Mongabay.co.id

Menyibak Evolusi Geologi Dataran Tinggi Dieng

 

Kabut dan temperatur dingin menjadi sebuah kewajaran sehari-hari di kawasan Pegunungan Dieng yang berada di perbatasan antara Banjarnegara, Wonosobo, dan Batang, Jawa Tengah. Tidak mengherankan, kalau masyarakatnya juga beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Sarung, penutup kepala, dan di rumah dipastikan mempunyai tungku untuk pemanas sebagai hal yang wajib bagi penduduk Dieng.

Tidak hanya alamnya yang indah, Dieng masih menyisakan belasan kawah aktif yang terbesar di tiga kabupaten. Pos Pengamatan Gunung Api Dieng mencatat, di Wonosobo ada kawah Pakuwaja dan Sikendang, kemudian di Batang ada Kawah Gerlang, Wanapriya, Wanasida, Sibanger dan Siglah. Sedangkan paling banyak, kawah masuk wilayah administratif Banjarnegara, meliputi kawah Sinila, Timbang, Candradimuka, Sileri, Pager Kandang, Sikidang, Bitingan, dan Sibanteng.

Dalam buku Anne S Troelstra yang terbit tahun 2016 berjudul Bibliography of Natural History Travel Narratives dituliskan bahwa Franz Wilhelm Junghuhn (1909-1864) berkebangsaan Jerman itu telah menjelajah Dieng sekitar tahun 1850-an. Junghuhn sangat berjasa sebagai peneliti dari berbagai perspektif mulai ilmu bumi, vulkanologi, geologi dan botani. Dari awal eksplorasi itulah, kemudian belakangan banyak ahli yang melakukan riset bagaimana terbentuknya kawasan di Dieng.

baca : Mengapa Embun Beku Dieng Muncul Lebih Dini?

 

Kawasan Kawah Sikidang, salah satu kawah yang masih aktif di pegunungan dieng, Banjarnegara, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dari referensi di situs resmi Badan Geologi Kementerian ESDM dan Forum Geosaintis Muda Indonesia (FGMI)  menyebutkan, pembentukan pegunungan Dieng berdasarkan umur relatif, sisa morfologi, tingkat erosi, hubungan stratigrafi dan tingkat pelapukan. Dalam pembentukan pegunungan Dieng, ada tiga episode yakni formasi pra pra kaldera, episode kedua kaldera, dan episode ketiga aktivitas gunung api.

Pada episode formasi pra kaldera, produk piroklastik Rogo Jembangan menutupi daerah utara dan selatan kompleks, kemungkinan terbentuk pada Kuarter bawah. Kawah Tlerep yang berada di batas timur terbuka ke arah selatan membentuk struktur dome berkomposisi “hornblende” andesit. Krater vulkanik Prau ke arah utara dari Tlerep. Prau vulkanik menghasilkan endapan piroklastik dan lava andesity basaltis. Fase awal ini terjadi letusan besar dari Gunung Dieng yang menimbulkan Depresi Batur sebagai kaldera raksasa dataran tinggi dieng. Sisa morfologi yang paling terlihat adalah dengan adanya morfologi Gunung Prau sebagai salah satu pagar dari kaldera tersebut.

Sedangkan episode kedua merupakan aktivitas vulkanik yang berkembang di dalam kaldera. Di antaranya adalah Gunung Bisma, kawah tertua yang terpotong membuka ke arah barat. Kemudian Gunung Seroja dengan usia yang lebih muda dengan tingkat erosi selope yang kurang kuat, lalu Gunung Nagasari merupakan gunung api komposit berkembang dari utara ke selatan berada di Dieng, Kecamatan Batur.

Selanjutnya adalah Gunung Palangonan dan Merdada, memiliki kawah ke arah timur, masih memperlihatkan morfologi muda. Ada juga Gunung Pager Kandang yang memiliki kawah pada bagian utara, Gunung Sileri merupakan kawah preatik, Gunung Igir Binem merupakan gunung api strato dengan dua kawah dan disebut sebagai Telaga Warna serta kawasan Gunung Gringo-Petarangan yang berada di daerah depresi Batur. Letusan kedua menimbulkan terbentuknya morfologi tinggian yang menjadi perbukitan kerucut vulkanik dan morfologi rendahan akibat depresi membentuk suatu cekungan.

Perbukitan vulkanik yang dihasilkan membentuk beberapa bukit yang sering dikenal sebagai Bukit Sikunir, Gunung Pakuwaja, Gunung Bisma dan Komplek Batu Ratapan Angin. Kemudian dari morfologi rendahan yang dihasilkan terisi oleh air yang membetuk beberapa telaga yang kita kenal sebagai Telaga Warna, Telaga Pengilon, Telaga Menjer, Telaga Cebong, Telaga Merdada, Telaga Dringo, Telaga Sewiwi

Sementara pada episode ketiga adalah fase aktivitas gunung api yang menghasilkan lava andesit biotit, jatuhan piroklastik, dan aktivitas hidrotermal. Ada sembilan titik erupsi di kaldera Dieng yang menghasilkan lava dome dan lava flow biotit andesit. Seperti di Sikidang dan Legetang, Pakuwaja, Sikunang, Dome Perambanan dan lainnya.

baca juga : Purwaceng “Viagra of Java” Hanya Hidup di Dieng. Benarkah?

