Mongabay.co.id

Polusi Udara, Pembunuh Senyap di Jabodetabek

Berdasarkan data inventarisasi Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, penyumbang polusi udara, 75% transportasi darat, 8% industri, 9% pembangkit listrik dan pemanas, dan 8% pembakaran domestik. Kendaraan bermotor yang melewati jalan di ibukota, berdasarkan data statistik transportasi Jakarta terus meningkat setiap tahun. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Berdasarkan data inventarisasi Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, penyumbang polusi udara, 75% transportasi darat, 8% industri, 9% pembangkit listrik dan pemanas, dan 8% pembakaran domestik. Kendaraan bermotor yang melewati jalan di ibukota, berdasarkan data statistik transportasi Jakarta terus meningkat setiap tahun. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kebon Jeruk, Jakarta Barat, tampak begitu padat, pagi itu. Sepanjang arteri Jalan Panjang, terlihat Bus TransJakarta, sepeda bermotor, mobil, angkutan umum, sesekali bus atau truk, melintas. Biasanya kepadatan mulai pukul 06.30 sampai pukul 12.00, beberapa titik lampu merah terlihat antrian panjang kendaraan. Kemacetan merupakan pemandangan sehari-hari di Kebon Jeruk, pada hari biasa, meskipun saat pandemi Virus Corona, merebak, kemacetan berkurang.

Yolanda Fredericca, pekerja swasta mulai berangkat kantor sekitar pukul 08.00, berjalan sekitar 500 meter menuju halte busway Kebon Jeruk. Masker sekali pakai jadi modal awal perempuan 27 tahun ini sebelum keluar kos. Sudah dua tahun dia tinggal di Jakarta, untuk bekerja di salah satu perusahaan swasta di wilayah Harmoni.

Dia merasakan perbedaan udara cukup signifikan dengan kota yang dia tinggali sebelumnya, Yogyakarta dan Lubuk Linggau. “Kadang udara bikin gak enak di hidung dan tenggorokan. Awal-awal (pindah sini) sering flu,” katanya.

Di Jakarta, Yolanda, tak akan keluar tanpa masker. Kadang dia merasa agak sesak, mata perih, iritasi kulit, dan jerawatan di muka.

Berdasarkan data stasiun pemantauan kualitas udara (SPKU) Dinas Lingkungan Hidup Jakarta 2019, terutama SKPU di Kebon Jeruk menunjukkan kualitas udara tak sehat dari empat SPKU wilayah lain di Jakarta, Bundaran Hotel Indonesia, Kelapa Gading, Jagakarsa, dan Lubang Buaya. Ada delapan hari sangat tak sehat berdasarkan data SKPU Kebun Jeruk, angka lebih 200.

Berbagai penelitian menyebutkan, polusi udara menimbulkan masalah kesehatan serius mulai dari kerusakan sel dalam tubuh, stroke, kanker otak, keguguran, sampai masalah kesehatan mental.

Data Dinas Kesehatan dari website Smart City Jakarta, Kebon Jeruk, jadi satu dari 16 kecamatan dengan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) tertinggi dari 10 penyakit lain, mencapai 1.081 kasus. Meski, angka ini belum terkonfirmasi tahun penghitungannya.

Berdasarkan data SPKU DLH Jakarta hanya dua hari (1%) kualitas udara baik, 172 hari (48%) kualitas udara sedang, 183 hari (50%) dengan udara tidak sehat dan delapan hari (2%) dengan udara sangat tak sehat.

 

Grafis kualitas udara yang dihirup warga Jakarta pada  2019.

 

 

Penyakit dari polusi udara

Sebuah penelitian global menyebutkan, polusi udara dapat merusak setiap organ dan hampir setiap sel dalam tubuh manusia.

Penelitian yang diterbitkan Forum of International Respiratory Societies Environmental Committee ini mengatakan, kerusakan sel tubuh dari kepala hingga ujung kaki. Juga, penyakit jantung dan paru-paru sampai diabetes dan demensia, bahkan, masalah hati, kulit rusak, kesuburan, janin maupun perkembangan anak-anak dipengaruhi polusi udara.

