Mongabay.co.id

Konflik Lahan di Masa Pandemi, Bagaimana Proses Hukum Pembunuhan Warga Lahat?

Buah sawit di pohon. Foto: Rhett A. Butler

 

 

 

Di tengah situasi darurat pandemi Virus Corona ini, konflik lahan atau konflik agraria terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Pemerintah meminta masyarakat menjaga jarak (physical distancing), kriminalisasi warga, kekerasan dan perampasan lahan terus terjadi. Salah satu kasus di penghujung Maret lalu, dua warga Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tewas di tangan petugas keamanan perusahaan sawit. Bagaimana proses hukum pembunuhan dua warga ini?

Tim Advokasi Rakyat Pagar Batu menilai penegakan hukum terhadap kasus ini belum serius. Sejauh ini baru satu petugas keamanan perusahaan PT. Arta Prigel bernama Ujang jadi tersangka pembunuhan.

“Apabila polisi serius penyidikan, seharusnya tidak sulit menetapkan tersangka baru. Pengusutan kasus jangan hanya berhenti di level keamanan perusahaan, harus dikembangkan hingga ke pimpinan Arta Prigel yang menyediakan senjata tajam dan memberi perintah mendatangi lokasi konflik,” kata Mualimin Pardi Dahlan, Kordinator Kuasa Hukum dari Tim Advokasi Rakyat Pagar Batu, pekan lalu.

Baca juga: Dua Warga Lahat Tewas di Tangan Sekuriti Perusahaan Sawit

Pada Sabtu [21/3/20] sekitar pukul 09.00 terjadi pengeroyokan oleh sekuriti perusahaan hingga Suryadi [40] dan Putra Bakti [35], tewas. Sedang Sumarlin [38] dan Lionagustin [35] mengalami luka bacok di tangan.

Berdasarkan keterangan warga yang melihat kejadian, katanya, bukan hanya Ujang terlibat dalam kejadian berdarah pembunuhan dan penganiayaan  itu. Ada beberapa petugas keamanan perusahaan turut serta menikam dan tindakan kekerasan. Bahkan, oknum polisi berada di lokasi, katanya, malah berada di posisi perusahaan dan tak memberi perlindungan kepada warga.

Tim Advokasi Rakyat Pagar Batu mendesak, Polda Sumsel bersikap tegas dengan pemeriksaaan internal kepada seluruh oknum kepolisian di lokasi kejadian.

“Menurut kami oknum kepolisian yang berada di lokasi kejadian tidak melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana mestinya. Mereka membiarkan tim keamanan Arta Prigel membawa senjata tajam, membiarkan tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan.:

Tindak pembiaran ini, katanya, bentuk pelanggaran disiplin perilaku anggota Polri sebagaimana dalam Peraturan Kapolri Nomor 2/2016 tentang Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota Kepolisian.

Baca juga: Hermanus, Pejuang Agraria yang Berkonflik dengan Perusahaan Sawit Meninggal Saat Proses Peradilan

Tim Advokasi, katanya, segera mengirim surat kepada Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sumsel soal dugaan pelanggaran ini. Dalam surat itu, tim advokasi meminta Polda Sumsel mendesak Polres Lahat melakukan tugas penyidikan secara profesional dan cepat.

Era Purnamasari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI mengatakan, preseden buruk keterlibatan kepolisian dan aparat keamanan dalam berbagai konflik agraria harus dihentikan.

“Dua petani di Lahat harus jadi peristiwa terakhir. Apabila terbukti membiarkan pembunuhan ini, oknum kepolisian berikut pimpimpinan bisa saja dimintakan pertanggungjawaban pidananya.”

Penegakan hukum tegas dan memulihkan hak dasar warga terhadap tanah yang jadi sumber kehidupan, katanya, harus jadi prioritas dalam penyelesaian konflik ini.

 

Lahan PT. Arta Prigel yang kembali diminta warga Desa Pagar Batu, Kabupaten Lahat, Sumsel. Foto: Dok. Gerakan Tani Sumsel

 

Pengembalian lahan

Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan menyebutkan, sejak status darurat Corona, kehidupan masyarakat Desa Pagar Batu makin memprihatinkan. Ada 182 keluarga terancam mengalami krisis pangan, khusus dua keluarga yang kehilangan tulang punggung karena dibunuh.

