Indonesia merupakan negara penting bagi burung air penetap maupun migran, jenis yang setiap tahun melakukan pengembaraan. Pantai Indonesia yang panjang, yang sebagian besar merupakan hamparan lumpur dan pohon mangrove, adalah berkah bagi makhluk bersayap ini untuk mencari makan.
Berdasarkan Buku Studi Burung Pantai terbitan Wetlands International Indonesia 2003, sekitar 19 lokasi lahan basah di Indonesia menjadi tempat mencari makannya burung air migran maupun tempat berbiaknya burung air penetap. Lokasinya membentang dari Sumatera hingga Papua, sebut saja Tanjung Bakung, Delta Musi Banyuasin, Muara Gembong, Pantai Kupang, Tanjung Sembilang, Pantai Utara Teluk Bone, dan Taman Nasional Wasur.
Yus Rusila Noor, Head of Programme Wetlands International Indonesia mengatakan, banyaknya burung air di Indonesia, baik penetap maupun pendatang, membuat kita harus melakukan penghitungan jenis dan jumlahnya. Agar teridentifikasi jelas. Tentunya, untuk melindungi kehidupan burung-burung tersebut.
“Apalagi, burung yang bermigrasi itu terbang dari tempat asalnya di Siberia, China, dan Alaska, ke selatan melewati daerah persinggahan di Asia Tenggara, Papua Nugini, Australasia, Selandia Baru, dan Kepulauan Pasifik.”
Untuk penghitungan burung air migran dan penetap, ada kegiatan bersama yang dinamakan Asian Waterbird Census (AWC) atau Sensus Burung Air Asia. “AWC bagian dari International Waterbird Census (IWC), kegiatan tahunan dengan basis jaringan kerja Citizen Science, bersifat sukarela. Pelaksanaannya minggu ke-2 dan ke-3 Januari setiap tahun,” jelasnya.
Baca juga: Menghitung Burung Pemangsa Migrasi, Bagaimana Caranya?
Yus, selaku Koordinator AWC di Indonesia menyampaikan, data yang dikumpulkan sejak 1980-an sangat membantu dalam hal perlindungan burung air dan habitatnya. Sejauh ini, hasil penghitungannya digunakan untuk menentukan populasi burung air secara global yang kemudian dijadikan acuan pengelolaan kawasan lahan basah seluas 5 juta km2. “Status 871 jenis burung air, pengembara dan penetap, yang telah teridentifikasi ini dikaji ilmiah untuk dilakukan perlindungannya.”
Di Indonesia sendiri, data mengenai populasi burung air digunakan sebagai acuan pengelolaan beberapa taman nasional, penentuan lokasi penting untuk Konvensi Ramsar dan East Asian Australasian Flyway Partnership, serta status jenis-jenis yang dilindungi. “Untuk taman nasional diantaranya adalah Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Sembilang, dan Taman Nasional Wasur,” jelas Yus.
Dalam laporan Status of Waterbirds in Asia: results of the Asian Waterbird Census 1987-2007 dinyatakan ada 243 lokasi yang telah diamati di Indonesia. Sebanyak 45 lokasi selalu dipantau dengan jumlah jenis teridentifikasi 130 jenis burung air penetap dan pengembara, serta beberapa jenis yang tidak termasuk burung air, seperti satu jenis burung cikalang, empat jenis burung pemangsa, dan empat jenis raja udang.
Sementara, berdasarkan pengamatan 2008 hingga 2015 yang tertuang dalam dalam Buku The Asian Waterbird Census 2008-2015: results of coordinated counts in Asia and Australasia, disebutkan, ada 98 jenis burung penetap dan pengembara dari 112 ribu individu yang teramati di Indonesia. Rinciannya, 80 jenis masuk kategori Risiko Rendah (Least Concern), 11 jenis Mendekati Terancam Punah (Near Threatened), 5 jenis Genting (Endangered), dan 2 jenis Rentan (Vulnerable). Untuk 2017, ada peningkatan sebanyak 142 lokasi dengan jumlah 103 jenis burung air penetap maupun pengembara yang terpantau.
Alito Rosa, partisipan Asian Waterbird Census asal Timor Leste, yang telah mengikuti kegiatan ini sejak 2016 mengatakan, keinginannya mengikuti sensus adalah untuk memberikan data selengkap mungkin mengenai burung air. Dengan mengumpulkan jenis dan individu dari 12 lokasi di Timor Leste, ia berharap dapat membantu konservasi burung air dan habitatnya.
“Di 2016, lebih dari 30 jenis burung air penetap dan pengembara yang jumlahnya mencapai ribuan individu terpantau. Saya mengirimkan data AWC ke Wetlands Internasional Indonesia sebagai lembaga yang peduli dengan konservasi burung air,” tuturnya.
Kehidupan burung air
Sejatinya, burung air banyak bergantung pada habitat lahan basah. Mulai dari mangrove dan hamparan lumpur, rawa rumput (grass swamp), savana dan rawa herba (herbaceous swamp) hingga lahan basah buatan seperti kolam, tambak, dan sawah.
Meski begitu, kehidupan burung air di lahan basah nyatanya tak luput dari ancaman. Mulai dari perubahan lahan untuk dijadikan kawasan hunian dan industri, perusakan habitat, hingga perburuan. Penggunaan racun dan pestisida dalam pertanian juga menjadi ancaman langsung kehidupan jenis ini.
Berdasarkan data yang pernah dikumpulkan Yus Rusila Noor, sejak 1984 hingga 1986, sebanyak 3 ratus ribu burung air ditangkap setiap tahun untuk dikonsumsi di wilayah pantura Jawa. Jenis yang diburu antara lain bambangan kuning (Ixobrychus sinensis) dan terik Asia (Glareola maldivarum). Keduanya merupakan burung air bermigrasi di Indonesia.
Menurut Yus, latar belakang penangkapan burung dalam partai besar itu berdasarkan argumen himpitan ekonomi masyarakat setempat. Meski begitu, perlindungan memang harus dilakukan. “Acuannya UU No 5 tahun 1990 dan PP No 7 tahun 1999. Selain itu Indonesia merupakan anggota CITES dan Convention on Biodiversity,” tandasnya.
Referensi:
Howes, J., Bakewell, D., Noor, Y.R. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Wetlands International-Indonesia Programme, Bogor.
Li, Z.W.D., Bloem, A., Delany S., Martakis G. and Quintero J. O. 2009. Status of Waterbirds in Asia – Results of the Asian Waterbird Census: 1987-2007. Wetlands International, Kuala Lumpur, Malaysia
Mundkur, T., Langendoen, T. and Watkins, D. (eds.) 2017. The Asian Waterbird Census 2008-2015 – results of coordinated counts in Asia and Australasia. Wetlands International, Ede.