- Macan tutul (matul) Jawa yang mati di peternakan ayam Kampung Sudajaya Girang, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat 3 April 2020 lalu, seharusnya mengusik lembaga konservasi milik pemerintah lebih aktif melakukan perlindungan kucing besar tersisa di Pulau Jawa.
- Anakan macan tutul berumur kurang dari satu tahun itu diduga kelaparan dan makan sepatu boot berukuran 5 x 4 cm
- Lambatnya birokrasi menjadi menghambat penanganan macan tutul. Alhasil, penanganan pun dilakukan lebih dari 24 jam setelah macan tutul diamankan.
- Kejadian ini menambah konflik macan tutul dengan manusia yang belum terselesaikan secara komprehensif. Disamping makin besarnya degradasi hutan.
Matinya macan tutul (matul) Jawa di peternakan ayam Kampung Sudajaya Girang, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (3/4/2020) lalu, seharusnya mengusik lembaga konservasi milik pemerintah lebih aktif melakukan perlindungi kekayaan hayati tersisa di Pulau Jawa. Penanganan yang terlalu birokratis memicu masalah baru dalam penanganan satwa tercancam punah itu.
Menyedihkan. predator terakhir Jawa berumur kurang dari satu tahun itu diketahui memakan bagian sepatu boot, berukuran 5×4 cm. Sebelum akhirnya dinyatakan mati saat mendapat penanganan medis di Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor pada Sabtu (4/4/2020).
Pasca pembedahan, kesimpulannya, anakan matul nahas itu dinyatakan mati akibat syok dan dehidrasi karena mengalami perforasi atau radang pada lambung. Hasil nekropsi tersebut kemudian diunggah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar di media sosial Facebook pada Selasa (7/4/2020).
Kepala Sub Bagian Humas BBKSDA Jabar Halu Oleo, mengklaim penanganan matul sudah sesuai pelaksanaan standar operasional prosedur yang berlaku. Dia membantah, penanganan tak optimal akibat terhambat koordinasi.
“Itu tidak benar. Kami sudah menjalankan aturan dan segera turun langsung ke lapangan begitu ada informasi,” kata Halu saat dihubungi Mongabay-indonesia setelah rilis terbit.
baca : Aktivis Kecam Pembangunan Jalan Tanpa Izin di Habitat Macan Tutul
Omongan Oleo ini berbeda dengan kesaksian Volunteer Panthera, Firmansyah (41). Firmansyah malah menyesalkan, pemeriksaan matul dilakukan selang 18 jam setelah diamankan.
“Jumat pagi, saya ditelpon perihal adanya matul oleh pihak peternakan. Sebetulnya jam 9, kami sudah berhasil mengamankan matul menggunakan jaring,” kata Firman bercerita.
Matul diamankan di kandang ayam berukuran 30×150 cm supaya menghindari kontak langsung dengan manusia. Saat itu, kondisi anakan matul melemah. Kemudian dilaporkan ke pihak BKSDA Sukabumi dan Pusat Pelindungan Satwa (PPS) Cikananga.
Lokasi penemuan matul sebenarnya berada di luar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Firman menduga jaraknya ke TNGP sekitar 7 km.
“Habitatnya kemungkinan bukan dari TNGP melainkan di area perbatasan dengan PTPN II Sukabumi,” imbuhnya. Dugaan itu diperkuat penuturan warga sekitar yang ternaknya di mangsa sebelumnya.
Jumat pukul 14.00 WIB siang, pihak TNGGP Bidang PTPN tiba di lokasi, dan minta agar matul dibawa ke kantor TNGGP. Pihak BKSDA Sukabumi tak menyetujui.
Ironisnya, kata Firman, kedua lembaga negara itu malah berselisih tegang. Pihak TNGGP bersikukuh membawa matul ke kantor bidang, tanpa ada tindakan apapun.
Pemeriksaan matul baru dilakukan menjelang petang. Itupun tim medis dari PPS Cikananga terpaksa didatangkan. Sekitar 18.00 WIB, dokter hewan mendiagnosisi adanya virus (distemper kucing), dehidrasi, kondisi fisik sudah kepayahan, gigi taring bagian kanan bawah patah dan disarankan agar dirawat di klinik hewan untuk mendapatkan perawatan lebih memadai.
baca juga : Penyelamatan Macan Tutul Jawa Masih Terkendala Data
Rencana awal, matul akan dibawa pihak PPS Cikananga. Namun, terganjal restu. Keinginan pihak TNGGP, kukuh menunggu dokter hewan dari Loji dan dokter hewan dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, untuk menentukan keputusan.
Direktur PPS Cikananga Resit Sözer tidak terima dengan alasan itu dan kecewa dengan ruwetnya birokrasi. “Entahlah. Saya juga heran,” ujar Resit. Padahal dalam kondisi krusial seperti itu penanganan tepat dan cepat dibutuhkan.
TNGP bergeming. Karena tak diizinkan, matul hanya dipindahkan dari kandang ayam ke kandang lebih besar. Hingga Sabtu jam 09.00 WIB pagi, TNGGP malah memutuskan menyerahkan tanggungjawab ke BKSDA Sukabumi.