Dalam penelitian itu dikatakan, polusi udara dapat membahayakan secara akut, hingga kronis dan berdampak pada setiap organ dalam tubuh manusia. Meski, setiap manusia memiliki perbedaan dampak yang timbul, namun kerusakan jantung dan paru-paru seperti ‘puncak gunung es.’

World Health Organization menyatakan, polusi udara merupakan “silent public health emergency,” dengan lebih dari 90% populasi dunia menghirup udara beracun.

Sayangnya, penyangkalan kondisi kualitas udara buruk di Jakarta seringkali disampaikan pemerintah. Alasannya, AirVisual gunakan metode dan standar pengukuran berbeda.

Menurut situs AirVisual, data yang mereka gunakan bersumber dari monitor kualitas udara kedutaan Amerika Serikat, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Greenpeace Indonesia.

Dasrul Chaniago, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK mengatakan, berdasarkan standar PM2.5 tahun 2019, ada 18 hari kualitas udara baik, 141 hari kualitas sedang, dan 198 hari udara tak sehat.

Gak ada yang bilang (kualitas udara) berbahaya. Jadi perlu dicatat, aturan baik di WHO atau dimana pun, aturan baku mutu udara itu ada dua, 24 jam dan 365 hari. Tak ada baku mutu itu per detik. Kalau itu hanya indikasi saja ya boleh.”

Dasrul bilang, kualitas udara bisa saja dilihat realtime, tetapi tak legal secara hukum. ”Bisa dilihat, tapi tidak legal secara hukum, (yakni) berdasarkan Undang-undang 41/1999. Jadi tidak ada orang mengukur itu standar per detik. Kalau alat, pengukuran memang per detik.”

Dia pun menolak berbicara lebih lanjut soal aplikasi AirVisual yang biasa dipakai masyarakat untuk memantau kondisi udara. Alasan dia tak pernah melihat alat pengukurnya. Bahkan, Dasrul menyayangkan, screencapture dari AirVisual seringkali viral di media sosial padahal belum membuktikan kebenaran alatnya.

Dia contohkan, kalau di sekitar alat pemantau kualitas udara sedang ada aktivitas seperti membakar sampah, ada truk lewat, merokok dan lain-lain.

“Apakah itu bisa mencerminkan udara (wilayah itu) di hari itu? Gak bisa. Kalau itu viral jadi bahaya. Misal, hanya sesaat lewat dan sebentar.”

“Jika menunggu 24 jam untuk tahu, keburu saya menghirup udara kotor dong,” kata Andreas Priyono, warga Jakarta.

Dia selalu mengecek aplikasi AirVisual saat beraktivitas di luar ruangan, seperti berjalan kaki saat pulang kerja ataupun berolahraga. ”Lebih mudah diakses karena realtime, hanya melalui smartphone,” katanya.

 

Langit Jakarta, siang hari tampak abu-abu karena polusi. Foto: Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia

 

Data berbicara

Berdasarkan data ISPU Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, udara tak sehat terus meningkat sejak 2016-2019. Pada 2016 ada 93 hari, 2017 (110), 2018 (187), dan 2019 (183).

Kenaikan jumlah ini sejalan dengan kenaikan kasus ISPA dari data Dinas Kesehatan Jakarta. Dari laporan rutin fasilitas pelayanan kesehatan Jakarta, kasus ISPA ada tren naik, pada 2016 sebanyak 1.801.968 kasus , 2017 (1.846.180), 2018 (1.817.579) (2018), dan 2019 ada 1.874.925 kasus.

“Tren kasus ISPA bulanan memiliki pola hampir sama, naik pada triwulan I, turun di Triwulan II dan mengalami kenaikan kembali pada Triwulan III,” kata Dwi Oktavia, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Jakarta.

Dia bilang, ada 11 penyakit menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (2018) data berhubungan dengan polusi udara di Jakarta, antara lain, ISPA, ISPA balita, pneumonia, pneumonia balita, asma, asma kambuh, kanker, diabetes melitus, DM>15, stroke dan jantung.

