Mongabay.co.id

Hendra Gunawan, Penjaga Asa Keberadaan Macan Tutul Jawa

 

Konservasi hanyalah satu dari seribu cara untuk memperlambat laju kepunahan kekayaan hayati yang tersisa di Jawa. Mungkin, alasan itulah, Hendra Gunawan, menyerukan pentingnya penelitian. Setidaknya, khazanah keilmuan dapat menekan laju kepunahan tak terlalu cepat terjadi.

Apalagi, di Indonesia. Beberapa spesies juga tinggal menunggu waktu untuk punah dan tidak mungkin lagi diselamatkan karena populasinya di alam tidak memungkinkan lagi berkembang biak. Kalau pun bisa berkembang biak, habitatnya sudah tak cukup daya mendukung keberlangsungan hidup satwa.

Oleh karena itu, Hendra berkeinginan agar pengetahuan konservasi mutlak diketahui banyak orang. Tujuannya, agar tak melulu ditafsirkan sebagai ilmu hafalan belaka.

Hingga akhirnya, Hendra Gunawan tercatat sebagai satu-satunya ilmuwan di Indonesia yang menyandang gelar kehormatan profesor riset konservasi macan tutul jawa. Nyaris tiga dasawarsa, bagi pria 56 tahun itu untuk mencapai “pucuk” karier penelitinya setelah dikukuhkan Majelis Pengukuhan Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 22 Juli 2019 lalu.

baca : Ironi Kematian Macan Tutul Jawa di Kampung Sudajaya

 

Hendra Gunawan ketika penelitian di Pulau Pejantan. Foto : Hendra Gunawan/Mongabay Indonesia

 

Mencengangkan juga memang, di hari-hari ini, masih ada orang yang menaruh kepercayaan pada arti penting pelestarian atau perlindungan sehingga mau meluangkan waktu selama itu. Ini juga menunjukan bahwa di negara yang kerusakan alamnya paling masif di bumi, masih saja ada segelintir orang yang punya harapan.

“Saya mengenal konservasi, seperti saya mengenal diri sendiri,” kata Hendra ramah bercerita kepada Mongabay-Indonesia Sabtu (11/4/2020) kemarin.

Duduk di bangku SMA 1 Cirebon, ia mengaku punya ketertarikan pada dunia alam belantara. Agaknya, sebagai anak petani, Hendra mafhum, jika tak ada hutan artinya tak ada sumber air bagi pertanian.

Pemahaman sederhana itu makin bertambah saat WWF Indonesia dan Yayasan Indonesia Hijau mampir ke sekolahnya untuk memutarkan film terkait hutan dan faunanya. “Selepas pertemuan itu, saya kepincut bercita-cita jadi peneliti yang kerjanya keluar masuk hutan, mengamati binatang seperti Alain Compost (fotografer hidupan liar),” kenang Hendra.

Keinginannya direncanakan matang. Meski bermodal pas-pasan. Hendra memilih jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1983. Bekal ilmu tentang satwa-satwa endemik dan pelestariannya membuat Hendra melangkah mantap.

“Saya tertarik meneliti macan tutul jawa pada semester 7, karena baru ada satu peneliti waktu itu di IPB,” ujar pria kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah. Skripsinya tentang habitat dan penyebaran habitat Panthera pardus melas di Jawa Tengah dan DIY perlahan menuntun Hendra, keluar masuk hutan.

baca juga : Sinyal Kuat Konflik Macan Tutul dan Manusia di Muria

 

Pemerintah Indonesia sejak 1970 telah melindungi macan tutul jawa yang diperkuat dengan dengan UU No 5 tahun 1990 dan PP No 7 Tahun 1999. Foto: Conservation International/Perhutani/YOJ

 

Hendra mengawalinya dengan mempelajari karakteristik macan tutul di tipe hutan pegunungan (Gunung Slamet dan Merapi), hutan dataran rendah (Nusakambangan), hutan jati (Kendal), hutan pinus (Banjarnegara bagian utara di Sigaluh), dan vegetasi karst (Gunung Kidul). Desertasinya didapatkan dari penelitian di Gunung Ciremai yang juga menghasilkan lima jurnal ilmiah.

Sejak saat itu dirinya akrab dengan jejak, bekas cakaran hingga feses. Sampai akhirnya merisaukan nasib top predator terakhir di Jawa itu. Alasannya, fauna ini satu-satunya spesies kucing besar di belantara Jawa, termasuk di Pulau Nusakambangan. Kerabat dekatnya, harimau jawa (Panthera tigris sondaica), dinyatakan punah pada awal tahun 1980-an.

Setelah lulus, Hendra pernah menjajal pekerjaan di perusahaan hak pengelolaan hutan (HPH) di Aceh Barat. Namun, itu tak berlangsung lama, hanya dua tahun. Alasannya, merasa tak enak hati.

Hal itu dimaklumi. Kala itu sedang pada masa kejayaan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam. Di tahun – tahun itu, bayangkan saja, setiap hari, hutan hilang seluas beribu kali lipat luas lapangan sepak bola. Meski, pekerjaannya mendatangkan kesejahteraan tapi dirinya merasa tak nyaman.

“Watak konservasi saya dididik bapak sedari kecil. Bertolak belakang dengan usaha bapak yang gigih menghijaukan hutan gundul,” ucapnya. Katanya, nilai ekonomi dari hutan yang tetap tegak akan jauh lebih besar dan jauh lebih panjang.