“Saat itu diputuskan dibawa ke Cikananga, tak beberapa lama saya ditelepon salah satu pejabat BBKSDA Jabar, menginstruksikan membawa matul ke TSI,” katanya. Pukul 13.00 WIB, akhirnya matul dibawa ke TSI.
Sebetulnya, jarak dari Kantor Bidang TNGPP ke Cikanangan hanya berjarak 37 km. Sedangkan jarak dari lokasi yang sama ke TSI berjarak 64 km. Secara hitungan waktu, lebih proposional Cikangana ketimbang TSI.
Ketika dikonfirmasi, Halu beralasan, TSI dianggap memiliki prasarana lebih lengkap dan memadai. Pernyataan itu disangkal Resit.
“Kami memiliki klinik perawatan dengan tiga dokter hewan. Segala tindakan medis bisa segera dilakukan. Toh, tahun lalu macan kumbang yang dilepasliarkan di TN Ciremai direhabilitasi di sini. Itupun atas arahan BBKSDA Jabar juga,” terangnya. Resit kecewa, “BBKSDA Jabar tak memberikan alasan jelas.”
perlu dibaca : Pernah Dihormati, Macan Tutul Jawa Kini Dimusuhi
Seandainya, prosedur penyelamatan dijalankan. Tupoksi Cikananga me-rescue satwa barangkali hasil akhirnya berbeda. Sebab, matul diketahui memuntahkan serpihan mirip plastik.
Tanpa adanya penanganan selama 24 jam, itu merupakan preseden buruk konservasi dalam negeri. Betapa lambatnya pengambilan keputusan hanya untuk menyelamatkan seekor anakan matul.
Makin ironis bahwa, konflik matul di Jabar, tak pernah diusut tuntas. Tahun lalu, misalnya, bangkai matul ditemukan di hutan produksi Pangalengan Kabupaten Bandung, kasusnya tidak ada kejelasan sampai saat ini.
Penanganan Tak Tuntas
Tanpa upaya penyelamatan, Jawa akan kembali kehilangan jenis kucing besar setelah kehilangan harimau jawa (Panthera tigris sondaica) di tahun 1980-an. Kehilangan top predator berarti memicu masalah baru.
Anggota Forum Pemerhati Macan Tutul Jawa, Erwin Wilianto, menilai pemerintah belum serius menangani konflik matul dengan manusia. Hal itu terlihat dari prosedur penanganan dan hasil akhir dari kasus-kasus konflik selama ini.
Dari kasus-kasus yang terjadi, penyelesaian konflik selalu berulang, matul ditangkap. Dalam teori konflik, matul akan terus berkurang dari alam. Artinya, jika tidak ada upaya konservasi yang utuh, kucing besar ini makin mendekati tubir kepunahan.
Erwin mencatat, di Jabar sudah lebih dari 50 kasus konflik terjadi selama kurun 10 tahun terakhir. Selama itu, penyelesaian konflik acapkali bersifat solusi jangka pendek, tanpa mitigasi konflik yang jelas.
Dia mencontohkan, jika matul diambil dari lokasi konflik, maka relungnya akan diisi oleh matul lain atau populasi mangsanya seperti babi akan meningkat dan memerusak tanaman warga.
“Maka setiap kasus harus diselesaikan dengan tuntas. Sudah bukan waktunya lagi dalam tahap belajar,” ucap dia.
baca juga : Susah Payah Menyelamatkan Macan Tutul Jawa
Kantung Populasi Terancam
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, pernah menghimpun data estimasi populasi matul di Jawa bersumber dari sejumlah organisasi yang terinventarisasi tahun 2003, 2005, 2007, dan 2009. Hasilnya, ada 155 ekor macan tutul di Jabar, 210 ekor di Jawa Tengah, dan 325 ekor di Jawa Timur.
Sejak 2016, matul masuk dalam 25 spesies prioritas konservasi untuk dipulihkan habitatnya melalui Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa. Dampaknya, diharapkan dapat memperbaiki kebijakan yang masih belum mempertimbangkan ruang hidup dan jelajah satwa.
Ruang itu menyempit seiring pertumbuhan penduduk dan meluasnya areal permukiman. Warga lalu mengembangbiakkan ternak di sisi luar hutan. Akibatnya, hutan di Jabar seluas 800.000 hektar, menjadi rumah tersisa bagi aneka satwa langka rentan terdegradasi.
Peneliti Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi KLHK, Hendra Gunawan, memandang, fenomena keluarnya matul dari habitatnya akan terus berulang. Selama ruang hidup satwa belum ditangani serius.
Hendra, merisaukan terdegradasinya luas dan kualitas habitat lambat laut memicu konflik berkepanjangan. Pertambahan populasi ini tidak diikuti dengan perluas ruang hidup. Faktanya, habitat Panthera pardus melas telah terpencar terfragmentasi.
Keluarnya matul, kata dia, dari hutan dengan membawa anaknya atau mencari teritori baru, menunjukan reproduksi macan tutul di alam berjalan baik. Sayangnya, habitatnya kini tak cukup luas untuk mampu menampung hidup mereka.
Tak kalah penting, lanjut Hendra, yaitu memitigasi masalah sosial – ekonomi masyarakat. Ini untuk menghindari permasalahan baru berupa konflik satwa yang membahayakan masyarakat maupun satwa.