Mongabay.co.id

Kebakaran Hutan dan Lahan di Aceh Harus Diwaspadai

Kondisi Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang tak pernah sepi dari perambahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Kebakaran hutan dan lahan [karhutla] masih menjadi masalah utama di Provinsi Aceh.

Data Badan Penanggulangan Bencana Aceh [BPBA] menunjukkan, luas hutan dan lahan yang terbakar pada Januari 2020, hanya 8,1 hektar. Namun, meningkat pada Februari [103 hektar] dan menjadi 139 hektar pada Maret 2020. Lokasi yang terbakar ini berada di Kabupaten Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Kota Langsa, dan Kota Lhokseumawe.

Di Kabupaten Aceh Jaya dan Nagan Raya, umumnya yang terbakar adalah hutan dan kawasan gambut sehingga tim mengalami kesulitan untuk memadamkan.

Baca: Nasib Suram Hutan Negeri, Ada Omnibus Law, Makin Buram

 

Kondisi Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang tak pernah sepi dari perambahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Pelaksana BPBA, Sunawardi, awal April 2020 mengatakan, periode Januari – Maret 2020, terjadi kebakaran sebanyak 156 kali. Naik hampir 100 persen dari tahun lalu, periode yang sama.

Sunawardi menyebutkan, partisipasi semua pihak termasuk masyarakat sangat penting. “Kebakaran menimbulkan kerusakan lingkungan, gangguan kesehatan hingga ekonomi, serta membuat citra buruk Indonesia. Upaya pencegahan tentunya sangat penting dengan menambah sarana dan prasarana” ujarnya.

Sunawardi mengingatkan, masyarakat atau korporasi akan dikenakan pasal berlapis jika kedapatan membakar lahan. Ada Pasal 187, 188 KUHP, Pasal 98, 99, dan 108 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Para pelaku juga bisa dikenakan pasal 108 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Dari semua aturan itu, pelaku diancam hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp10 miliar,” ujarnya.

Baca: Aceh Kehilangan Tutupan Hutan, HAkA: Sehari 41 Hektar

 

SM Rawa Singkil yang terus dirambah untuk dijadikan kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Data yang dirilis tim Geographic Information System [GIS] Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] menunjukkan, titik api di Aceh pada tahun 2019 mengalami penurunan dibandingkan 2018.

Data tersebut diunduh langsung dari situs Fire Information for Resource Management System [FIRMS], NASA. Terpantau ada 1.957 titik api dari sensor VIIRS di 2019, dan 3.128 titik api pada 2018.

“Menurun lebih dari seribu titik api dibandingkan 2018. Jika analisis menggunakan sensor MODIS, terpantau 255 titik api dibandingkan tahun sebelumnya. Ini membuktikan, Aceh berhasil mengendalikan karhutla di 2019,” ujar Manager GIS Yayasan HAkA, Agung Dwinurcahya.

Baca: Hutan Gambut, Benteng Alami Tsunami yang Tidak Diperhitungkan

 

Hutan Soraya di Kota Subulussalam, Aceh ini, bagian dari Ekosistem Leuser yang indah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Lahan kebun

Ismail Muhammad, warga Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, mengatakan, umumnya kebakaran hutan gambut di Aceh Jaya terjadi karena pembersihan hutan untuk dijadikan lahan kebun, khususnya sawit.

“Sebagian besar kawasan hutan dan lahan di Kecamatan Teunom adalah gambut. Ketika terbakar, api sangat sulit padam dan menyebar,” terangnya.

Di Aceh, lahan gambut yang kedalamannya kurang dari 100 sentimeter hingga lebih dari 300 sentimeter, didominasi gambut saprik dan hemik dengan luas total 267.150 hektar. Tersebar di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam. Namun, sebagian gambut itu mulai rusak akibat ekspansi perkebunan khususnya sawit.

Baca juga: Ruwetnya Urusan Hutan Adat di Aceh

 

Lahan gambut, harus bijak mengelolanya. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Monalisa, Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala dan Ketua Pakar Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera menyebutkan, meskipun secara umum hutan gambut di Aceh masih alami, namun perambahan untuk perkebunan, khususnya sawit, terus terjadi, perorangan maupun oleh perusahaan pemegang hak guna usaha [HGU].

“Hutan gambut yang tersebar di pantai barat dan selatan Aceh mulai rusak akibat perambahan,” terang Monalisa yang juga pembina Jaringan Masyarakat Gambut Aceh.

Dia mengatakan, pada dasarnya sawit sangat tidak cocok ditanam di hutan gambut. Selain tidak bagus, biaya produksi akan lebih tinggi dibandingkan tempat lain.

“Dulu, gambut merupakan hutan marjinal karena dianggap tidak produktif, sehingga harganya sangat murah, hal ini membuat perusahaan tertarik mengelolanya. Izinnya juga mudah dan wilayahnya belum terfragmentasi, sehingga perusahaan mudah mengelola,” ungkapnya.

Aceh, jika dibandingkan daerah lain, masih tertinggal dalam pengelolaan gambut lestari, termasuk belum memiliki peta gambut secara detil. Padahal, banyak tumbuhan bernilai ekonomi yang ramah terhadap gambut seperti sagu atau jernang yang tidak merusak sebagaimana sawit.

“Pemerintah Aceh harus berpikir mengelola gambut secara lestari, sehingga masyarakat sekitar bisa sejahtera,” tutupnya.

 

 

Exit mobile version