Sebuah penelitian menjelaskan, kerusakan karena polusi udara ke paru-paru, jantung dan otak. Dalam survei itu, faktor risiko global untuk stroke, polusi udara PM2.5 jadi peringkat ketujuh dalam dampak umur kesehatan seseorang. Sementara polusi udara rumah tangga dari pembakaran bahan bakar ada pada peringkat kedelapan.

Penelitian ini juga menyebutkan, efek polusi udara menyebabkan stroke. Dampak pembakaran bahan bakar fosil sering tidak diperhitungkan, begitu juga partikel halus yang berbahaya bagi sistem kardiovaskular.

Jangka panjang, polusi udara bisa meningkatkan risiko stroke, karena particulate matter yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah di otak, membuat darah lebih tebal dan meningkatkan tekanan darah, hingga berakibat meningkatkan risiko pembekuan di otak.

Dezi Syukarawati, Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Kota Bekasi pun mengatakan, ada tren kenaikan ISPA di Kota Bekasi selama dua tahun ini. Sayangnya, tak ada perbedaan data antara kasus baru atau lama. Data khusus penyakit ISPA pun tidak ada.

“Tapi (data) kunjungan lain terkait gangguan pernapasan, adanya penyakit pneumonia. Ini termasuk dalam indikasi dampak polusi udara,” katanya.

Pada 2017, angka ISPA bukan pneumonia 2017 mencapai 156.356 kasus, 149.168 (2018), 195.318 (2019).

Penelitian BMKG dan BPPT pada 2016-2017 menyebutkan, bahan bakar fosil dan transportasi jadi sumber utama peningkatan pencemaran udara. Kondisi ini, menyebabkan masalah kesehatan, menurunkan kualitas udara dan hujan asam.

“PH curah hujan menunjukkan tren menurun, yang menandakan kualitas memburuk. Kami menyumpulkan kualitas udara ambien lokal selama periode penelitian ini (2000-2016-red) meningkat,” sebut penelitian Kusumaningtyas, dkk. Penelitian ini terbatas di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.

Penelitian ini memperlihatkan, rata-rata hujan asam muncul sejak 2006-2016 dibandingkan tahun sebelumnya, 4,31-5,42, di mana hujan normal memiliki pH sekitar 5,6. Bahkan penelitian EANET 2011, data 2005-2008, Jakarta mengalami pH lebih asam dibandingkan kota di Asia Tenggara lain, seperti Hanoi, Metro Manila, dan Bangkok pada periode sama.

Berdasarkan penelitian Karagulian, dkk, terkait sumber pencemar pada 51 negara di dunia, 25% polusi udara sekitar perkotaan PM 2.5 disumbangkan lalu lintas, 15% kegiatan industri , 20% pembakaran bahan bakar domestik, 22% dari kegiatan manusia tak ditentukan dan 18% dari alam (debu dan garam laut).

Asia Tenggara, salah satu terbesar sumber polusi udara antara lain, 36% dari lalu lintas, 18% industri, 19% pembakaran domestik, 13% kegiatan manusia, dan 14% dari alam.

 

 

Penelitian ini juga menyebutkan, polusi udara jadi masalah di wilayah dengan ekonomi berkembang pesat, peningkatan infrastruktur dan kendaraan, serta ruang hijau kurang.

”Sebenarnya sehari-hari mungkin masyarakat yang sudah sering terkena polusi itu merasakan dampak, meski kadang-kadang diabaikan atau tidak dirasakan sebagai hal yang serius,” kata Agus Dwi Susanto, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Polusi udara, katanya, terdapat partikel-partikel atau gas-gas berbahaya dalam jumlah berlebihan dalam jangka panjang. “Dalam jangka pendek, umumnya menimbulkan keluhan akibat iritasi dari mukosa-mukosa di saluran pernapasan, seperti hidung dan tenggorokan atau sampai saluran napas di bawah, yakni di paru-paru,” kata Agus.

