Mongabay.co.id

Menjaga Kelestarian Rajungan, Kakap, dan Kerapu

 

Pemanfaatan yang tepat dan terkendali dinilai akan menjadi kunci kelestarian tiga komoditas perikanan yang menjadi andalan untuk pasar ekspor. Dengan pemanfaatan yang tepat, kelestarian ketiga komoditas tersebut diharapkan akan tetap aman berada di dalam wilayah perairan laut di seluruh Indonesia.

Tiga komoditas yang dimaksud, tidak lain adalah rajungan, kakap, dan kerapu. Ketiga komoditas tersebut, menurut data yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menyumbangkan devisa untuk Negara hingga mencapai angka Rp5,4 triliun setiap tahunnya.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, ketiga komoditas tersebut menjadi andalan untuk pasar ekspor, baik yang dikirim dalam bentuk hidup, beku, dan ataupun dalam bentuk olahan lainnya. Selain itu, produk perikanan tersebut juga ternyata selama ini sudah menjadi sumber pendapatan bagi nelayan skala kecil.

“Ikan-ikan ini dominan ditangkap oleh nelayan skala kecil. Namun, adanya perilaku konsumen dan besarnya permintaan pasar, mengakibatkan eksploitasi yang berlebih. Sehingga berdampak pada penurunan stok rajungan, kakap, dan kerapu,” jelas dia di Jakarta, belum lama ini.

baca : Prinsip Keberlanjutan untuk Penyelamatan Kepiting dan Rajungan, Seperti Apa?

 

Kepiting Rajungan menjadi sumber mata pencaharian utama nelayan di Desa Bonto Bahari, Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros, Sulsel. Keberadaan mangrove turut melestarikan kepiting, meski kini terancam dengan rencana konversi mangrove ke tambak. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Agar ancaman penurunan populasi terhadap tiga komoditas tersebut tidak menjadi kenyataan, Pemerintah dalam beberapa waktu terakhir menyusun strategis untuk pemanfaatan (harvest strategy) pengelolaan perikanan rajungan, kakap, dan kerapu. Penyusunan itu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP.

Setelah penyusunan yang memakan waktu yang lama, strategi pemanfaatan tersebut diluncurkan oleh KKP beserta dengan lembaga pengelola perikanan wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (LPP WPPNRI).

Edhy Prabowo menjelaskan, strategi pemanfaatan perikanan tiga komoditas tersebut diluncurkan, karena Pemerintah ingin menjamin masa depan kedaulatan pangan hingga bisa tetap dinikmati oleh generasi berikutnya tanpa ada batasan waktu.

“Selain itu, komoditas yang berlabel lingkungan juga mampu meningkatkan daya saing produk (perikanan) Indonesia di pasar global,” tutur dia.

Dengan adanya strategi pemanfaatan pengelolaan, Edhy berharap aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan bisa dilakukan lebih baik lagi dari sejak sekarang. Selama ini, aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan memang berpotensi bisa merusak tiga komoditas tersebut.

Oleh itu, dengan melakukan pengendalian dan pengaturan dengan cara yang sedemikian rupa melalui strategi pemanfaatan pengelolaan, maka diharapkan nelayan tidak akan lagi bebas saat menangkap ikan. Saat berada di laut, nelayan akan dibiasakan untuk menerapkan batasan ukuran penangkapan ikan dengan berat minimal 500 gram dan panjang karapas rajungan minimal 10 sentimeter.

baca juga : Budi daya Lobster Bisa Dilakukan di Seluruh Indonesia

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo panen lobster saat berada di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP

 

 

Acuan Berkelanjutan

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar pada kesempatan sama menyatakan, kehadiran strategi pemanfaatan pengelolaan perikanan rajungan, kakap, dan kerapu diharapkan bisa menjadi acuan praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab untuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

Acuan tersebut harus dijalankan, karena dari 11 WPPNRI yang ada sekarang, antara satu dengan yang lainnya memiliki karakteristik yang berbeda dan itu menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah dan juga para pemangku kepentingan di sektor perikanan.

Menurut Zulficar, WPP NRI saat ini sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai basis spasial pembangunan kelautan dan perikanan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) untuk periode 2020-2024. Penetapan itu akan menguatkan peran LPP WPPRI menjadi sebagai wadah penting untuk melaksanakan koordinasi.

“Untuk mengusulkan arah pengelolaan perikanan, bukan sebagai eksekutor kebijakan. Pengambilan kebijakan perikanan tetap dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan,” tegas dia.

Zulficar mengungkapkan, saat ini perikanan rajungan Indonesia sudah menempati urutan tiga nilai ekspor hasil perikanan, setelah tuna dan udang. Perolehan itu dipertegas dengan sumbangan nilai ekspor yang mencapai angka Rp4,6 triliun per tahun.

