Mongabay.co.id

Citizen Science, Gerakan Berbasis Masyarakat untuk Pelestarian Burung Liar

 

 

Pada 1960 hingga 70-an, gerakan melindungi lingkungan telah dilakukan masyarakat umum dunia guna membantu pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Partisipasi ini membantu proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, perusahaan, lembaga, dan pemangku kepentingan masa itu.

Gerakan itu terus bergulir hingga saat ini, dengan istilah moderennya citizen science atau ilmu pengetahuan warga. Istilah ini secara luas digunakan untuk menunjukkan partisipasi sukarela dalam pengumpulan informasi, berupa data hingga analisis yang dilakukan masyarakat umum.

Penelitian yang dilakukan Davi G.F Cunha dkk berjudul “Citizen science participation in research in the environmental sciences: key factors related to projects’ success and longevity” dalam jurnal An Acad Bras Cienc tahun 2017, menjelaskan bahwa citizen science meningkat dalam 10 tahun terakhir. Hal ini terlihat dari bertambahnya naskah dan teks akademik di Google Scholar mengenai citizen science: 2005 [17 dari 500 publikasi] dan 2012 [112 dari 500].

Baca: Burung Air, Kenapa Harus Disensus?

 

Tekukur biasa [Streptopelia chinsensis] yang sering terlihat di atas rumah. Foto: Fransisca N Tirtanigtyas/Mongabay Indonesia

 

Menurut Davi G.F Cunha dkk, saat itu masyarakat umum sudah ikut serta dalam pemantauan biologis di pesisir laut dan air tawar. Davi merasa, komitmen jangka panjang masyarakat dapat memberikan kualitas dan kuantitas data yang dikumpulkan.

Sejarah mencatat, ada kegiatan besar yang dinamakan “Christmas Bird Count”. Kegiatan ini dimulai pada Natal tahun 1900, ketika ahli burung, Frank M. Chapman bersama peneliti dalam organisasi Audubon Society melihat populasi burung semakin menurun karena perburuan. Maka dibuatlah kegiatan menghitung burung saat libur natal. Saat itu, hanya 27 pengamat burung yang ikut.

Ternyata, kegiatan mengamati burung berlanjut hingga sekarang. Data yang dikumpulkan masyarakat digunakan untuk melihat kesehatan populasi burung dan membantu aksi konservasi.

Baca: Andai Burung Air Hilang, Apa yang Terjadi pada Lingkungan?

 

Bondol haji [Lonchura maja] yang masih dapat dilihat di perkotaan. Foto: Fransisca N Tirtanigtyas/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana di Indonesia? Kegiatan citizen science juga dilakukan, salah satunya pemantauan populasi burung air. Namanya Asian Waterbird Census yang diinisiasi Wetland International sejak 1987. Awalnya, hanya dilakukan di subkontinen India yang terus meluas dari Asia, Afrika, Jepang, Asia Tenggara hingga Australasia. Ribuan masyarakat dari 27 negara berpartisipasi aktif.

Hasil dari kegiatan ini telah menumbuhkan kesadaran akan konservasi burung air, hingga mendukung kegiatan konservasi lahan basah tingkat lokal maupun internasional seperti the Ramsar Convention on Wetlands atau the Convention on Migratory Species [CMS].

Penelitian yang dilakukan Pramana Yuda “Pendekatan Citizen Science untuk Meningkatkan Penelitian dan Konservasi Burung di Indonesia” dalam makalah Konferensi Pemerhati dan Peneliti Burung Indonesia III, Universitas Udayana, Denpasar tahun 2017, menggambarkan citizen science untuk konservasi burung kebanyakan dilakukan pengamat burung yang ada di Indonesia.

Dari hasil penelitian dengan partisipan 102 orang, lebih dari 75 persen mengalami perubahan pengetahuan dalam mengidentifikasi jenis burung, status populasi, ekologi, perilaku, faktor ancaman, konservasi, dan teknik sensus. Dikarenakan kebanyakan partisipan mahasiswa, mereka juga berubah dalam hal tema penelitian dan pengamatan, pilihan bidang studi, hingga pengembangan karir, dan konservasi.