“Mereka pun rentan terpapar karena belum ada bantuan alat pencegahan seperti masker dan hand sanitizer. Konflik mengakibatkan krisis yang dialami warga makin parah, terjebak kemiskinan dan diancam Corona,” katanya, seraya bilang, satu-satunya cara melepaskan warga dari kondisi kemiskinan ini dengan mengembalikan tanah mereka.

Sejak Arta Prigel membuka kebun sawit di Desa Pagar Batu, kata Eep, sapaan akrabnya, kehidupan masyarakat perlahan berubah drastis.

Masyarakat kesulitan mendapatkan pekerjaan layak, hingga terjadi kemiskinan. Proses perampasan tanah warga seluas 180,36 hektar  terjadi sejak 1993-2003.

“Perampasan dengan cara militeristik dan kedok jual beli,” katanya.

Konflik mulai memanas sejak warga sadar sebenarnya tidak ada proses peralihan hak. Perusahaan, sebenarnya melakukan perampasan tanah paksa dan manipulatif.

Kesadaran ini lahir pada penghujung 2018, bermuara pembentukan Forum Pemuda Pemudi Pagar Batu (FP3B) sebagai wadah perjuangan.

“Sayangnya, belum selesai perjuangan merebut kembali tanah yang dirampas, masyarakat harus kehilangan dua saudaranya. Mereka kehilangan dua pejuang agraria, Suryadi dan Putra Bakti.”

Dasar penyelesaian konflik agraria berbasis pemulihan hak dapat merujuk pada Surat Gubernur Sumatera Selatan Nomor:  593 tertanggal 6 April 2020 kepada Bupati Lahat dan Dokumen Nomor: 2/STAF.WM/SKP/3/2020 tentang Rekomendasi Untuk Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah. Soal, penanganan konflik pertanahan antara Artha Prigel dengan masyarakat Desa Pagar Batu, Lahat.

“Berdasarkan surat yang dikirim gubernur dan dokumen dari Tim Wamen ATR/ BPN ada peluang penyelesaian konflik berbasis pemulihan hak warga.”

Bupati Lahat, katanya, jadi kunci utama penyelesaian konflik dengan cara evaluasi perizinan Arta Prigel.

Selanjutnya, Bupati Lahat mengirimkan surat kepada Menteri ATR/ BPN untuk merekomendasikan pencabutan sebagian atau keseluruhan lokasi perkebunan Arta Prigel yang berkonlik dengan warga Desa Pagar Batu.

Dokumen Tim Wamen ATR/ BPN juga dapat jadi dasar verifikasi untuk membuktikan praktik penerbitan hak atas tanah yang bertentangan dengan hukum.

Tim advokasi berkeyakinan, pembukaan dokumen warkah akan memperlihatkan pembebasan tanah perusahaan dengan cara bertentangan hukum dan keadilan.

“Kami mendorong dan mendukung Bupati Lahat mengambil langkah tegas menyelesaikan konflik ini. Terlebih sebelum kejadian 21 Maret 2020, bupati sudah melakukan beberapa hal positif mendukung perjuangan warga. Meskipun belum membuahkan hasil maksimal. Saat ini momentum tepat bagi bupati menghukum perusahaan dan melindungi rakyatnya,” kata Syamsudin Wahid dari Konsorsium Pembaharuan Agraria.

Kebijakan dan tindakan bupati, katanya, harus pro pembaharuan agraria dan dalam waktu cepat. “Tanah seluas 180,36 hektar  harus dikembalikan ke warga.”

Tim advokasi juga menemukan indikasi Arta Prigel telah beroperasi sejak 1994, namun hak guna usaha (HGU) baru pada 2006. Berarti, selama 12 tahun dari 1994-2006, Arta Prigel tanpa legalitas hak atas tanah.

“Sudah sepatutnya perusahaan ini dihukum, dicabut izin dan redistribusi eks lokasi perkebunan kepada warga Desa Pagar Batu dan desa lain yang berkonflik dengan perusahaan ini,” kata Era.

 

Jenazah Suryadi di rumah keluarganya, sebelum dimakamkan. Foto: Dok. Walhi Sumsel

 

Konflik tak kunjung usai

Tak hanya di Sumsel, konflik agraria berlarut-larut di banyak daerah di nusantara ini. DI Kalimantan Tengah, Maret lalu, belasan warga yang berkonflik dengan perusahaan sawit, diamankan, tiga orang proses hukum—dua orang diamankan di Jakarta.

Pada 26 April lalu, salah satu dari tiga warga itu, Hermanus, meninggal dunia. Hermanus bersama dua warga lain, James Watt dan Dilik didakwa atas laporan perusahaan yang menuding mereka mencuri buah sawit, di areal lahan sengketa dan berada di luar HGU PT. Hamparan Mas Bangun Persada [HMBP].

Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, catatan mereka, ada 345 konflik lahan di Kalteng belum ada penyelesaian.

Eep mengatakan, dalam situasi pandemi seperti ini seharusnya kepentingan rakyat utama. Warga sudah berupaya tak berkumpul sebagai upaya mencegah penularan Corona tetapi situasi ini malah dimanfaatkan perusahaan mengambil lahan warga.

Masa ini, katanya, seharusnya kepolisian maupun pemerintah bisa meredakan sekaligus jadi momentuk penyelesaian konflik. Seharusnya, pemerintah sadar petani merupakan tulang punggung utama mengatasi persoalan krisis pangan terlebih di masa pandemi.

Dia mendesak, presiden mengambil sikap tegas menyelesaikan seluruh konflik agraria dengan pendekatan pemulihan hak warga. Presiden, katanya, harus memerintah kepada kementerian dan lembaga untuk menghentikan seluruh tindakan kekerasan, kriminalisasi serta intimidasi lain terhadap warga.

“Komnas HAM dan Kompolnas agar investigasi dan proses pengawalan penegakan hukum kepada pelaku pembunuhan dan keterlibatan Arta Prigel.”

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), katanya, juga harus pro aktif memberikan perlindungan kepada saksi dan korban konflik agraria ini. “Sekaligus juga dapat memberikan layanan bantuan medis maupun psikososial yang dialami korban dan keluarganya,” katanya.

Dia juga mendesak Menteri ATR/ BPN bersama Bupati Lahat dan Gubernur Sumsel peninjauan ulang keseluruhan HGU Arta Prigel sekaligus mengembalikan 180,36 hektar lahan kepada warga.

“Kami meminta pemerintah menekan seluruh korporasi dan aparat keamanan dengan mengumpulkan securii yang memanfaatkan situasi pandemi ini. Kasus di Lahat ini penting diusut tuntas aktor perusahaan dan keamanan yang terlibat. Audit mekanisme sistem kerjasama korporasi dengan pihak keamanan di wilayah konflik.”

Pada 2 April 2020, juga terjadi letusan konflik di Desa Sedang, Kecamatan Suak Tapeh, Banyuasin. PT MItra Aneka Rezeki (MAR) dengan kawalan polisi merobohkan pondok penyimpan padi milik Kelompok Tani Mafan.

“Puluhan orang perusahaan didampingi aparat kepolisian hendak menggusur pondok-pondok petani yang diduga akan jadi kebun sawit,” katanya.

Petani yang bersiap panen padi, katanya, berusaha menghalangi perusahaan yang akan menggusur pondok. Dari perusahaan tak menggubris dan merobohkan paksa pondok petani. Ada tiga pondok penyimpanan padi rusak. Pada masa seperti ini, katanya, kepolisian justru bertindak buruk dengan mengawal perusakan lahan dan sarana pertanian.

 

Warga Desa Penyang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, yang berkonflik dengan perusahaan sawit, Foto: Save Our Borneo

 

Hutan mangrove terbabat buat kebun sawit ilegal

Dana Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara mengatakan, konflik agraria juga terjadi di Sumut. Kamis (26/3/20) ada terjadi perusakan mangrove Kelompok Tani Nipah dengan dibakar.

Peristiwa ini terjadi di hutan mangrove Pesisir Langkat, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat.

“Upaya rehabilitasi mangrove oleh Kelompok Tani Nipah kerap mendapat hadangan dan tantangan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang menanam sawit di kawasan hutan,” kata Dana.

Dana mengatakan, luas hutan mangrove di wilayah itu sekitar 80.000-an hektar, sekitar 80% rusak karena jadi perkebunan sawit dan tambak skala besar.

“Sebagian besar perusahaan ini tak punya izin. Mereka alih fungsi sesuka hati dan ditunggangi orang penting di sana,” katanya.

Dia bilang, alih fungsi hutan mangrove jadi perkebunan sawit dan tambah sejak 2011. Kondisi ini membuat wilayah kelola nelayan dan masyarakat di sana terganggu. Padahal, katanya, mereka hidup bergantung pada ekosistem mangrove.

Sejak awal masyarakat menolak alih fungsi itu. Pelaporan juga berkali-kali mereka lakukan kepada pihak berwenang tetapi tak ada tanggapan.

