Mongabay.co.id

Jika Terjadi Tsunami Akibat Krakatau Erupsi, Begini Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Mencapai Pantai

Gunung Anak Krakatau yang meneluarkan asap tebal awal April 2020. Foto: KPHK Kepulauan Krakatau

 

 

Pascaerupsi enam jam pada Jumat [10/4/2020] pukul 23.10 WIB lalu, Gunung Anak Krakatau terpantau rutin mengeluarkan asap putih dari kawahnya. Erupsi sekitar 50 detik sempat terpantau kembali Sabtu [17/4/2020], pukul 07.49 WIB. Letusan ini terekam seismogram dengan amplitudo maksimum 40 MM.

Dari pantauan langsung tim patroli dan pengamanan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi [KPHK] Krakatau SKW III BKSDA Bengkulu Lampung, abu vulkanik berwarna kelabu berhamburan dari kawah gunung setinggi 100 meter.

Sehari sebelumnya, Jumat [16/4/2020], pukul 14.47 WIB, gunung bersejarah ini juga erupsi dengan amplitudo maksimum 25 MM dengan durasi 25 detik. Dari pantauan langsung Tim KPHK Krakatau di Pulau Sebesi, letusan itu berakhir pukul 17.00 WIB.

Kepala Pos Pemantau Gunung Anak Krakatau dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi [PVMBG], Andi Suardi mengatakan, letusan juga terjadi satu kali dengan durasi sekitar 28 detik, pada Rabu [15/4/2020] pagi, pukul 06.28 WIB.

“Beberapa hari ini, Gunung Anak Krakatau rutin erupsi. Berdasarkan status keaktifan, statusnya Level II [Waspada], dengan jarak radius bahaya 2 kilometer dari kawah gunung,” kata Andi kepada Mongabay Indonesia, beberapa waktu lalu.

Baca: Gunung Anak Krakatau Erupsi, Asap Tebal Terlihat Jelas Sebelumnya

 

Gunung Anak Krakatau yang meneluarkan asap tebal awal April 2020. Foto: KPHK Kepulauan Krakatau

 

Fenomena asap ini sama persis sebelum peristiwa erupsi 10 April lalu. Yang membedakan, asap putihnya lebih pekat dan tebal ketimbang yang sekarang. Ditambah lagi adanya fenomena gelembung udara cukup besar hingga terlihat menyembur ke permukaan air di sisi timur Pantai Gunung Anak Krakatau.

“Diperkirakan, penyebabnya karena aktivitas vulkanik di dasar laut, berupa gas yang keluar dari tubuh gunung tersebut,” kata Andi.

Erupsi awal April itu juga mempengaruhi perubahan bentuk Gunung Anak Krakatau. Saat ini, ada gundukan batu merah di area kawah serta asap putih yang keluar dari sela-sela batu tersebut. Tampak pula batu lava yang mengalir ke barat hingga laut.

Meski demikian, erupsi beberapa pekan ini sudah dipastikan BMKG tidak akan menyebabkan terjadinya tsunami. Kesimpulan ini hasil pemantauan muka laut menggunakan tiga gauge di Pantai Kota Agung, Pelabuhan Panjang, dan Marina Jambu. Tak ada petunjuk mengarah anomali perubahan muka laut sejak Jumat [10 April 2020] pukul 21.00 WIB, hingga Sabtu [11 April 2020] pukul 06.00 WIB.

Begitu juga hasil pemantauan muka laut menggunakan radar wera di Kuhai [Lampung], dan Tanjung Lesung [Banten], yang menunjukkan tidak adanya anomali muka laut.

Baca: Karena Krakatau Ingin Membentuk Tubuhnya Sendiri

 

Asap dari Gunung Anak Krakatau yang sudah terlihat tebal pada awal April 2020. Foto: KPHK Kepulauan Krakatau

 

Perhatian khusus

Gunung Anak Krakatau menjadi perhatian khusus, karena telah menimbulkan bencana besar akibat erupsinya. Aktivitas vulkaniknya telah memicu terjadi tsunami di Selat Sunda yang menyebabkan sekitar 426 korban tewas di kawasan Pantai Banten dan Lampung pada Sabtu, 22 Desember 2018.