Baca: Catatan Akhir Tahun: Geliat Citizen Science, Upaya Menyatukan Data yang Belum Terkelola

 

Layang-layang batu [Hirundo tahitica] bertengger di kabel listrik perumahan. Foto: Fransisca N Tirtanigtyas/Mongabay Indonesia

 

Big Month

Januari 2020 ada kegiatan besar yang melibatkan citizen science di Indonesia. The 2020 Big Month, adalah aksi pengamatan burung bersama selama satu bulan penuh yang dikemas dalam bentuk kompetisi. Acara yang berkolaborasi antara Birdpacker, Indonesian Ornitologist Union [IdoU] dan Manchester Metropolitan University ini adalah kali pertama dilakukan di Indonesia, terbatas di Jawa dan Bali.

Peserta yang memantau burung dapat mengamati di semua tipe habitat, seperti perumahan, perkebunan, hingga taman kota yang berada di luar kawasan konservasi dengan ketinggian di bawah 800 m dpl.​ Setiap perjumpaan burung, dicatat dan dikirim melalui aplikasi Burungnesia.

Koordinator kegiatan The 2020 Big Month, Swiss Winasis mengatakan, citizen science dilakukan dengan keterlibatan langsung peserta mengumpulkan data burung dari lokasi-lokasi yang masih belum tereksplorasi.

“Saat ini banyak perburuan di Indonesia, apalagi di Jawa. Hutan-hutan di Jawa terlihat bagus, namun tidak ada burungnya. Hasil ini diharapkan menjadi dasar pengambilan kebijakan konservasi dan pengelolaan satwa liar di habitatnya di Indonesia,” jelasnya.

Swiss menambahkan, kegiatan ini banyak mendatangkan partisipan. Ada 373 orang dan 111 lembaga. Sekitar 550 jenis burung teramati di Jawa dan Bali sepanjang Januari 2020.

Baca juga: Cikalang Juga Menderita Bila Laut Tercemar

 

Atlas Burung Indonesia untuk burung bangau blowok. Sumber: Atlas Burung Indonesia/Swiss Winasis

 

Dosen Universitas Diponegoro Semarang, Karyadi Baskoro menambahkan, kegiatan ini didukung penuh pengajar dan pemerhati burung liar di Indonesia. Saat ini, tekanan terhadap jenis dan populasi burung liar cukup tinggi seperti perubahan habitat dan perburuan.

“Kegiatan ini dapat memantau keberadaan jenis burung di perumahan, perkebunan, atau taman kota. Habitat alamiah burung sudah banyak berubah atau hilang,” jelasnya.

Karyadi menjelaskan, peran burung secara ekologi sangat berguna, seperti sebagai pemakan hama. Misalnya di daerah persawahan, tidak ada burung pemakan serangga seperti jenis perenjak, cinenen, cici maka hama padi semakin tinggi. “Dengan pemantauan populasi jenis-jenis ini di seluruh Jawa dan Bali, tentunya berguna dalam hal perlindungan dari perburuan liar.”

 

Atlas Burung Indonesia untuk memetakan burung di Nusantara. Sumber: Atlas Burung Indonesia

 

Data yang terkumpul melalui The 2020 Big Month akan digunakan sebagai bahan utama penyusunan buku Atlas Burung Indonesia yiatu peta sebaran setiap jenis burung yang ada di Indonesia. Dibuat sejak 2013, atlas ini telah menghimpun lebih dari 8.000 records untuk 649 jenis burung, yang datanya berasal dari 1.800-anan relawan kontributor.

Sebagaimana The 2020 Big Month, Atlas Burung Indonesia juga menjadi kegiatan berbasis relawan. Tujuan utama pembuatannya, sebagai upaya pelestarian burung di alam Indonesia.

 

Referensi:

Cunha, D.G.F., Marques, J.F., De Resende, J.C, De Falco, P.B., De Souza, C.M., Loiselle, S.A. 2017. Citizen science participation in research in the environmetal scienes: key factors realted to projects’ success and longevity. An Acad Bras Cienc 89:2229-2245.

Hecker, S., Haklay, M., Bowser, A., Makuch, Z., Vogel, J. & Bonn, A. 2018. Citizen Science: Innovation in Open Science, Society and Policy. UCL Press, London. https://doi.org/10.14324 /111.9781787352339.

Yuda, I.P. 2017. Pendekatan citizen science untuk meningkatkan penelitian dan konservasi burung di Indonesia. Konferensi Pemerhati dan Peneliti Burung III, Universitas Udaya, Denpasar.

Http://atlasburung.web.id

Http://www.wetlands.org

 

 

Exit mobile version