Mongabay.co.id

Lumpur Genangi Jalanan, Walhi Sulsel Tuntut Izin Tambang PT. PUL di Luwu Timur Dicabut

 

Sabtu sore (11/04/2020) luapan lumpur yang disebabkan aktivitas tambang nikel kembali terjadi di Desa Ussu, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi selatan. Luapan tersebut diketahui berasal dari konsesi milik PT. Prima Utama Lestari (PUL).

Luapan lumpur ini sempat mengganggu arus transportasi di jalan poros trans Sulawesi, yang menghubungkan Luwu Timur Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tengah.

Bakratan, Ketua Karang Taruna Lutim yang juga warga Desa Manurung, yang bertetangga dengan Desa Ussu, menyatakan keresahannya atas kejadian ini, karena jalur yang terkena dampak luapan lumpur adalah jalur yang dilaluinya setiap hari.

“Otomatis aktivitas warga terganggu karena luapan lumpur yang menggenangi jalan, ini bahaya juga bagi keselamatan jiwa,” katanya kepada Mongabay, Senin (13/4/2020).

Menurut Bakratan, luapan lumpur ini bukanlah kali pertama, namun telah terjadi beberapa kali sebelumnya, hanya saat ini kondisinya jauh lebih parah karena adanya hujan deras.

“Wilayah konsesi perusahaan kan berada di ketinggian, jadi luapan lumpur itu menggenangi kawasan yang ada di bawahnya, termasuk sejumlah tambak warga yang rusak serta sumber air tercemari lumpur. Kalau tidak salah ada juga warga yang bermukim sekitar situ,” jelasnya.

Menurut Bakratan, upaya berdialog dengan perusahaan sudah dilakukan difasilitasi Dinas Lingkungan Hidup Luwu Timur. Bupati bahkan sudah memberi teguran kepada perusahaan namun tidak digubris perusahaan.

“Makanya kami minta perusahaan ini dicabut saja izinnya. Bupati juga pernah mengatakan akan mencabut izin perusahaan kalau tidak mengindahkan teguran,” katanya.

baca : Nurdin Abdullah: Sawit dan Tambang Bukan untuk Sulawesi Selatan

 

Luapan lumpur dan air menggenangi jalan poros trans Sulawesi akibat aktivitas tambang PT. PUL di Desa Ussu, Kecamatan Malili, Luwu Timur. Luapan ini sempat mengggangu arus transportasi dan mengancam keselamatan pengguna jalan. Foto: Walhi Sulsel/Mongabay Indonesia.

 

Respons Walhi Sulsel

Menyikapi kondisi ini Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan telah melakukan penelusuran singkat dan menemukan sejumlah fakta adanya pelanggaran yang bisa dikategorikan kejahatan lingkungan.

“Luapan lumpur yang disebabkan oleh aktivitas tambang PT. PUL sudah masuk kategori kejahatan lingkungan, karena mereka telah mencemari lingkungan dan tidak menjalankan perintah Undang-undang,” ujar Tabirul Haq, staf advokasi dan hukum Walhi Sulsel.

Menurut Tabirul, bukti-bukti berupa foto dan informasi yang diperoleh dari warga memperlihatkan IPAL yang dibuat perusahaan tidak memadai dan lebih mirip seperti kubangan.

“Secara teknis sangat tidak layak dikatakan sebagai IPAL atau sediment pond, sehingga kejadian serupa terus terulang terutama ketika hujan deras. Kejadian Sabtu sore kemarin adalah luapan yang lebih parah karena titik luapannya justru bertambah menjadi dua titik,” katanya.

Menurut Tabirul, parahnya lagi meski pemerintah daerah setempat telah memberi peringatan dan rekomendasi ke pihak perusahaan namun tidak ada upaya perbaikan.

“Kami dan warga setempat menduga alasan bahwa PT. PUL tidak pernah menaati kaidah lingkungan hidup saat melakukan aktivitas tambang karena IUP-nya akan berakhir tahun depan. Oleh sebab itu, sangat penting untuk bertindak tegas kepada perusahaan ini sebelum IUP-nya berakhir.”

Walhi selanjutnya mendesak pemerintah untuk segera mencabut izin usaha pertambangan PT. PUL dan mendesak Gakum KLHK dan Polda Sulsel untuk menangkap dan mengadili Direktur PT. PUL sebagai pelaku kejahatan lingkungan.

“Sebagai pimpinan perusahaan, Direktur PT. PUL bertanggung jawab karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yakni melawan UU No.4/2009 dan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” jelasnya.

Menurut data Walhi Sulsel, PT. PUL adalah perusahaan tambang nikel yang beroperasi sejak tahun 2011 dan mengantongi dua IUP dengan total luas 1.563 hektar. Sejak Januari 2020, aktivitas PT. PUL dihentikan sementara oleh Inspektur tambang karena telah berulang kali menimbulkan masalah termasuk pencemaran lingkungan berupa luapan lumpur.

baca juga : Nasib Warga yang Hidup di Sekitar Tambang dan Pabrik Semen di Maros

 

Luapan lumpur PT PUL merusak puluhan hektar tambak warga. Kejadian ini sudah terjadi berkali-kali dan telah mendapat teguran Pemda. Foto: Walhi Sulsel/Mongabay Indonesia.