Jauh sebelumnya, aktivitas vulkanik Gunung Krakatau purba telah memicu gempa vulkanik dan tsunami, tepatnya pada 27 Agustus 1883. Peristiwa ini menghancurkan 295 kota dan desa, dan menewaskan sekitar 36 ribu jiwa. Kejadian ini menimbulkan tsunami setinggi 30-40 meter di sepanjang Pantai Merak [Banten], Pantai Jakarta, dan Lampung Selatan.

Letusan saat itu bahkan dirasakan ke seluruh dunia, yakni berupa turunnya suhu global, hingga terjadinya kegelapan di Benua Eropa. Kejadian ini juga berdampak hingga beberapa tahun setelah letusan, yaitu terjadinya anomali cuaca mulai dari turunnya salju di Tiongkok pada musim panas, hingga redupnya matahari di Eropa yang menyebabkan gagal panen.

Baca: Tsunami Selat Sunda: Mitigasi dan Kesiapan Hadapi Bencana Harus Ada

 

Gunung Anak Krakatau merupakan model suksesi yang menyimpan misteri ilmiah untuk diteliti. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Kecepatan gelombang laut jika terjadi tsunami

Lalu, jika terjadi tsunami di Selat Sunda, berapa cepat perkiraan gelombang laut sampai ke pantai? Bagaimana pula mitigasinya?

Elin Hernawati, akademisi dari Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Universitas Terbuka dalam penelitiannya berjudul “Model Perambatan Gelombang Tsunami dan Antisipasi Bencana Letusan Gunung Anak Krakatau” tahun 2019, menuliskan jika tsunami disebabkan gempa vulkanik Gunung Anak Krakatau, akan ada sejumlah daerah terdampak perambatan gelombang. Rinciannya, gelombang akan mencapai wilayah Bandar Lampung sekitar 68 menit, Kalianda [44 menit], Merak [47 menit], Anyer [38 menit], Carita [37 menit], Labuan [40 menit], Panimbang [43 menit], dan Sumur [36 menit].

Perambatan gelombang dimulai dari pusat lokasi terbentuknya gelombang air laut kemudian menyebar ke sebagian pesisir pantai Pulau Jawa dan Sumatera.

Waktu perambatan gelombang untuk mencapai pesisir pantai, berdasarkan hasil simulasi yang telah disebutkan berkisar antara 2.500-5.000 detik. Namun, hal ini juga dipengaruhi topografi yang dilalui gelombang dan tinggi awal gelombang yang ditimbulkan oleh letusan.

Baca: Mengagumi Krakatau yang Selalu Memukau

 

Arang kayu yang diduga terbentuk akibat erupsi 1883. Hingga sekarang, kita masih bisa menemukan bukti sejarah sangat berharga ini di Pulau Rakata. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Dalam riset bertajuk Peran Matematika, Sains dan teknologi Dalam Kebencanaan, Elin menggunakan model perambatan gelombang tsunami model matematika yang digunakan untuk mensimulasikan perambatan gelombang tsunami. Adalah model hidrodinamik persamaan gelombang panjang yang diturunkan dari persamaan Navier Stokes dan digital elevation model [DEM].

Kondisi model awal perambatan gelombang tsunami diasumsikan seperti meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883. Pada lokasi Gunung Anak Krakatau diasumsikan terjadi pergerakan muka air atau gelombang setinggi 200 meter, hal ini diperlukan agar gelombang tersebut nantinya mengalami perambatan yang akan dihitung tinggi serta waktu yang diperlukan mencapai pantai.

Sedangkan apabila tsunami akibat longsor erupsi, ketinggian gelombang maksimum di wilayah selatan pantai barat Jawa lebih tinggi daripada wilayah lain. Hal ini karena arah kehancuran pada sumbernya ke arah barat daya dan arah perambatan tsunami secara bertahap berubah dari barat daya ke tenggara di selatan Gunung Anak Krakatau.

