Mongabay.co.id

Memaknai Hari Bumi di Tengah Wabah Corona

Indahnya melihat langit biru Jakarta, dengan awan putih mengarah. Sedih, karena menikmati keindahan ini harus di masa pandemi Corona... Hari-hari biasa, langit dan udara Jakarta, penuh polusi...Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Kala pagi hari memandangi langit Jakarta, cerah. Langit biru. Awan putih berarak. Rasanya tak percaya itu langit Jakarta. Hari-hari normal, melihat langit Jakarta, biru dan awan putih seakan mimpi. Jalanan Jakarta, biasa padat merayap pun jadi lengang. Pandemi Corona, memaksa—setelah ada penetapan status tatus Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak 10 April lalu—dan mewajibkan warga berdiam diri di rumah, mengurangi beragam aktivitas di luar, di kantor dengan bekerja dari rumah alias dikenal dengan istilah work from home (WFH).

Di Indonesia, sampai 22 April 2020, orang terinfeksi 7.418 orang, dengan pasien meninggal dunia 635 dan 913 orang sembuh. Terinfeksi terbanyak di Jakarta.

Tak hanya di Indonesia. Virus Corona sedang melanda bumi. Di berbagai belahan dunia, Corona menyerang tanpa mengenal ampun, negara maju, negara miskin, semua kena. Ada sekitar 2,5 juta orang positif terinfeksi virus ini. Sudah sekitar 180.000-an orang meninggal dunia, terbesar Amerika Serikat, sekitar 45.000 orang. Manusia pun mengurangi beragam aktivitas di luar, berdiam diri di rumah. Bumi sedang leluasa bernapas?

“Peringatan Hari Bumi kali ini memberikan semangat bagi kita untuk memelihara bumi jadi makin lebih baik,” kata Ruandha Agung Sugadirman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam diskusi online di Channel Youtube Energy Academy Indonesia. Hari ini, 22 April 2020, tepat 50 tahun peringatan Hari Bumi.

Pemanasan global dan perubahan iklim, katanya, sudah jadi bagian kehidupan di bumi. Hasil penelitian para ahli, katanya, menyatakan, perubahan iklim terjadi karena kegiatan manusia. Karena itu, manusia pula yang harus mengubah keadaan ini secara global, bersama-sama.

Pandemi global Corona ini, yang melanda setidaknya 213 negara, disusul kebijakan lockdown di berbagai negara dan PSBB di Indonesia, membuat Presiden Joko Widodo menetapkan ini sebagai bencana nasional.

Karantina wilayah yang membatasi aktivitas manusia, mobilitas juga berkurang, aktivitas ekonomi menurun, kata Ruandha, telah mengubah wajah bumi.

“Polusi udara menurun, kita bisa melihat Gunung Salak dan Pangrango dari Jakarta. Industri yang menimbulkan getaran berkurang. Getaran lemah lempeng bumi mudah terdeteksi,” katanya.

Ruandha juga mengingatkan komitmen Indonesia melalui nationally determined contributions (NDC) mau menurunkan emisi 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Emisi terbanyak di Indonesia, katanya, dari sektor kehutanan 17,2%, kedua, energi 11%.

“Ini kesempatan kita meninjau kembali komitmen [Indonesia] di internasional. Indonesia perlu integrasikan rencana untuk membangun ketahanan ekonomi, sosial, ekosistem dan lingkungan melalui pembangunan rendah karbon,” kata Ruandha.

Begitu juga pentingnya negara-negara mengambil momentum pandemi untuk jadikan dunia lebih berketahanan terhadap dampak perubahan iklim.

Dalam COP25 di Madrid lalu, katanya, Indonesia juga sudah diminta meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, salah satu dengan phasing out coal.

“Planet hanya satu. Tak ada planet B. Jadi, mari kita bertindak konkret dan realistis sekarang juga. Hari ini kita mulai upaya kita hingga bumi ke depan makin nyaman untuk dihuni.”

