Mongabay.co.id

Air Bersih dan Akses Pangan Warga Sulbar di Masa Corona

Sumber air warga Kambunong ini dari sungai ini, yang tak pernah untuk keperluan mandi apalagi minum. Air berwarna keruh. Air minum warga penuhi dari hujan atau membeli galon. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir.” Begitu antara lain imbauan kepada warga agar menjaga kebersihan dan kesehatan menghadapi Virus Corona (Coronavirus Disease/COVID-19).

Akses dan ketersediaan air jadi maha penting. Mirisnya, masih banyak warga terutama kelompok masyarakat miskin dan rentan di berbagai wilayah tak dapat mengakses air bersih di berbagai daerah, seperti di Sulawesi Barat.

Dari balik suara telepon, Kasim mengeluh penghasilan tambak rontok karena pandemi Virus Corona. Dia tampak pupus. “Paling mahal itu sekarang udang Rp30.000 satu kilogram. Kan biasa Rp50.000.”

“Ikan dibawa turun ke Topoyo, biasa kalau satu kuintal satu jam sudah habis. Sekarang, untung baik kalau laku dua hari. Karena bisa ji dihitung orang di pasar toh. Aduhh,” katanya.

Imbauan menjaga jarak dan larangan berkerumun membuat orang-orang enggan ke pasar. Mereka takut, virus bisa saja menyelinap saat mereka berkontak fisik.

Separuh usia Kasim habis mengurus empat hektar tambak. Rambut memutih, tubuh makin hari kian bungkuk. Dia di antara puluhan keluarga yang menggantungkan hidup dari hasil tambak. Bertani bukan keahlian Kasim. Sewaktu kecil di Pangkep, sentra tambak di Sulawesi Selatan (Sulsel), pengetahuan tambaklah yang disuntikkan sang ayah.

“Mau ki lari ke bisnis lain. Tapi, bisnis apa?” kata Kasim.

Di suatu sore, Januari lalu, saya mengunjungi Kasim, di rumahnya, di Dusun Kambunong, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat (Sulbar). Dia sedang istirahat di kolong rumah. Tubuh tampak terbakar matahari karena seharian mengurus tambak.

Depan rumah Kasim, ada muara.Tandus dan kering, begitulah paras dari perkampungan mukim Kasim bersama ratusan orang itu. Berdekatan pantai, malah bikin Kambunong panas dan gerah. Tak banyak ruang hijau. Kambunong hanya penuh tambak, yang dibelah jalan rusak berangkal batu nan berdebu. Jalan masuk dusun, sawit berjejer macam pagar. Di lahan sisa nan sempit itu, warga bikin rumah semi permanen.

Tak jauh, pabrik minyak sawit milik PT. Primanusa Global Lestari, operasi dan melarungkan limbah ke muara.

Ada dua muara melintasi dusun ini. Air macam air gambut, gelap dan berawarna tanah. Kasim bilang, warga sejak dulu tak pakai air itu untuk keperluan rumah tangga baik untuk mandi, apalagi minum.

“Karena asin. Takut juga limbah sawit,” kata Kasim.

Bagi Kasim, limbah sawit membawa petaka, kepada petambak macam dirinya, kepada nelayan sungai, pula petani rumput laut. Mereka ingin melawan, tetapi meraih keadilan di Mateng, seakan mimpi.

Sejak Virus Corona menghantam Indonesia, warga pelosok membatasi akses ke perkampungan. Mereka bikin pos jaga dilengkapi portal bambu begitu juga di Kambunong.

Setidaknya, cara itu bagi mereka, efektif memotong rantai penyebaran Corona.

Jakarta, jadi episentrum wabah ini di Indonesia. Pemerintah, menurunkan rentetan putusan dan serba-serbi aturan untuk tangani pagebluk ini. Mereka juga menyuruh warga berdiam di rumah dan menjaga kebersihan diri. Mencuci tangan satu cara sederhana yang aman bisa tangkis Corona. Asal ada air bersih dan sabun.

Menyediakan air bersih bagi Kasim, bukan perkara gampang. Dia mesti mengeluarkan uang lebih, atau memanen air hujan yang dia tadah sebelumnya. Itu Kasim lakukan sejak dia memulai hidup rantau di Kambunong pada 1994.

“Kalau ndak ada hujan, rendah mi itu lima galon satu hari. Bayangkan, Rp10.000 tiga galon. Mahal! Jadi kita atur, bagi-bagi bagaimana supaya cukup. Karena tidak dapat itu. Sementara 10 orang tinggal di rumah.”

“Kita tersiksa ini!” keluh Kasim berulang kali. Kasim yakin, air hujan yang dia tampung bersih, meski ragu akan kandungannya.

