pihak

Kerusakan lingkungan akibat aktivitas PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin) di Lubuk Karak pun relatif minim. Hal ini berbeda jika kita melewati Sungai Dareh menuju Lubuk Karak, maka di sepanjang aliran Sungai Batang Hari itu banyak ditemukan bekas aktivitas PETI.

 

Kondisi Sungai Batang Hari di kawasan Hutan Lindung Batanghari, Solok Selatan, Sumatera Barat, yang rusak akibat aktivitas tambang emas ilegal [23/11/2019]. Foto: Dok Tim BNPB

 

Alat berat digunakan untuk mencari emas. Tentu saja ia bertanggungjawab atas rusaknya bentukan permukaan dan topografi aliran sungai, serta menjadi sebab terjadinya pencemaran lingkungan.

Sebaliknya di Lubuk Karak, hampir tidak pernah dijumpai masyarakat yang mendulang emas dengan menggunakan mesin donfeng atau pun ekskavator.

”Di sini ada ketentuannya, masyarakat dilarang mendulang emas menggunakan alat dan limbah yang merusak, kecuali dengan cara manual. Makanya aliran Sungai Batang Momong masih jernih dan bersih, jauh dari tercemar,” sebut Joko, Sekretaris Nagari Lubuk Karak menjelaskan.

Patut kita syukuri bahwa kehadiran dan keberadaan hutan di Lubuk Karak adalah berkah tersendiri sebagai jantung lingkungan dan kehidupan di Dharmasraya secara umum. Untuk itu kita harus tetap menjaganya untuk generasi mendatang kelak.

 

Foto utama: Hutan Nagari yang masih utuh di Sumatera Barat. Foto: Vinolia/Mongabay Indonesia

 

* Nabhan Aiqani, penulis adalah Knowledge Management Specialist di KKI WARSI

 

 

Exit mobile version