Khawatir hutan mangrove makin rusak, pada 2016, warga membentuk Kelompok Tani Nipah, sebagai wadah perjuangan menyelamatkan ekosistem kawasan ini. Upaya mereka menyelamatkan hutan mangrove seringkali mendapat intimidasi dari pihak perkebunan sawit.

Warga mengusulkan perhutanan sosial untuk menyelamatkan hutan mangrove. Pada 2017, mereka mendapatkan surat keputusan perjanjian pengelolaan hutan berbasis kemitraan dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan I Stabat. Kemudian, pengelolaan hutan kemitraan oleh Kelompok Tani Nipah makin kuat dengan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6187 pada 2018 seluas 242 hektar.

SK perhutanan sosial memperlihatkan, lokasi itu berstatus clean and clear, tak ada izin perkebunan sawit dari pemerintah. Perkebunan sawit itu pun ilegal.

“Dengan SK itu, Kelompok Tani Nipah berbagai upaya rehabilitasi kawasan dengan penanaman mangrove jenis Rhizopora, dan nipah. Mereka juga memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dari nipah secara legal. Pucuk nipah mereka jual jadi bahan baku pembungkus makanan ringan khas Langkat,” katanya.

Tak hanya itu, nelayan tradisional di sana juga mendapatkan manfaat. Kepiting mangrove dan berbagai hasil tangkapan lain bertambah.

Meski sudah ada SK perhutanan sosial, tak menjamin upaya pelestarian mangrove warga berjalan mulus. Hingga kini, masih ada perkebunan sawit seluas 64 hektar yang merusak ekosistem mangrove dan menghalangi rehabilitasi Kelompok Tani Nipah.

“Perkebunan sawit diduga ilegal ini membuat rhizopora, dan nipah yang ditanam kelompok tani ditebang dan dibakar. Masyarakat selalu dapat hadangan dan halangan, dan tanaman-tanaman dirusak. Saat masyarakat menancapkan plang izin kemitraan, dicabut oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,” katanya.

Hutan mangrove, harusnya terjaga, bukan malah terbabat jadi kebun sawit atau peruntukan lain.  Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Puncaknya 26 Maret lalu, pekerja perkebunan sawit itu membakar hutan mangrove. Pepohonan rehabilitasi Kelompok Tani Nipah musnah, bahkan, perusakan paluh.

Peristiwa ini, katanya, kontradiktif. Masyarakat diminta mengisolasi diri, tetapi pengusaha merampas akses legal yang sudah ada keputusan pemerintah.

“Ini miris dan sangat tidak terpuji. Kita berharap polri jangan hanya memberikan maklumat kepada masyarakat juga ke korporasi.”

Dalam masa darurat Corona, katanya, pemerintah harusnya bisa menjamin hak rakyat bukan malah tutup mata atas aksi pemilik modal.

Dia yakin, pemerintah tahu masalah ini. Penegak hukum juga tahu dan membiarkan perkebunan sawit ilegal seluas 64 hektar di lokasi sama.

“Dengan alasan pandemi, pemerintah bilang sumber daya berkurang. Ini bukan alasan.”

Rere Christanto, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengatakan, konflik juga terjadi atas warga penolak pertambangan emas Tumpang Pitu. Pada 27 Maret 2020, warga tolak tambang emas Gunung Tumpang Pitu dan Salakan, aksi blokir jalan di pertigaan Lohwi, Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi. Aksi pemblokiran ini terhadap aktivitas kendaraan dan kegiatan produksi pertambangan.

Aksi ini bermula saat pemerintah mendesak, warga menutup tenda perjuangan tolak tambang di Dusun Pancer, Sumberagung, sebagai antisipasi penyebaran Corona.

“Warga menolak menutup tenda perjuangan mereka. Warga mengatakan, jika tenda perjuangan ditutup, tambang juga tutup.”

Karena kalau perusahaan masih produksi, akan ada lalu lalang pekerja, dari berbagai daerah yang berpotensi jadi media penyebaran virus.

Rere mendesak pemerintah segera turun memantau dan penyelidikan guna memastikan tak lagi terjadi pelanggaran HAM di wilayah itu. Pemerintah, katanya, kalau mau serius mencegah penyebaran virus, aktivitas perusahaan juga harus setop.

 

Keterangan foto utama: Buah sawit yang disebut-sebut komoditas andalan dan menciptakan kebun sawit skala raksasa, menimbulkan konflik lahan, salah satu di Lahat, Sumsel. Foto: Rhett Butler/ Mongabay

 

Exit mobile version