Selain itu, lereng barat yang terbentuk menjadi lebih curam dengan cepat ketimbang lereng timur karena dipengaruhi arus laut cukup kuat. Selama masa observasi, terlihat bahwa Gunung Anak Krakatau bertambah tinggi cepat ke arah barat daya. Kaldera yang runtuh dan banyaknya bagian gunung yang berkurang memunculkan tanah longsor bawah laut yang kemudian memicu gelombang tsunami. Apalagi lereng Gunung Anak Krakatau yang memiliki luas hampir 64 hektar mengalami longsor ke laut.

“Longsoran yang mengarah ke laut berpotensi menimbulkan gelombang tsunami di Selat Sunda,” tulis Elen.

Sumber gelombang tsunami diasumsikan dari letak Gunung Anak Krakatau yang merambat dan menyebar ke sekitar gunung. Gelombang akan merambat lebih cepat ke barat daya Pulau Jawa dan melambat ke utara. Hal ini disebabkan adanya pulau-pulau kecil yang mendispersikan gelombang datang sehingga waktu kedatangan gelombang relatif lebih lambat.

Rincian maksimum tinggi gelombang tsunami yang terjadi adalah Bandar Lampung [0,3 meter], Kalianda [2,7 meter], Merak [1,5 meter], Anyer [1,4 meter), Carita [2,9 meter], Labuan [3,4 meter], Panimbang [1,5 meter), dan Sumur [1,2 meter].

“Walaupun jarak pantai di Sumur lebih jauh dari pantai di Kalianda, namun waktu perambatan gelombang tsunami justru lebih cepat,” tulis Elen.

Hal ini terjadi karena saat akan mencapai Kalianda, gelombang tsunami terhalang pulau-pulau kecil di sekitar. Di sini, perubahan kontur permukaan Bumi berperan menentukan kecepatan dan waktu kedatangan gelombang.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengukuran tinggi gelombang di suatu lokasi tidak sama dengan lokasi lain. Ini seperti yang terjadi saat tsunami di Palu, yaitu permukaan laut maksimum yang diukur sekitar 2,6 meter dan di pantai lain menunjukkan 5-6 meter atau lebih.

Baca juga: Tukirin “King of Krakatoa” Partomihardjo yang Membanggakan Indonesia

 

Erupsi Gunung Anak Krakatau yang terjadi pada 1992. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi [BPPT], Heru Sri Naryanto dalam Jurnal Alami, Vol.8 Nomor 2 Tahun 2003 dengan judul “Mitigasi Kawasan Pantai Selatan Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung Terhadap Bencana Tsunami’ merekomendasikan pemerintah setempat untuk membuat klasifikasi tingkat kerawanan bencana di Wilayah Selat Sunda. Ada 5 zonasi, yakni Zona I [Merak], Zona II [Anyer-Carita], Zona III [Bandar Lampung], Zona IV [Kalianda], dan Zona V [Labuan].

Kawasan pantai selatan Kota Bandar Lampung yang merupakan pusat perdagangan, pariwisata, industri, dan pemukiman padat penduduk, mempunyai potensi sangat besar terhadap bencana tsunami, baik bersumber gempa bumi, letusan Gunung Anak Krakatau, maupun longsoran bawah laut di Selat Sunda.

“Untuk mengurangi dampak tsunami di kawasan ini, sebaiknya pemerintah daerah setempat segera melakukan mitigasi baik struktural maupun non-struktural, kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, dan evaluasi master plan dengan mempertimbangkan konservasi kawasan dari potensi bencana tsunami,” tulis Heru dalam jurnalnya.

Potensi bencana tsunami juga mengancam daerah teluk, seperti Teluk Lampung. Di tempat ini, akan terjadi penyempitan gerakan gelombang sehingga merusak kawasan tersebut. “Kajian risiko bencana tsunami [mikrozoning] skala besar perlu dilakukan sebagai data utama perencanaan mitigasi yang baik, guna menunjang pembangunan berkelanjutan,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version