 

Kasim, warga Kambunong. Masa Corona, penjualan ikan tambaknya terdampak, merekapun terbatas air bersih karena hanya dari pasokan air hujan. Kalau, tak ada air hujan, mereka harus berli air galon. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Corona kali ini menguncang dunia merupakan wajah baru dari Virus Corona pemicu Severe Acute Respiratory Syndrome (Sars) yang muncul pada 2002, di Tiongkok. Para pakar melabeli: ‘Sars-Coronavirus-2’ (Sars-CoV-2).

Semula, penyakit zoonosis ini dinamai Novel Coronavirus yang kali pertama muncul di Wuhan, kota di Tiongkok. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengganti jadi Coronavirus Disease-2019 (COVID-19), pada 12 Februari 2020.

Dari kota berpenduduk 11 juta itu, virus ini lalu meruak ke seluruh dunia dengan menumpangi manusia. Visualiasasi The New York Times menjelaskan itu dengan baik. Laporan terbitan medio Maret itu, menganalisis bagaimana COVID-19 merebak ke seluruh dunia dengan ‘mengakali’ arus gerak manusia.

Kemunculan Corona berkabut misteri, tetiba saja puluhan pasien bergejala sesak napas membanjiri rumah sakit. Lin Wenliang, sang dokter ‘pembisik’ memperingatkan dunia melalui sosial media kala itu, bahwa telah muncul sebuah virus serupa SARS, namun lebih berbahaya. Sebelum COVID-19 membunuhnya, Lin dituduh sebagai pengganggu ketertiban sosial oleh polisi Wuhan.

Masih dari analisis Times. Jelang Imlek, arus mudik dari Wuhan meningkat. Mereka bergerak ke penjuru Tiongkok. Jelang otoritas membatasi wilayah, hilir mudik itu malah makin deras. Pada 21 Januari, pejabat Tiongkok sadar, kalau virus ini bisa menular dari manusia ke manusia. Dua hari berselang, otoritas baru mengunci Wuhan. Kota-kota lain pun ikutan. Namun, inang virus terlanjur hanyut dalam arus mobilitas tadi.

Saat sama, penerbangan internasional malah tak berhenti, orang-orang leluasa lakukan perjalanan ke Korea Selatan, Amerika, Bangkok, dan negara lain. Keberadaan virus itu pun ditemukan di luar Tiongkok.

Di Indonesia, kasus COVID-19 pertama asal Depok, diumumkan di 2 Maret, 9 hari sebelum WHO menyatakan, Corona sebagai pandemi.

Hingga kini, virus telah ‘menginfeksi’ 212 negara, menjangkiti lebih 2,5 juta orang. Sekitar 700.000-an orang meninggal. Hingga April, ragam mutasi Sars-CoV-2 berhasil teridentifikasi, sementara yang terinfeksi terus naik.

Data pertanggal 27 April, di Indonesia, dari hasil uji spesimen 75.157 metode polymerase chain reaction (PCR) di 46 laboratorium, 59.509 kasus spesimen 9.096 positif dan 50.313 negatif. Sebanyak 765 orang meninggal dunia dan 1.151 sembuh.. Di Sulawesi Barat ada 35 kasus.

Khawatir makin merebak, Indonesia memilih skema pembatasan sosial serupa Singapura—dan sejumlah negara—yang berhasil menahan skop penularan Corona. Dari ‘bawah,’ muncul desakan lockdown. Beberapa pemerintah daerah pun, memilih lebih dulu mengkarantina wilayahnya.

Pada 31 Maret, otoritas pusat muncul dengan Peraturan Pemerintah No.21/2020. PP itu jadi payung hukum bagi pemerintah daerah untuk mengunci wilayah. Ada beberapa syarat untuk terapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Puluhan ribu km dari pusat ibukota Jakarta, Darwis dan sejumlah warga membatasi akses keluar-masuk Kampung Mampie, Polewali Mandar (Polman). “Bikin satu posko. Jaga-jaga orang masuk,” kata Darwis. “Nanti disuruh cuci tangan kalau mau masuk. Itu kalau penting. Kalau tidak penting disuruh kembali.”

Darwis sebagai kepala dusun di Mampie. Saat kami berbincang melalui telepon, dia sedang jaga di pos, bersama warga. Di pos, mereka menyuruh yang melintas cuci tangan dan menyemprot kendaraan dengan cairan disinfektan.

Pos itu lebih cocok disebut saung, beratap rumbia. Warga melintangkan bambu di jalan, sebagai portal. “MAAF… UNTUK SEMENTARA ORANG MASUK DIBATASI,” bunyi tulisan yang mereka tempel pada portal.

Begitulah, cara mereka menghadang Corona, secara swadaya.

