- Masyarakat Aceh telah mengelola hutan adatnya yang dipimpin Imum Mukim, julukan pimpinan adat yang membawahi beberapa desa.
- Sebelum Indonesia merdeka, Imum Mukim berwenang mengelola hutan, sungai, laut, areal persawahan, pasar, dan beberapa tempat lain. Ketika Indonesia merdeka, kewenangan untuk mengelola hutan, khususnya hutan adat dihilangkan meski posisi Imum Mukim dipertahankan.
- Imum Mukim Beungga, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Ilyas, mengaku bingung dengan kewenangan pengelolaan hutan adat yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Proses yang panjang dan bertele, membuat pihaknya hingga kini belum mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].
- Rapat Koordinasi Nasional Hutan Aceh tahun 2018 memutuskan, Pemerintah Aceh mengusulkan 13 mukim di Aceh untuk mendapatkan status hutan adat. Sebarannya di empat kabupaten: Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat, dengan total luas 145.250,24 hektar.
Masyarakat Aceh, pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dengan hutan. Turun-temurun, mereka mengelola hutan yang dikelola Imum Mukim, julukan pimpinan adat yang membawahi beberapa desa.
Sebelum Indonesia merdeka, Imum Mukim berwenang mengelola hutan, sungai, laut, areal persawahan, pasar, dan beberapa tempat lain. Imum akan memilih orang terpercaya berdasarkan pengalaman dan kearifannya menjalankan tugas itu.
Namun, ketika Indonesia merdeka, kewenangan untuk mengelola hutan, khususnya hutan adat dihilangkan. Meski, posisi Imum Mukim tetap dipertahankan, sebagai keistimewaan Provinsi Aceh.
Terkait kewenangan pengelolaan hutan adat yang diberikan pemerintah kepada masyarakat, Imum Mukim Beungga, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Ilyas, mengaku bingung. Ilyas mengatakan, proses yang panjang dan bertele, membuat pihaknya hingga kini belum mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].
“Kami tidak tahu dimana kendalanya, sehingga hutan adat yang diusulkan masyarakat adat Mukim Beungga dan beberapa mukim lainnya belum ada kabar,” jelasnya, dalam Diskusi Hutan Adat di Banda aceh, Rabu [11/9/2019].
Baca: Perhutanan Sosial di Aceh yang Masih Terbentur Kewenangan
Ilyas mengatakan, semua persyaratan yang diwajibkan telah diserahkan ke KLHK. Tim dari kementerian juga telah turun ke Mukim Beungga pada Maret 2017 untuk verifikasi.
“Masyarakat Mukim Beungga yang terdiri enam desa yaitu, Gampong [Desa] Lhok Keutapang, Alue Calong, Pulo Ie, Beungga, Krueng Seukek, dan Blang Malo ingin menyelamatkan hutannya agar tidak terjadi bencana banjir dan tanah longsor,” ungkapnya.
Menurut dia, keinginan masyarakat Mukim Beungga semakin kuat mengelola hutan adat setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi [MK] Nomor: 35 Tahun 2012 yang menyatakan, hutan adat berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara.
“Kami tidak akan mengubah fungsinya, ingin menjaga hutan lebih ketat. Adanya penetapan hutan adat di sekitar Mukim Beungga, maka Imum Mukim dan perangkat desa bisa mencegah atau melarang pengrusakan. Kami mengajukan seluas 19.988 hektar dan sudah tiga tahun ini kami bolak-balik Jakarta,” ujarnya.
Ilyas mengaku, pada 27 Juni 2019 beberapa Imum Mukim di Aceh langsung ke KLHK, mempertanyakan perkembangan perizinan itu. “Kata tim KLHK, Kabupaten Pidie sudah masuk peta indikatif, tapi sampai hari ini peta belum kami terima,” jelasnya.
Dia bingung dengan kondisi ini. Jawaban apa yang harus diberikan kepada masyarakat. “Paling saya katakan, tunggu beberapa hari lagi. Tapi, hingga kini tidak ada kepastian. Entah dimana nyangkutnya,” paparnya.
Baca: Perhutanan Sosial di Aceh, Bisakah Diterapkan?
Sejumlah persyaratan
Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat [JKMA] Aceh, Zulfikar Arma menyampaikan, pada Rapat Koordinasi Nasional Hutan Aceh tahun 2018, Pemerintah Aceh mengusulkan 13 mukim di Aceh untuk mendapatkan status hutan adat.
Ia menyebutkan, total yang diusulkan kepada Menteri LHK sekitar 145.250,24 hektar. Sebarannya di empat kabupaten: Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Rinciannya, 144.497,27 hektar dalam hutan dan 752,95 hektar di luar kawasan.
“Usulan hutan adat untuk Mukim Beungga, Kunyet, dan Paloh mulai 2016. Kemudian di tiap tahunnya ada beberapa kali pertemuan kami lakukan dengan pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat, di Direktorat PKTHA [Pengaduan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat],” ujar Zulfikar.
Zulfikar menambahkan, pada 2017 ada surat perintah dari KLHK ke Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan [BPSKL] Wilayah Sumatera untuk melakukan verifikasi.
“Sebenarnya, jauh sebelumnya sudah dilakukan verifikasi. Tapi, sampai sekarang belum ada tanda-tanda pemerintah pusat melakukan penetapan hutan adat,” paparnya.
Baca juga: Hutan Aceh yang Masih Bersahabat dengan Kerusakan
Win Rama Putra, Kepala Bidang Planologi Kehutanan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh, menuturkan dalam regulasi penetapan hutan adat ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. “Pemerintah sebenarnya konsen terhadap hutan adat. Cuma mungkin, selama ini formulanya belum kita temukan,” ujarnya.
Menurut dia, semua komponen harus duduk bersama menyelesaikan persoalan ini. “Dengan begitu, kita bisa mendorong apa yang kita usulkan dan sejauhnya kemajuannya,” tandasnya.