Iritasi itu, katanya, menimbulkan keluhan hidung berair, mata merah, mata berair, kulit, bersin-bersin, sakit tenggorokan, nyeri saat menelan, selanjutnya bisa sampai sesak napas bagi orang yang memiliki penyakit dasar seperti asma.

Kondisi ini, sebagian besar kandungan dari polusi udara itu bersifat gas maupun particulate matter bersifat iritatif dalam jangka pendek. Apabila berlanjut, meningkatkan risiko ISPA, peningkatan serangan asma, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) pada orang yang sudah memiliki penyakit dasar. Juga peningkatan serangan jantung bagi orang yang punya penyakit jantung.

Penyakit lain, karena polusi udara, katanya, juga berhubungan dengan bronkhitis, PPOK, kanker paru, penyakit jantung hingga stroke.

Di Indonesia, kata Agus, menunjukkan polusi udara berhubungan dengan masalah kesehatan paru, seperti penurunan fungsi paru (21%-24%), asma (1,3%), PPOK (prevalensi 6,3% pada bukan perokok) dan kanker paru (4% dari kasus kanker paru).

Hampir semua orang, kata Agus, memiliki potensi terkena dampak polusi udara kalau terekspos terus-menerus dalam jangka panjang. “Populasi itu ada yang rentan, artinya yang memiliki risiko lebih tinggi. Ini yang harus diperhatikan pada populasi rentan, seperti balita, orang lanjut usia, perempuan, ibu hamil dan pekerja luar ruangan yang bekerja di luar lebih sering.”

PM2.5, kalau ke tubuh akan masuk ke pembuluh darah dan menginduksi inflamasi sistemik atau peradangan seluruh jaringan tubuh. Karena peradangan ini, semua proses dalam pembuluh darah bisa terganggu. Kalau terakumulasi terus menerus, akan terjadi penyempitan pada pembuluh darah kecil, termasuk ke otak, jantung dan lain-lain.

“Pada anak-anak jika otak kekurangan oksigen akan mengganggu proses perkembangan otak. Bahkan, jika jaringan tubuh lain kekurangan oksigen terjadi pembuluh darah. Ini menyebabkan gangguan pertumbuhan.”

Parahnya, particulate matter yang sudah masuk ke tubuh tak bisa hilang, kecuali paparan terhenti hingga akumulasi berhenti.

 

Angka pertumbuhan kendaraan tertinggi yang melintasi kooridor jalanan Ibukota. Jakarta.

 

 

Penyumbang polusi udara

Berdasarkan data inventarisasi Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, penyumbang polusi udara, 75% transportasi darat, 8% industri, 9% pembangkit listrik dan pemanas, dan 8% pembakaran domestik. Kendaraan bermotor yang melewati jalan di ibukota, berdasarkan data statistik transportasi Jakarta terus meningkat setiap tahun.

INRIX, lembaga internasional yang meneliti masalah transportasi dan kemacetan di dunia pada 2017 menyebutkan, 10 kota termacet di Indonesia, yakni, Jakarta dengan lama waktu pengendara ketika macet sampai 63 jam dalam setahun, Bandung (46 jam), Malang (45 jam), Yogyakarta (45 jam), Padang (45 jam), Medan (42 jam), Pontianak (40 jam), Surabaya (37 jam), Semarang (37 jam) dan Denpasar (30 jam).

Berdasarkan analisa data PM2.5 US AQI tahun 2019 di Jakarta Pusat, dengan tingkat kemacetan biasa terjadi pada Senin 07.00-08.00 dan Jumat 17.00-18.00 menunjukkan, rata-rata kualitas udara 104.67. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata kualitas udara dalam satu tahun pada 2019, yakni 103.73 µg/m3. Artinya, konsentrasi PM2.5 di Jakarta mencapai 10 kali lipat dari batas aman tahunan standar WHO atau enam kali lipat dari batas aman KLHK.

Kalau mengacu inventarisasi Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, 75% penyebab polusi udara dari kendaraan, gambaran kemacetan di beberapa wilayah lain diharapkan menjadi perhatian para pemangku kepentingan dalam mencari solusi.