Itulah membuatnya keluar dari industri kehutanan tahun 1991. Dua tahun berselang, Hendra berhasil lolos pegawai negeri sipil dengan penugasan pertama sebagai peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Makassar, Sulawesi Selatan.

Tahun 2003 adalah waktu terbaik bagi Hendra. Dipindahtugaskan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (kini Badan Litbang dan Inovasi) di Bogor membuatnya fokus terhadap kasus macan tutul yang mengantarkannya menjadi sarjana tahun 1989 itu.

Karier penelitiannya terus berlanjut. Hendra pun menjadi anggota kelompok peneliti kucing besar di Badan Konservasi Dunia (IUCN) sejak 2013. Di tahun yang sama, dia juga mendirikan Forum Macan Tutul Jawa. Forum tersebut menghasilkan rujukan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa yang ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada 2016.

perlu dibaca : Pernah Dihormati, Macan Tutul Jawa Kini Dimusuhi

 

Hendra Gunawan saat serah terima Ketua Forum Macan Tutul Jawa (Formata) kepada Anton Ario. Foto : Hendra Gunawan/Mongabay Indonesia

 

Pekerjaan Rumah

Hendra yang sudah memiliki 23 hak kekayaan intelektual menyimpulkan bahwa macan tutul jawa adalah satwa endemik yang terabaikan. Meskipun sudah ditetapkan maskot Jabar dan pernah jadi simbol kemakmuran, namun keberadaan macan tutul bernasib muram.

Angka konflik 2001 – 2015 sebanyak 71 kasus konflik di Jabar merupakan bukti. Tanpa upaya konservasi dan minim dukungan regulasi terutama penataan kawasan bakal menjadi masalah krusial dalam menyelamatkan macan tutul jawa. Apalagi, fragmentasi habitat akibat perluasan aktivitas manusia belum mempertimbangkan kebutuhan ruang jelajah satwa ini makin sempit.

Laporan riwayat sebelumnya, cukup mengerutkan dahinya. Pada 1990-an penelitian macan tutul kalah pamor ketimbang gajah, harimau dan orangutan. Status keterancamannya terus meningkat dari vulnerable (1978), threatened (1988), indeterminate (1994), endangered (1996) dan akhirnya critically endangered pada 2008.

“Ancaman hari ini adalah fragmentasi lahan. Kantung populasi yang menciut beresiko mengalami kepunahan lokal karena habitat kecil, terisolasi, maupun terpecah-pecah,” katanya. Solusi menghentikan atau mengurangi konflik mesti melindungi habitat tersisa.

Apalagi, selama ini posisi Amdal di indonesia sering dianggap sebagai formalitas. Padahal, aturan tersebut merupakan salah satu instrumen pencegah kerusakan lingkungan dan kepunahan spesies jika serius membikinnya.

“Jadi sekarang saya aktif menyuarakan itu. Amdal yang mengintegrasikan keanekaragaman hayati,” terang Hendra. Satu bukunya, Aspek Biologi Amdal; Mengintegrasikan Keanekaragaman Hayati Dalam Amdal, diajarkan kepada mahasiswanya.

baca juga : Susah Payah Menyelamatkan Macan Tutul Jawa

 

Hendra Gunawan mengajarkan konservasi keaekaragamman hayati kepada generasi penerus melalui Taman Kehati.
Foto : Hendra Gunawan/Mongabay Indonesia

 

Sejak kasus macan tutul menyeruak, sejumlah organisasi memberikan perhatian untuk pelestariannya. Translokasi diusulkan sebagai jalan terakhir upaya penyelamatan.

Tetapi itu mahal, katanya. Perlu penelitian yang rumit dan berisiko. Masalahnya, pendataan jumlah spesies di alam pun masih sebatas estimasi.

Di sisi lain, Hendra pesimis. Pasalnya, daerah acapkali membuat lubang fragmentasi semakin menganga. Pembangunan mereka kerap mengesampingkan keberadilan dalam penataan ruang.

“Konflik ruang antara satwa dan manusia bermula dari habitat yang terfragmentasi. Proses penurunan kualitas dan kuantitas itu pelan, enggak terasa, tahu-tahu sudah jadi konflik.”

Agaknya, itu benar adanya. Belum lama ini Pemda Garut, merencanakan pembuatan Jalan Poros Tengah yang akan membentang sepanjang 8 kilometer, dan sebagian jalurnya melintasi hutan lindung di Gunung Cikuray. Kawasan konservasi itu merupakan rumah tersisa bagi satwa endemik termasuk macan tutul. Rencana itupun malah panen kecaman lantaran tidak dilengkapi izin.

Hendra bersepakat, pembangunan memang untuk mensejahterakan manusia. Tetapi, dibutuhkan wawasan agar tak asal-asalan. Minimalnya, tak menghabiskan hutan Jabar yang kini kadung keropos.

Di akhir perbincangan, Hendra teringat dongeng bapaknya yang selalu diceritakan menjelang tidur. “Dulu di hutan dekat kampung kami ada beragam satwa termasuk Harimau Jawa. Lewat cerita itu bapak mengajarkan untuk hidup harmonis. Ibarat muatan lokal yang sejak jaman kakek sudah ada.”

Agaknya, dongeng tersebut memudar seiring kepunahan satwa. Kini, Hendra hanya mendapati kisah masa depan Macan Tutul dan kerasnya pertarungan melawan manusia.

 

Exit mobile version