Adapun, negara tujuan ekspor untuk komoditas rajungan hingga saat ini masih didominasi Amerika Serikat yang mencapai 71 persen, Jepang dengan 9 persen, dan Malaysia dengan 7 persen. Dengan nilai ekspor dan produksi seperti itu, pekerja pada industri rajungan berhasil menyerap hingga 275 ribu orang di Indonesia.

perlu dibaca : Menjaga Ketersediaan Benih Lobster dan Keberlanjutan Lingkungan

 

Lobster hasil pembesaran di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP

 

Dengan fakta itu, Zulficar menyebutkan kalau strategi pemanfaatan untuk pengelolaan perikanan rajungan yang berkelanjutan sangat penting untuk diterapkan. Salah satu yang menjadi pertimbangan utama, adalah karena aspek ekologi dan ekonomi. Dengan kata lain, menjaga kelestarian juga menggenjot produksi harus bisa berjalan beriringan.

“Selain membatasi ukuran minimum karapas dengan lebar 10 sentimeter, juga pada izin kapal penangkap ikan yang harus terdaftar agar mudah pengendaliannya,” jelas dia.

Selain rajungan, perikanan kakap juga menjadi salah satu primadona untuk sektor perikanan Indonesia. Selama ini, perikanan kakap sudah berkontribusi dengan memasok hingga 45 persen kebutuhan Kakap untuk pasar global. Itu artinya, Kakap sudah meyumbangkan devisa sebesar Rp200 miliar per tahun.

Sementara untuk perikanan kerapu, KKP mencatat bahwa Indonesia sudah menempati urutan nomor dua sebagai produsen kerapu terbesar di dunia. Torehan itu berhasil dicapai, karena Indonesia mencatatkan nilai ekspor hinga Rp567 miliar per tahun untuk ekspor kerapu ke pasar global. Adapun, pada 2018 ekspor kerapu mencapai volume 6.794 ton.

 

Eksploitasi Stok

Torehan luar biasa yang dicapai setiap tahun untuk ketiga komoditas tersebut, menurut Zulficar langsung berdampak pada ketersediaan stok yang ada di alam. Dengan jumlah permintaan yang terus meningkat, itu secara otomatis akan mendorong intensitas eksploitasi penangkapan, sehingga berpotensi menurunkan stok dan sekaligus merusak habitat alami di laut.

“Untuk itu, agar pemanfaatan potensi perikanan kakap dan kerapu terus optimal, Pemerintah perlu mengatur dan mengendalikan penangkapannya. Tak hanya pada ukuran dan berat minimal, namun juga dari pengunaan alat penangkapan ikan yang selektif,” pungkas dia.

Berkaitan dengan pemanfaatan Rajungan, KKP sebelumnya sudah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia. Namun, Permen tersebut saat ini sedang dalam proses revisi untuk penyesuaian.

Salah satu penyesuaian itu, adalah untuk mengatur tentang pemanfaatan benih lobster (BL) yang sempat menjadi kontroversi di awal kepemimpinan Edhy Prabowo. Tetapi sayang, revisi tersebut diduga kuat mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan dan pelibatan masyarakat pesisir dalam proses penyusunannya.

baca juga : Hilangnya Aspek Lingkungan dalam Tata Kelola Pemanfaatan Lobster

 

Benih lobster yang dilakukan pembesaran hasil pembesaran di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP

 

Dugaan itu sudah diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati belum lama ini. Menurut dia, dalam naskah revisi yang sudah dibahas itu, Pemerintah Indonesia justru mengedepankan kepentingan pengusaha ketimbang aspek lingkungan dan masyarakat pesisir.

“Dari sisi nomenklatur, Permen yang baru bernama Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia,” ucap dia.

Menurut Susan, jika Permen yang baru nanti disahkan, maka Permen yang lama tidak akan berlaku dan itu berarti aturan mengenai pelarangan ekspor BL yang sejatinya sudah berlaku melalui Permen KP 56/2016, akan otomatis berubah menjadi aturan ekspor BL.

Bagi Susan, perubahan arah tersebut tak hanya akan memberi keuntungan yang besar bagi pelaku usaha benih lobster saja, namun juga pelaku usaha kepiting, dan rajungan. Dengan adanya Permen KP 56/2016 pun, ketiga komoditas tersebut selama ini selalu menjadi andalan bagi para pelaku usaha untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.

“Signifikansi Rapermen tersebut sesungguhnya hanya berfokus pada pencabutan larangan ekspor benih lobster dan pengubahan ukuran minimal lobster, kepiting, serta rajungan yang menguntungkan pihak tertentu saja,” jelas dia.

 

Exit mobile version