 

Sayur hasil tanam sendiri. Berkebun di rumah. Foto: Sapariah Saturi/ Mpngabay Indonesia

 

Gaya hidup

Nana Firman, aktivis lingkungan dan iklim kini jadi Outreach Director for Greenfaith mengingatkan, dampak perubahan iklim sangat signifikan terhadap kegiatan manusia, terutama untuk ketersediaan air, pangan dan kesehatan manusia.

Beberapa dampak perubahan iklim seperti kekeringan, suhu tinggi yang menyebabkan kebakaran hutan membuat gagal panen dan krisis air. Selain itu, bencana alam juga makin meningkat.

Kenaikan permukaan air laut juga berpotensi menenggelamkan beberapa negara, kata Nana, akan menimbulkan banyak migrasi dan rentan menimbulkan konflik sosial.

Sejak 2008, katanya, setengah dari penduduk bumi tinggal di perkotaan. Praktis saat ini jauh meningkat. Akibatnya, jejak ekologis juga makin tinggi karena kebutuhan sumber daya perkotaan dipasok dari luar kota atau pedesaan yang memerlukan transportasi untuk membawa pangan dan produk lain ke kota.

“Krisis ekologi dan perubahan iklim kemudian menjadi krisis moral,” katanya.

Lantas apa yang bisa kita lakukan? Saat ini, kata Nana, perlu mengubah gaya hidup jadi lebih ramah bumi, mulai dari penggunaan air lebih efisien, tak menyisakan makanan hingga jadi sampah, atau membuat kebun sendiri maupun komunal.

“Kelangkaan pangan ini mengkhawatirkan karena banyak gagal panen. Masih banyak kelaparan di bumi. Ironisnya, banyak juga sampah makanan. Sepertiga dari produksi pangan dunia berakhir jadi sampah. Kalau dikumpulkan bisa jadi solusi kelaparan di dunia,” kata Nana.

Sisa makanan atau sampah organik lain juga bisa dibuat kompos untuk kebun sendiri maupun komunitas. “Ini juga bisa jadi bagian Climate Action, karena sisa sampah organik menghasilkan gas metan yang jadi bagian dari gas rumah kaca. Composting bisa mengurangi gas metan.”

Urban farming atau community garden, kata Nana, bisa memproduksi sayuran untuk konsumsi sehari-hari hingga mengurangi transportasi untuk membawa bahan pangan dari satu tempat ke tempat lain.

Dari sektor energi, katanya, mengingat listrik sebagian besar masih bersumber fosil, perlu disikapi dengan efisiensi energi dengan mematikan sumber listrik tak terpakai, mengganti bohlam lampu dengan lebih hemat energi, dan membeli barang elektronik lebih ramah lingkungan.

“Kita juga bisa eksplor bagaimana bisa gunakan renewable energy, misal solar panel.”

 

Turbin PLTB Sidrap pada pagi hari, nampak dari atas. Foto: Zainal/ Mongabay Indonesia

 

Energi terbarukan

PLN juga menyatakan ikut berkontribusi pada energi rendah emisi. Komang Parmita, Executive Vice President PLN mengatakan, PLN sudah menjalankan mitigasi perubahan iklim di internal PLN.

Saat ini, tercatat 16,200 pembangkitan listrik di Indonesia dengan kapasitas 42 gigawatt dialirkan dengan sistem transmisi 58.000 kms dan 2,100 unit trafo, 959,000 kms jaringan distribusi. PLN melayani 71,9 juta pelanggan.

Listrik adalah kebutuhan pokok dalam dunia modern. Data International Energy Agency hampir 1 miliar penduduk bumi belum menikmati listrik. Di Indonesia sekitar 14 juta penduduk di 433 desa juga belum menikmati listrik.

Produksi listrik Indonesia menyumbang 16% emisi CO2 nasional.

Perubahan iklim, kata Komang, makin meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrim dan berpengaruh terhadap sektor penyediaan listrik.

Dampaknya, terjadi gangguan pasokan listrik akibat banjir, penurunan kapasitas produksi PLTA karena debit air berkurang, gangguan pasokan batubara dan penurunan daya mampu PLTG akibat suhu udara ambien yang panas.