Ada masalah pelik. Di Mampie, air bersih juga langka.“Ini mi air bersih susah kalau di sini,” kata Darwis. “Kita tadah air hujan. Kalau tidak ada hujan. Tidak ada lagi. Yang jaga di sini saja yang berusaha cair air.”

Pada 1980-an, air bersih dan tanaman pangan berlimpah. Mangrove dan hutan belukar mengitari Mampie, juga kebun kelapa. Itu tinggal kenangan.

Separuh dataran Mampie, tersapu abrasi. Lahan huni dan kebun yang menjorok ke lautan kini tenggelam dalam rentang tiga dekade. Saya ke Mampie, pada medio Februari. Di sana, saya bertemu warga dan menyaksikan bagaimana abrasi membuat mereka beradaptasi. Abrasi membuat lahan mereka tak lagi produktif.

Pelindung alami hilang, diperburuk tipikal tanah rentan membuat pesisir Mampie, lemah menahan gempuran gelombang musim barat yang datang dari Selat Makassar. Pemanasan global ikut mendorong laju pengikisan makin ganas dan naiknya permukaan air laut.

Air laut merembes ke tanah, mencampuri persediaan air tanah bagi penduduk. Krisis air pun berlanjut. “Ada pipa (PAM), tapi belum mengalir. Baru ada berapa warga mendaftar itu. Kurang tahu kapan mengalir, karena kalau ditanya Pak Desa ini, cuma bilang; ‘sementara ini dalam proses.’ Ndak tahu proses apa itu,” Darwis heran.

Dari topografi, Mampie adalah tanjung yang terbuka ke laut lepas. Tempat tinggal Darwis bersama 300-an keluarga itu juga disesaki tambak dengan lahan layak huni nan sempit. Mampie tak sedamai dulu lagi.

Inilah wajah dari suaka marga satwa itu sekarang. Abrasi mengancam warga Mampie dan penyelamatan penyu tiap tahun.

“Ada ji juga sumur di Mampie, tapi tidak terlalu bersih. Kalau tidak hujan ambil air di Galeso di keluarga,” kata Nasir, warga Mampie.

“Bisa ji. Dicukup-cukupkan saja airnya untuk bersihkan diri.”

 

***

Masa pandemi ini, orang-orang memborong masker dan keperluan dasar lain. Fenomena itu jadi omongan publik. Tak cukup masker, mereka juga ‘menggasak’ cairan pembersih tangan, alkohol 70%, dan antiseptik dari Apotek maupun gerai-gerai swalayan. Tak cukup seminggu, barang-barang itupun langka di pasaran.

Bagi WHO, memakai masker, cairan pembersih tangan, dan antiseptik bukan langkah pertama perlindungan dasar, tetapi mencuci tangan dengan teratur. Menurut WHO, cuci tangan dengan air bersih dan sabun, bisa membunuh virus itu. Asal teratur dan menyuluruh.

Berbekal ini, pemerintah pusat sampai desa sekalipun, gaungkan cuci tangan teratur dan serajin mungkin. Kementerian Kesehatan memberi lima langkah cuci tangan, sedang WHO rekomendasikan sembilan langkah.

Kendalanya, air bersih barang langka di sebagian tempat. Terlebih bagi mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil, pesisir, atau lahan tandus. Akses warga pedesaan untuk air minum layak saja menurut Badan Pusat Statistik (BPS) masih 64.18% pada 2018. Di Sulbar, 57.31%.

Pada 2017, BPS Sulbar menyurvei, empat perusahaan penyedia air bersih. BPS klaim, kapasitas produksi perusahaan ini naik jadi 755 liter/detik, pada 2015 hanya 690 liter/detik. Dari total produksi itu, 7,25 juta meter3 disalurkan kepada 41.383 pelanggan, 38.824 rumah tangga.

Kasim bersama puluhan keluarga yang bermukim di Dusun Kambunong, tidak masuk dalam angka pelanggan itu. “Tetap kita usahakan kalau air bersih. Biar jauh, kalau tidak ada di sini dijual,” kata Kasim.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) di Sulbar pada 2011 menyebut, persediaan air di provinsi yang dimukim 151.400 warga miskin ini, 36.07% ‘bukan sumber air bersih yang bisa diminum’ macam hujan, sungai, sumur tidak terlindung, dan mata air tidak terlindung. Sisanya, sumber air bersih layak.

Bagaimana peran pemerintah selama masa Corona ini? “Aih… tidak ada sama sekali. Tidak ada bantuan di sini!” kata Kasim.

Data lain bilang, di Mamuju Tengah setidaknya hingga 2015 ada 362 kelompok rumah tangga, dari penduduk 121.000, menampung air hujan untuk sumber air minum. Di Polman, tak ada.

