Mongabay.co.id

Perempuan yang Hidup di Lahan Gambut

Purun seluas lebih kurang 20 hektar di lokasi perusahaan tambang permata yang ditolak masyarakat Desa Tanggul Dalam, Banjar Baru, Kalimanatan Selatan. Foto: Elviza Diana

 

 

 

 

Rumah produksi anyaman purun di Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, tampak berbeda di masa pademi Virus Corona ini. Biasanya, purun–sejenis rumput di lahan gambut ini–bertebaran, sementara ini berganti kain-kain perca.

Maryulis, bersama perempuan-perempuan lain sedang bikin masker kain untuk warga maupun pesanan dari luar desa. Desa yang masuk Program Desa Peduli Gambut ini, pada 2018 mendapatkan bantuan mesin jahit dari BRG.

Mereka mendapat kunjungan Komandan Koramil 402-02/Pedamaran, Kapten Infantri Pianto dan ibu-ibu persit untuk belajar membuat masker.

Perempuan-perempuan di Desa Temiang, Kabupaten Bengkalis dan Desa Sarang Burung Danau, Kecamatan Jawal, Sambas, Kalimantan Barat dan desa peduli gambut yang lain juga lakukan hal serupa untuk pencegahan penularan Virus Corona. Para perempuan ini juga membuat jamu dari bahan rimpang-rimpang.

”Tanaman rimpang ini kami ambil dari kebun tanaman obat keluarga yang ditanam di pekarangan rumah, dengan pupuk alami,” kata Rita Afriana, dari Desa Pedekik, Bengkalis, Riau, dalam diskusi virtual Perempuan di Lahan Gambut, Senin (20/4/20).

Kekuatan dan solitaritas kaum perempuan ini tak hanya terjadi saat pandemi Corona. Gerakan perempuan ini memang sudah terjalin sejak ada upaya restorasi, bahkan jauh sebelum itu.

Myrna Safitri, Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG mengatakan, mungkin orang melihat masker hanya pelindung diri menghadapi ancaman virus. Faktanya, masker dan jamu sebagai alat pemersatu gerakan perempuan di desa-desa gambut.

“Perempuan memiliki solidaritas tinggi dan kekuatan untuk menggerakkan perubahan, khusus pada pola hidup bersih dan sehat,” katanya.

Ia bahkan jadi simbol gerakan perempuan di desa-desa, yang memiliki peran penting dalam melindungi dan memulihkan lahan gambut.

 

Kelompok Mekar Sari tanam nenas pada lahan gambut. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Data BRG, ada 773 petani perempuan dan perajin yang tergabung dalam pemberdayaan masyarakat tersebar di tujuh provinsi prioritas. Total, ada 25 orang (33%) perempuan jadi fasilitator Desa Peduli Gambut.

Akhir 2019, BRG mengukur Indeks Desa Peduli Gambut (IDPG) pada 257 desa dengan 172 perkembangan status dapat dilihat.

“Hasilnya, desa yang didampingi fasilitator perempuan, 65% mengalami peningkatan status, hanya 5% mengalami penurunan status,” kata Myrna.

Desa yang didampingi fasilitator laki-laki, 66% mengalami peningkatan status dan 6% turun status.

Desa dampingan fasilitator perempuan, 15 dari 16 desa atau 94% tetap berstatus adaptif, pulih dan berdaya. Desa dampingan fasilitator laki-laki hanya 24 dari 33 desa atau 73% dengan status sama.

Myrna bilang, belum mendalami penyebab hasil seperti ini. Dia pun mempersilakan para peneliti untuk riset, terutama pegiat ekofeminisme.

”Selama ini, perempuan yang jadi fasilitator menunjukkan profesionalisme dan mampu membangun partisipasi warga di desa dampingan.”

Secara menyeluruh, status IDPG dampingan fasilitator desa berdasarkan gender, yaitu, laki-laki: 23% adaptif, 38% pulih, 24% berdaya, 4% sangat rentan dan 11% rentan. Kemudian, perempuan, 27% adaptif, 31% pulih, 29 % berdaya, 3% sangat rentan, dan 10% rentan.

Angka ini terlihat dari capaian rencana kerja restorasi gambut sebelum dan setelah dampingan BRG, Adapun kategori ini seperti pada indeks desa membangun yang dibuat Kementerian Desa.

Sejak 2017-2019, persentase fasilitator perempuan mengalami kenaikan, 13 orang pada 2017, 2018 (20) dan 2019 (25).

Dari 257 desa peduli gambut dampingan BRG sejak 2017-2019 mengedepankan kebijakan pengamanan sosial pada kelompok masyarakat rentan, seperti perempuan, anak-anak, dan kelompok miskin.

Pada saat tahapan pemetaan sosial, analisis gender jadi bagian penting dalam penentuan kebijakan yang hendak dijalankan dan perempuan mendapat perhatian khusus dalam penyampaian informasi dan pelaksanaan konsultasi.