 

Meski ditolak sejumlah warga, Rahmat, Kepala Desa Ussu, memiliki sikap berbeda terhadap kasus ini. Ia berharap ada solusi yang bisa diberikan tanpa harus menghentikan aktivitas perusahaan, karena akan berdampak pada perekonomian warga.

“Terdapat 80 orang warga kami yang bekerja di perusahaan. Penghentian aktivitas perusahaan sangat berdampak pada kondisi ekonomi warga,” katanya.

Selain memperkerjakan warga, PT. PUL juga memberi bantuan kepada warga yang diistilahkan ‘uang debu’, nilainya Rp1.000 per ton. Dalam setiap pengangkutan menggunakan kapal tongkang nilai total ‘uang debu’ ini bernilai Rp7 juta.

“Bantuan itu biasanya kami gunakan untuk bantuan ke masjid,” katanya.

Menurut Rahmat, salah satu solusi yang diberikan sejumlah pihak adalah agar perusahaan memindahkan wilayah kerja ke tempat yang lebih landai dan tidak rawan bencana.

“Perusahaan sebenarnya sudah mengikuti instruksi bupati, cuma memang terhambat karena adanya kasus Corona ini, sehingga aktivitas terganggu, dan tiba-tiba juga ada hujan deras,” katanya.

 

Tanggapan DLH Luwu Timur

Kepala Bidang Penataan Lingkungan DLH Luwu Timur, Nasir, yang dikonfirmasi terkait masalah ini menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan langkah-langkah taktis dan teknis dalam menginstruksikan pihak perusahaan untuk melakukan pengendalian dan pemulihan pasca meluapnya lumpur tersebut.

“Kami dari DLH bersama Babinsa, Kepala Desa Ussu dan Kepala Teknik Tambang PT. PUL juga sudah melakukan kunjungan lapangan pasca kejadian tersebut. Ada dua hal yang bisa kami simpulkan terkait kejadian tersebut,” katanya.

Pertama, penyebab utama kejadian adalah faktor alam, yaitu adanya curah hujan yang sangat tinggi di atas ambang normal. Kedua, bukaan lahan tambang PT. PUL yang telah dilengkapi dengan sediment pond tidak mampu menampung air curah hujan yang di atas ambang normal tersebut.

“Sehingga sediment pond menjadi overload yang menyebabkan limpasan air permukaan masuk dan menyatu ke daerah aliran sungai, yang kemudian menambah volume dan debit air sungai. Inilah yang menyebabkan banjir dengan luapan air di sekitar jalan trans Sulawesi tepatnya di samping SPBU USSU Malili,” jelas Nasir.

perlu dibaca : Cerita Perjuangan Warga Seko Pertahankan Wilayah Hidup [1]

 

Walhi Sulsel menilai IPAL atau sediment pond yang dibuat PT PUL tidak memadai dan lebih mirip seperti kubangan, sehingga kejadian serupa terus terulang terutama ketika hujan deras. Foto: Walhi Sulsel/Mongabay Indonesia.

 

Ia menambahkan bahwa sumber air yang paling banyak berasal dari pit tambang PT PUL di Blok E yang kemudian terakumulasi dan menyatu dengan aliran sungai yang berada di bagian bawah barat pit tambang, dengan panjang sungai sekitar 1,5 Km hingga di samping SPBU USSU dengan kategori sungai denritis.

Terkait kejadian ini, DLH kemudian memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, agar PT PUL segera meninjau ulang penempatan sediment pond yang tepatnya di atas badan air/sungai dengan melakukan kajian hidrologi sebagai syarat dalam mendapatkan izin pembuangan air limbah tambang dalam hal titik penaatan dan titik pantau.

Kedua, segera menambah 2 unit sediment pond dengan volume dan kapasitas sekitar 4000 meter kubik yang ada di sekitar Blok E dengan memperhatikan kondisi geomorfologi dan lanskap lahan.

Ketiga, PT. PUL tidak lagi menambah bukaan lahan di pit tambang Blok E tanpa ada kajian akademik yang memadai khususnya kajian hidrogeologi. Keempat, PT PUL segera melakukan koordinasi dengan Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional XIII Makassar dalam pembuatan Box Culvert melintas jalan Trans Sulawesi sebelum SPBU Ussu.

Kelima, PT. PUL segera dan wajib melaporkan kejadian tersebut kepada Bupati Luwu Timur dengan data curah hujan saat kejadian serta bentuk kegiatan yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan terkait kejadian tersebut, merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.9/2006 tentang Baku Mutu Air Limbah Aktivitas Tambang Nikel, Pasal 4 ayat 1 dan 2 poin a dan b.

 

Exit mobile version