Transmisi juga kerap mengalami gangguan pasokan listrik akibat banjir, petir. Sementara kerusakan instalasi transmisi tenaga listrik juga sering terjadi karena cuaca ekstrim.

Dari sektor ketenaglistrikan, kata Komang, PLN juga punya kontribusi dengan transformasi green energy yakni, pemanfaatan energi terbarukan dan implementasi clean coal technology pada PLTU batubara. PLTS Cirata, kata Komang, berhasil dijual dengan harga 5,8 sen/kWh.

“Lebih murah dibandingkan pembangkit BBM atau gas,” kata Komang.

PLTU baru, katanya, akan pakai teknologi ultra super critical dengan emisi karbon minim. Untuk yang sudah operasional gunakan sistem sea water fuel gas desulfurization (SWFGD) yang meminimalkan limbah dan polusi fly ash dan bottom ash.

Digitalisasi pembangkit listrik, katanya, juga meningkatkan efisiensi produksi dan meminimalkan energi terbuang.

PLN, juga pemantauan dan pelaporan emisi gas rumah kaca melalui apple e-gatrik. Perusahaan juga bikin laporan keberlanjutan untuk publikasi emisi. Sebagai langkah adaptasi, PLN juga menghitung proyeksi emisi 10 tahun ke depan.

Saat ini, dalam rencana, PLN membangun 16,7 gigawatt renewable energy sebagai upaya menurunkan emisi gas rumah kaca.

PLN juga banyak melakukan gerakan kampanye pemakaian kendaraan listrik di beberapa pembangkit PLN, terutama internal.

“Kendaraan bensin maupun solar mulai dibatasi masuk ke unit pembangkit. Upaya ini terus didorong untuk menurunkan emisi,” katanya.

 

 

Edukasi film

Aktor dan produser film, Nicholas Saputra mengingatkan, berdasarkan pengalaman dalam produksi film “Semesta,” sebuah film yang bercerita tentang masyarakat adat yang berinisiatif melakukan sesuatu untuk menjaga lingkungan karena tradisi mereka, masyarakat perkotaan perlu belajar.

Masyarakat Hindu di Bali, misal dengan ritual Nyepi, berkontribusi mengurangi 30.000 ton CO2 setiap tahun. Saat ini, di tengah pandemi, masyarakat kota seolah diberi kesempatan untuk ritual Nyepi.

Film Semesta, katanya, juga berbicara soal pangan yang menunjukkan life cycle saat manusia memberikan sesuatu kepada bumi, bumi akan memberikan kembali pada mereka, seperti yang diajarkan masyarakat di pesisir, hutan, gunung, savanna.

“Saya banyak belajar dari situ. Jangan kebalik mikirnya. Jangan orang kota yang ngajarin orang desa.”

Sorotan Nicho di Hari Bumi ini adalah pakaian. Limbah pakaian juga menyebabkan perubahan iklim. Menurut Nicho, saatnya memikirkan gaya hidup tak terlalu mengeksploitasi pakaian.

Nicho sepakat, masyarakat kota sebagai kelompok yang lebih banyak bertanggungjawab terhadap laju perubahan iklim, sekaligus bisa punya solusi. Penghijauan di tengah kota, kalau dengan kolektif, dia percaya akan memberi pengaruh positif.

Masyarakat kotapun, mesti punya cara masing-masing untuk terus terkoneksi dengan alam, mendengarkan dan merasakan alam.

“Sayangnya, kita harus mengalaminya dengan cara seperti ini, banyak korban, bukan sesuatu yang kita inginkan,” kata Nicho.

 

 

Keternagan foto utama:  Indahnya melihat langit biru Jakarta, dengan awan putih mengarah. Sedih, karena menikmati keindahan ini harus di masa pandemi Corona… Hari-hari biasa, langit dan udara Jakarta, penuh polusi…Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Langit cerah Jakarta, baru ada kala pandemi Corona. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version