Di Mampie, juga alami masalah serupa. “Cuma bantu sabun ji. Itupun dari (pemerintah) desa. Air tidak,” kata Darwis. “Harapannya kita di sini, kalau bisa air bersih segera dialirkan ke Mampie.”

 

Pangan masa pandemi

Pada 14 April, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mempublikasi analisis baru buat kebijakan ketahanan pangan di masa pagebluk COVID-19 buat pemerintah.

Ada beberapa hal, seperti perlu meningkatkan fasilitas produksi dan konsumsi sektor pangan, memastikan fasilitas dan bantuan di semua lini pangan, pengkajian ulang terhadap data pangan. Juga mengoptimalkan potensi produksi pangan domestik dan memperbaiki sistem logistik pangan nasional.

Menurut Makmur, dosen Agronomi Universitas Negeri Sulbar (Unsulbar), prinsipnya pasokan pangan tidak alami kekurangan. Yang masalah, katanya, keterjangkauan pangan masyarakat. “Itu yang terjadi di Sulbar.”

Sebelum Corona sampai Sulbar, kata Makmur, keterjangkauan pangan adalah omongan lama. Apalagi lemahnya jangkauan pangan bergizi. Kondisi ini, katanya, yang menyebabkan kasus stunting terus naik. Pada 2017, Sulbar menduduki posisi kedua tertinggi prevalensi stunting di Indonesia. Penyumbang kasus terbesar adalah Majene.

Makmur melihat, jangkauan pangan yang berat dialami kluster masyarakat bawah, seperti nelayan atau yang bekerja pada kondisi alam yang acap kali berubah. “Khusus di Majene, Mamuju, dan Polman daerah pesisir. Itu yang susah mengakses sebenarnya.”

 

 

Menurut dia, penghasilan masyarakat tidak seimbang dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di zaman serba mahal. Selain untuk makan, mereka juga banting-tulang untuk sekolah, dan keperluan dasar lain bagi keluarga. Kondisi inilah yang membuat mereka sulit menjangkau pangan bergizi.

“Jadi, kebanyakan mereka hanya bertahan hidup. Persoalan untuk memenuhi gizi itu nomor dua. Yang penting bisa makan dulu,” kata Makmur.

Pada prinsipnya, pangan itu tersedia dalam arti setok di pasar. “Tapi kemampuan finansial mereka tidak signifikan untuk mengakses itu.”

Bagaimana dalam masa pandemi ini, apakah kemampuan masyarakat makin rendah? “Pastilah,” kata Makmur. “Karena mobilitas kurang, pasti pemasukan juga kurang.”

Artinya, kata dia, pembatasan jarak diri membuat interaksi pada lini kerja ditiadakan. Mereka yang bekerja sebagai penyedia jasa macam sopir, buruh, dan lain-lain akan terpukul.

Corona, katanya, benar-benar menghantam sektor-subsektor perekonomian. Meski pasokan pangan bisa terjamin, tetapi kemampuan masyarakat belum tentu. “Ini perlu diperhatikan pemerintah.” Dia bilang, di tengah pagebluk ini, pemerintah harus segera mengambil sikap.

“Supaya masyarakat bisa mengakses kebutuhan dasar. Pemerintah juga harus berani menstrukturisasi perencanaan pembangunan tahun berjalan maupun jangka panjang, harus mengalokasikan persentase pembangunan infrastruktur, ke sektor pangan, kesehatan, dan pendidikan.”

“Itu yang tidak bisa ditawar-menawar lagi.”

Menurut Makmur, pemerintah bisa saja menyuruh warga tetap di rumah tetapi perlu memastikan ketersediaan pangan untuk masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Penyaluran bantuan salah satu cara. “Tapi mesti perlu pengawasan ketat saat delivery-nya. Karena kadang bantuan itu tidak sampai.”

Kasim merasakan itu. “Dipilih-pilih ji yang dikasih. Ada tidak dapat warga. Saya tidak dapat. Mungkin orang-orang yang ada mobil yang kena bantuan. Katanya yang janda-janda ji yang kena. Na kenapa yang kulihat begitu.”

Di situasi kalut begini, dengan penjualan hasil tambak rontok, membuat Kasim khawatir keberlanjutan hidup keluarganya. “Kalau panjang-panjang ini Corona, ndak tahu bagaimana nanti. Kalau pemerintah tidak melihat ke bawah, bagaimana situasi Kambunong ini. Gawat ini.”

Sementara limbah sawit terus mengancam ruang hidup warga di Kambunong. “Masih ada lagi limbah. Ikan terapung lagi. Itu mi, kukira ada Corona, tapi (pabrik sawit) berasap terus. Aih… memang di sini susah. Limbah mi. Penyakit mi.

 

 

 

Tambak di Mempie. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version