- Dieng di perbatasan Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah tak hanya menyimpan keindahan, tetapi juga adanya misteri bocah gimbal yang setiap saat muncul
- Bocah berambut gimbal konon merupakan titisan dari Kyai Kolodete dan Nini Roro Ronce. Rambut gimbal muncul dengan tanda anak mengalami sakit panas
- Agar rambut gimbal bocah bisa dipotong, maka harus dilakukan ruwatan dan mengikuti ritual pemotongan rambut
- Kini, pemotongan rambut gimbal dikemas melalui Dieng Culture Festival (DCF) yang digelar setiap tahun. Tahun 2019, ada 11 anak rambut gimbal yang mengikuti ritual pemotongan rambut.
Kabut pagi di dataran tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) baru saja beranjak seiring dengan munculnya sang surya. Musik gamelan rancak telah terdengar di sudut jalan di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur pada Minggu (4/8/2019).
Suara gamelan itu diikuti dengan tarian rampak yakso. Tarian ini merupakan gambaran peperangan antara Raden Gatotkaca yang dibantu oleh kera putih atau Palwagaseta melawan musuh dari Kerajaan Giling Wesi dipimpin oleh Prabu Kolo Pracono dengan Patih Skepu. Arak-arakan itu sebagai pembuka pawai keliling kampung bersama anak-anak berambut gimbal yang bakal mengikuti ritual pemotongan rambut.
Setelah berkeliling di Desa Dieng Kulon, pawai masuk ke kompleks candi Dieng. Tujuan awal adalah kompleks Dharmasala untuk mengikuti jamasan rambut. Tahun ini ada 11 anak, kesemuanya perempuan, yang mengikuti pemotongan rambut gimbal. Satu per satu, anak dijamasi dengan memakai air yang diambil dari Sendang Sedayu. Letaknya di pojok kompleks Dharmasala.
baca : Setelah Gelaran Dieng Culture Festival, Sampahnya Bagaimana?
Usai dari Dharmasala, kesebelas anak itu digendong orang tuanya masuk ke Candi Arjuna. Di kompleks candi itu telah disiapkan tempat untuk prosesi pemotongan rambut gimbal. Satu per satu anak dipanggil untuk mengikuti prosesi yang dipimpin oleh tetua adat Dieng, Mbah Sumanto. Sebelum dipotong rambutnya, anak-anak tersebut telah meminta sesuatu yang harus diwujudkan pada saat cukur rambut. Pada saat dipanggil satu per satu, diinformasikan kepada khalayak mengenai permintaan masing-masing anak. Mereka memiliki permintaan yang berbeda-beda.
Prosesi dimulai. Dengan lantunan tembang macapat Dandanggula, rambut gimbal anak dipotong. Paling pertama yang memulai mencukur rambut anak adalah sesepuh adat yakni Mbah Sumanto. Rambut yang telah dipotong, dimasukkan ke dalam gentong. Rambut yang telah dipotong itu nantinya dilarung ke sungai yang mengalir sampai ke Samudra Hindia. Biasanya tempat yang digunakan untuk pelarungan adalah Telaga Warna. Prosesi larung rambut gimbal merupakan bagian paling akhir ritual pemotongan rambut gimbal.
Tahun ini, ada 11 anak gimbal dari berbagai tempat seperti Banjarnegara dan Wonosobo yang ikut dalam ritual pemotongan. Kebetulan kesebelas anak semuanya perempuan. Masing-masing anak memiliki keinginan yang unik. Salah satunya adalah Dinda Syifa Ramadani. Anak usia empat tahun itu memiliki keinginan unik yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Yakni kentut dari ibunya yang dibungkus plastik. “Begitu tahu, kalau rambut anak saya gimbal, maka saya tanya keinginannya. Dinda meminta kentut saya sejak usia dua tahun. Saya juga tidak tahu mengapa Dinda mengajukan permintaan itu,” ungkap Mursinah warga Desa Jlamprang, Kecamatan Leksono, Wonosobo.
Selain meminta kentut, Dinda juga meminta sebutir telur burung puyuh. Sebab, sejak kecil, Dinda memang suka dengan telur puyuh. “Segala keinginannya jelas saya kabulkan. Karena itu memang telah menjadi syarat untuk prosesi pemotongan rambut gimbal,” jelasnya.
baca juga : Purwaceng “Viagra of Java” Hanya Hidup di Dieng. Benarkah?
Sedangkan anak berambut gimbal yang paling jauh adalah Sakura Al Zahwa Agustine yang berusia tujuh tahun. Anak pasangan Agus Subagya dan Siti Mariati itu kini bermukim di Jakarta Utara. Anaknya berambut gimbal, karena keluarganya memang keturunan dari wilayah sekitar Dieng. “Kalau permintaan anak saya adalah uang senilai Rp4 juta,” kata Siti.
Berbeda dengan Sakura, anak gimbal lainnya yakni Ailla Khanza Khasanah yang kini berusia lima tahun lebih hanya meminta uang senilai Rp4 ribu. Masih banyak keinginan anak-anak berambut gimbal lainnya. Seperti meminta kambing, sepeda dengan warna pink, liburan ke pantai, cincin serta durian dan sebagainya.