 

Kawasan datar di wilayah Bukit Pangonan, kawasan dieng, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Para ahli vulkanologi juga mencatat bahwa dataran tinggi Dieng terjadi sejak 3,6 juta tahun yang lalu sampai sekitar 2.500 tahun silam. Ada fase meletusnya Gunung Prau, kemudian disusul letusan-letusan di wilayah kaldera, serta paling muda mulai 8.500 tahun lalu berupa letusan kerucut vulkanik di bagian selatan Dieng.

Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Dieng, Surip, mengatakan kawah-kawah yang masih aktif di dataran tinggi Dieng harus terus dipantau oleh pos pengamatan. Ada belasan kawah yang harus dipantau. “Kami memantau kawah-kawah di wilayah tiga kabupaten yakni Batang, Wonosobo, dan Banjarnegara. Laporan harian biasa kami buat,” katanya.

Meski ada sejumlah kawah yang dibuka untuk destinasi wisata, tetapi pos pengamatan harus terus melakukan pemantauan, karena kawah tersebut masih tetap aktif. Bahkan, kadang ada letusan meski sifatnya freatik. Kejadian terakhir adalah letusan Kawah Sileri pada April 2018 lalu. Letusan itu kecil, hanya menjangkau sekitar 100-200 meter sekitar kawah. Letusan yang sama terjadi pada 2 Juli 2017 yang membuat sejumlah wisatawan luka-luka.

Menurut Surip, yang lebih perlu diwaspadai dari kawah-kawah aktif di dataran tinggi Dieng, adalah gas beracun. Kalau letusannya, sifatnya hanya freatik dan bukan erupsi yang besar. Berdasarkan data dan sejarah letusan, sejumlah kawah di Dieng berkali-laki meletus. Tetapi  paling besar dampaknya, berdasarkan sejarah yang tercatat adalah letusan Kawah Sinila yang menyemburkan gas beracun pada 20 Februari 1979. Setidaknya 149 korban meninggal kala itu.

menarik dibaca : Mengikuti Ritual Pemotongan Rambut Gimbal di Dieng, Ini Ceritanya

 

Pagi di salah satu perbukitan di Kawasan Dieng, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, gempa bumi dan letusan yang terjadi di Kawah Sileri pada 1944 menyebabkan 59 orang meninggal, 38 luka-luka dan 55 orang hilang. Korban jiwa juga tercatat ketika terjadi letusan di Kawah Batur pada tahun 1939 dengan korban jiwa 5 orang. Data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat sejarah letusan sejak tahun 1450 di Pakuwaja. Selain Pakuwaja, Sinila, Batur, dan Sileri ada beberapa kawah lain yang pernah meletus yakni Sikidang, Siglagak, Candradimuka atau Telaga Dringo, Kawah Dieng Kulon dan Kawah Sibanteng.

“Sampai sekarang, gas beracun menjadi salah satu ancaman dari kawah-kawah di Dieng. Sedikitnya ada tiga gas yang keluar dari kawah yakni CO2, H2S dan SO2. Sampai sekarang, kami juga memantau kadar gas yang keluar dari kawah,”jelas Surip.

Surip mengatakan masing-masih kawah memiliki kamar magma sendiri-sendiri, sehingga meski berdekatan, kawah yang satu tidak terpengaruh aktivitasnya dengan kawah lainnya. “Telah beberapa kali terjadi, misalnya Kawah Sibanteng meletus, tetapi Kawah Sikidang yang hanya berjarak 100 meter tidak ada persoalan. Sehingga kemungkinan memang masing-masing kawah mempunyai kamar magma yang berbeda. Jadi pengamat di sini harus paham benar masing-masing kawah, karena memiliki karakteristik,”ujarnya.

Secara rutin, pos pengamatan terus memberikan informasi kepada para pengelola wisata, khususnya di kawah yang dikunjungi wisatawan. Bahkan, jika ada yang aktif, maka kemungkinan kawah akan ditutup, atau pengunjung tidak boleh mendekat dalam radius tertentu.

baca juga : Kopi Ini Sukses Satukan Ekonomi, Konservasi dan Mitigasi

 

Kawasan Dieng, Jateng, juga kaya potensi panas bumi. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Beberapa waktu lalu, sempat muncul ide mengenai kawasan Dieng menjadi Geopark kelas dunia. Bahkan, sejumlah pertemuan pernah melakukan pembahasan soal usulan itu. Meski sampai sekarang belum ada kelanjutannya lagi. Dieng menjadi kawasan yang kaya akan budaya, hayati, dan sejarah geologi. Itulah mengapa banyak pihak yang berharap jika Dieng jadi Geopark dunia.

Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa Alif Faozi mengungkapkan sebetulnya sudah cukup lama ada ide mengenai Dieng yang akan dijadikan Geopark. “Dan sebenarnya Geopark akan menjadi ‘brand’ yang memiliki kelebihan karena disebut sebagai taman bumi. Bagi kami, tentu sangat mendukung adanya ide tersebut. Hanya saja, perlu ada koordinasi dari seluruh pelaku kepentingan,” katanya.

Konsep Geopark di Dieng itu sama dengan misi Dieng Pandawa yang mengusung “sustainable tourism”. “Karena itu saya kira harus diperkuat juga manajemen tata kelola obyek wisata yang ada di Dieng agar bisa saling bersinergi. Jangan sampai belum sinerginya pengelola wisata akan menjadi bumerang bagi ‘brand’ Geopark,” ujarnya.

 

Exit mobile version