Peran perempuan, katanya, tidak lagi timpang. Perempuan terlibat mulai perencanaan desa, pemetaan partisipatif dan penyusunan peraturan desa, pemberdayaan ekonomi kelompok (kerajinan dan pangan sehat). Juga, sekolah lapang petani, pengelolaan kebun contoh pertanian alami dan tanpa bakar dan paralegal desa.

Yuti Ariani, peneliti dari Nanyang Technological University mengatakan, peran-peran perempuan itu jadi sentra dalam kehidupan pedesaan karena menghubungkan berbagai macam sistem sosial di masyarakat.

Penelitian dia di Desa Sinar Wajo, Jambi, misal, perempuan yang jadi anggota masyarakat peduli api memiliki peran penting dalam sistem informasi ketika terjadi kebakaran. Mereka mampu menghubungkan berbagai keragaman tipe masyarakat.

Enik Maslahah, Dinamisator Desa Peduli Gambut Wilayah Kalimantan Selatan mengatakan, perempuan dan anak muda memiliki kekuatan guna mendukung pemulihan lingkungan, terutama di gambut.

“Pemberdayaan perempuan dan anak muda dalam Desa Peduli Gambut berupaya memberikan pengakuan positif pada isu perempuan, seperti kesetaraan perempuan dan laki-laki pada peran sosial, ekonomi, dan politik pada aktifitas restorasi gambut.”

Bagi Enik, pemecahan masalah kerusakan ekologi gambut harus memperhatikan sudut pandang perempuan. Kesetaraan gender, katanya, memiliki peranan penting dalam restorasi gambut secara berkelanjutan.

Untuk itu, dia pun mengharapkan ada penguatan pemerintah daerah dan desa untuk keberlanjutan restorasi gambut dengan mengedepankan perspektif kesetaraan gender.

 

Lahan gambut di Desa Perigi Talang Nangka ini selama puluhan tahun menjadi sumber ikan, seperti dilakukan ibu ini yang mendapatkannya dengan cara memancing. Foto: Taufik Wijaya

 

 

Larangan bakar lahan 

Peraturan pemerintah terkait larangan membakar jelas berdampak bagi masyarakat desa. Mereka menuruti dan menerima situasi ini. Sayangkan, aturan tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak mereka dalam mengelola lahan.

BRG bersama petani perempuan pun mengedukasi soal pentingnya untuk pengolahan lahan gambut tanpa bakar guna . pencegahan kebakaran hutan dan lahan. “Mereka juga kami ajari tentang cara mengolah lahan tanpa bakar karena mereka juga terkena dampak jika terjadi kebakaran besar,” kata Myrna.

Menurut Myrna, sejak awal dalam menyusun kebijakan kerangka pengamanan sosial melibatkan perempuan, antara lain pemetaan partisipatif, perencanaan desa dan penyusunan peraturan desa. Walau begitu, katanya, mengarusutamakan perspektif gender baru tahap awal di regulasi lokal seperti peraturan desa.

“Kita bantu membuat regulasi-regulasi desa, dalam berbagai pelatihan diingatkan, perempuan harus terlibat dalam pembuatan regulasi. Kenapa? Karena mainstream kultur kita memang belum menempatkan perempuan di porsi yang tepat. Saya kira hal itu memang penting untuk diperhatikan,” kata Myrna.

Melalui pelibatan perempuan dalam upaya mitigasi kebakaran lahan, misal, lewat sekolah lapang petani gambut (SPLG) hingga mampu memperkenalkan pertanian alami dengan membangun lumbung pangan di tingkat desa.

Ida Aju Pradnja Resosudarmo, peneliti dari Australian National University menyebutkan, perempuan, termasuk di Indonesia, tergantung penghidupan secara langsung maupun tidak langsung pada hutan dan lahan. Serta memiliki peran dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkesinambungan.

Dalam penelitian soal perempuan dan pengelolaan gambut di Pulang Pisau, Kalteng pada Oktober 2019-Februari 2020 memperlihatkan, perempuan ‘menerima’ pelarangan membakar, meski bukan berarti mereka menyetujui. Mereka lebih takut sanksi atas pelanggaran aturan.

Pengaruh dari kebijakan pelarangan membakar lahan pada perempuan ini, katanya, memberikan dampak pada rumahtangga. Yakni, membatasi cara bertani rumah tangga, mengurangi ragam sumber penghidupan rumah tangga, misaln, tidak bisa menanam padi karena lahan gambut harus dibakar untuk kesuburan padi. Juga bagi masyarakat yang mampu pakai alat itu bisa meningkatkan biaya produksi.

Kebijakan itu, katanya, membatasi kegiatan pertanian pada komoditas tertentu, misal, rumah tangga yang biasa swasembada beras, harus membeli dan mencari sumber penghidupan untuk pemenuhan kebutuhan beras, salah satu jadi buruh sawit. Bagi yang tak menanam padi, dampaknya pada kesulitan dalam perluasan kebun.

 

Keterangan foto utama:  Perempuan di Kalimantan Selatan, memanfaatkan purun yang tumbuh di lahan gambut. -Foto: Institut Bentang Meratur

 

Hutan gambut di Kalimantan Tengah yang potensinya harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version