 

Lingkungan bersih itu hak asasi

Esrom Hamonangan Panjaitan, Kepala Biro Perencanaan, Pengawasan dan Kerjasama Komnas HAM mengatakan, warga negara memiliki hak hidup dengan lingkungan baik dan sehat, tertuang dalam UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terkait hak hidup di lingkungan baik dan sehat, lingkungan terutama Jabodetabek dan sekitar ada masalah pencemaran udara, efek gas rumah kaca, pemanasan global, hujan asam, dan perubahan iklim.

“Polusi udara itu berdampak pada lingkungan dan dampak itu kita rasakan. Salah satunya perubahan iklim,” katanya, juga peneliti kualitas udara.

 

 

Perubahan iklim, kata Esrom, berkaitan dengan intensitas atau curah hujan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi sekitar pada awal tahun. Rentetan kejadian yang menyebabkan perubahan iklim itu berawal dari polusi udara jadi pemanasan kota atau peningkatan temperatur.

”Kondisi itu karena ada polutan-polutan dan panas yang dilepaskan kendaraan bermotor serta sejumlah industri. Ini menyebabkan temperatur di atmosfer meningkat hingga berdampak pada gangguan keseimbangan di lingkungan.”

Budi Haryanto, peneliti dari Pusat Penelitian untuk Perubahan Iklim Universitas Indonesia mengatakan, ada keterkaitan antara perubahan iklim, polusi udara dan dampak kesehatan. Pencemaran udara, katanya, menyebabkan perubahan peningkatan efek rumah kaca oleh pembakaran energi, baik itu industri, kendaraan bermotor, ataupun kebutuhan domestik.

Gas-gas yang lepas di udara membentuk layer gas rumah kaca dalam berbagai bentuk zat kimia yang beracun bagi tubuh. Reaksi gas-gas inilah menyebabkan perubahan iklim. “Ini menambah pemanasan global dan menyebabkan pencemaran. Kalau semua masuk dalam tubuh dan terhirup, jelas berdampak pada kesehatan.”

Fajri Fadhillah, peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) menilai, kebijakan pemerintah yang menyebabkan pelanggaran hak asasi akan lingkungan sehat, dalam terkait kualitas udara di Jakarta. Ketiadaan target dalam setiap kebijakan polusi udara menunjukkan ketidakseriusan pemerintah menangani masalah ini.

”Pemerintah Jakarta harus memperbaiki target pemulihan udara dengan menyusun strategi dan rencana aksi pemulihan udara dengan target jelas, misal, mencantumkan target penurunan konsentrasi PM2.5 di udara dan konsentrasi O3 yang paling tinggi di Jakarta,” katanya.

Dia juga tim advokasi gugatan masyarakat terhadap pencemaran udara di ibukota agar mengubah PP No.41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Dia nilai, standar pencemaran udara tak lagi relevan dan jauh di bawah baku mutu WHO.

Perlu juga, katanya, evaluasi rencana pembangunan daerah, terutama pada pembangunan yang menimbulkan sumber emisi pencemar udara, misal pembangunan incinerator dan enam ruas tol dalam kota.

”Ini kontraproduktif dengan upaya pemulihan udara Jakarta. Perlu ada moratorium pembangunan penghasil pencemar udara.”

 

 

*Liputan ini didukung oleh dana dari Internews ‘Earth Journalism Network (EJN) dan Resource Watch, sebuah lembaga penelitian internasional yang berfokus pada isu-isu keberlanjutan masa depan.

 

Keterangan foto utama: Berdasarkan data inventarisasi Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, penyumbang polusi udara, 75% transportasi darat, 8% industri, 9% pembangkit listrik dan pemanas, dan 8% pembakaran domestik. Kendaraan bermotor yang melewati jalan di ibukota, berdasarkan data statistik transportasi Jakarta terus meningkat setiap tahun. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Perempuan dan anak-antara lain kelompok rentan terpapar polusi udara. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version