Sesepuh adat di Dieng Kulon, Mbah Sumanto (73) mengakui kalau permintaan anak-anak yang berambut gimbal sebelum terkadang sulit ditebak. Masing-masing memiliki permintaan berbeda. “Jadi, sebelum dilaksanakan ritual pemotongan rambut, anak-anak harus ditanya apa permintaannya. Jadi setelah dilaksanakan pemotongan rambut, permintaan itu sudah harus tersedia,” jelasnya.
menarik dibaca : Cuaca Dingin sampai Embun Es di Musim Kemarau, Fenomena Apa?
Permintaan anak yang sulit ditebak itu sama dengan susahnya mencari jawaban mengapa setiap tahun ada muncul anak yang berambut gimbal. Dari cerita mulut ke mulut dan kepercayaan masyarakat setempat, sesungguhnya anak yang berambut gimbal itu merupakan titisan dari Kyai Kolodete dan Nini Roro Ronce.
Siapa mereka? Mereka adalah suami istri yang ditugasi Nyai Roro Kidul, penguasa Laut Selatan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat Dieng. Munculnya anak-anak berambut gimbal itu merupakan titisan dari keduanya. Kalau laki-laki adalah titisan dari Kyai Kolodete, sedangkan yang perempuan Nyai Roro Ronce. Untuk menghilangkan rambut gimbal, maka harus ada prosesi. Nantinya, rambut gimbal yang dipotong dilarung supaya terbawa sampai ke Laut Selatan.
Biasanya, rambut gimbal tumbuh pada anak-anak usia satu hingga lima tahun. Pada awal muncul rambut gimbal pasti dengan tanda-tanda. Yakni suhu badan anak panas tinggi, bahkan ada yang disertai dengan kejang-kejang. Kalau dibawa ke dokter tidak sembuh. Anak bisa sembuh dari panas setelah pertumbuhan ranbut gimbalnya selesai. Bentuk rambut gimbal pun beragam. Ada yang sebagian, tetapi ada pula yang penuh seperti rambut rasta seperti penyanyi Bob Marley.
baca juga : Mengapa Embun Beku Dieng Muncul Lebih Dini?
Salah satu orang tua anak berambut gimbal, Mursinah membenarkan kalau pada saat keluar rambut gimbal badannya panas. Begitu keluar nanti sembuh. Pada saat akan keluar lagi, maka panas kembali badannya. “Tetapi nanti kalau sudah selesai, maka panasnya hilang. Sehat seperti sedia kala. Jadi, masyarakat di sekitar Dieng tidak terlalu kaget lagi,” ujarnya.
Para orang tua yang memiliki anak berambut gimbal harus membuat ritual pemotongan rambut kalau ingin rambut gimbal anaknya hilang. Tetapi kemudian muncul kesadaran bersama untuk berbarengan menggelar ritual pemotongan rambut gimbal. Maka, sejak 10 tahun lalu, ada upaya untuk menggelar ritual pemotongan secara bersama-sama. Malah kemudian, saat sekarang dikemas secara baik dalam Dieng Culture Festival (DCF).
“Awal terselenggaranya DCF mengagendakan pemotongan rambut gimbal agar menjadi salah satu daya tarik orang datang ke Dieng,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Banjarnegara Dwi Suryanto.
Dwi mengatakan bahwa pemotongan rambut gimbal sebagai tradisi juga sebagai kearifan lokal masyarakat di kawasan Dieng. Sehingga dengan adanya pagelaran yang dikemas menjadi daya tarik wisata, sesungguhnya juga merupakan upaya untuk ‘nguri-uri’ kebudayaan lokal setempat.
“Tahun ini, DCF dikunjungi setidaknya 177 ribu wisawatan lokal dan 930 turis asing. Wisatawan manca yang hadir berasal dari Eropa dan Australia. Jumlah uang yang beredar selama tiga hari perhelatan DCF 2019 diperkirakan mencapai Rp70 miliar. Dengan pengunjung yang luar biasa banyak, maka 300 lebih homestay yang ada di Dieng Kulon habis dipesan. Banyak tamu yang kemudian memanfaatkan penginapan di sekitar Kejajar, Wonosobo. Jadi, dampak baiknya tidak hanya dirasakan oleh Banjarnegara saja, melainkan juga Wonosobo. Karena memang Dieng berada di perbatasan kedua kabupaten,” ujarnya.
Dikatakan oleh Dwi, dengan begitu banyaknya pengunjung, pihaknya juga mengantisipasi sampah yang tentu meningkat jumlahnya. “Pada DCF 2019, ada 300 relawan pemungut sampah untuk diterjunkan di setiap lokasi tempat pagelaram DCF. Bahkan, usai pesta lampion, para relawan juga mencari lampion yang turun di sekitar Dieng untuk dikumpulkan kembali. Tahun, depan kami masih mempertimbangkan apakah ada pesta lampion atau tidak, karena ada rekomendasi dari Kementerian LHK terkait dengan lampion tersebut. Hanya saja sebetulnya, lampion yang diterbangkan tidak sampai 200 meter tingginya, dan jatuhnya juga di sekitar Dieng. Kami tetap terbuka terhadap masukan-masukan yang ada, apalagi kami juga berkomitmen menjaga lingkungan,” tandasnya.