Mongabay.co.id

Pantura Jawa Terancam Karam

 

Laut kini menjadi halaman belakang rumah Darsa (60). Sewaktu pasang, air asin itu kerap membanjiri pekarangan rumahnya. Sekalipun dibuat tanggul dari karung pasir dan ban bekas tapi tak mampu menahan gulungan ombak Pantai Cemara Jaya di Desa Cemara Jaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Di rumah berukuran 4×6 meter itu, Darsa tinggal bertujuh bersama istri dan anaknya. Sepintas, rumah itu tak cukup tangguh melindungi mereka. Tembok keropos dengan kondisi rumah yang terlihat lapuk.

“Sudah lama ingin pindah. Tetapi harga tanah mahal, kami belum cukup mampu membeli tanah untuk tempat baru,” ujar Darsa beberapa waktu lalu.

Kemiskinan menjadi potret masyarakat pesisir saat ini. Di kiri-kanan rumahnya, berjejer rumah tak berpenghuni. Tetangganya sudah banyak yang pindah.

Sepuluh tahun lalu, seingat Darsa, jarak ke bibir pantai cukup jauh dari rumahnya. Kira-kira berjarak 100 meter. Namun, rupanya abarasi begitu cepat menyapa daratan. Kisah Darsa seperti mengulang fakta muram, hilangnya daratan di pesisir utara Karawang.

Sebelumnya, daratan di Pantai Pisangan, wisata primadona Desa Cemara Jaya, telah lebih dulu hilang. Pohon-pohon bakau, yang dulu membentengi daratan ikut lenyap. Bahkan, abrasi pernah membuat satu dusun tenggelam.

baca : Begini Kondisi Mangrove Pantura Jabar..

 

Kondisi pemukiman warga di Desa Cemara Jaya, Kabupaten Karawang, Jabar yang terancam abrasi pesisir laut Pantura. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Wanasuki, warga lainnya, butuh waktu dua puluh tahun untuk bisa mengetahui laju abrasi di kampung halamannya. Katanya, tiap tahunnya hampir 2 meter daratan hilang. Angka itu, ia dapatkan setelah membandingkan jarak antara pantai dengan rumahnya. Semula 1.4 kilometer, kini hanya 150 meter.

“Kami prihatin sekali ketika pantai kami tercemari oil spell Juli 2019 lalu, desa ini dikunjungi banyak pejabat. Mereka berniat menangani terkait abrasi,” ujar Wanasuki. Nyatanya kabar itu lenyap, “Abrasi kembali menjadi cerita”.

Abrasi memang telah mengganas di sepanjang 84 kilometer pesisir Karawang. Akibat tak memiliki penahan gelombang, banyak rumah-rumah yang hanya terpisah beberapa meter saja dari bibir laut.

 

Kampung tenggelam

Kondisi tak jauh beda juga terjadi di sebelah barat Karawang, yaitu Kabupaten Bekasi. Di sini, abarasi menjadi ironi bagi warganya.

Menjelang sore, pancaran lampu bohlam menerangi rumah-rumah warga yang tersisa di Kampung Muara Beting, Desa Pantai Bahagia. Tak seperti namanya. Desa ini seolah jauh dari bahagia, dekat dengan nestapa.

Sejak tahun 2000-an, abrasi telah mempengaruhi garis hidup warganya. Semakin mendekati muara, semakin jelas bagaimana abrasi mendera perkampung petambak dan nelayan tersebut.

Di antara banyaknya bangunan-bangunan tak bertuan, Suhendra (27) memilih bertahan. Bersama tujuh anggota keluarganya, mereka tetap menetap di tengah desa yang hampir tenggelam ini.

Rumah Suhendra tepat berada di muara Sungai Citarum. Belakang rumahnya adalah Laut Jawa cuma terhalang secuil hutan bakau. “Karena tak ada biaya untuk pindah, kami harus mampu beradaptasi,” ucapnya lirih.

baca juga : Sabuk Pantai di Pesisir Utara Jawa Barat, Tinggal Kenangan. Kok Bisa?

 

Seorang warga berada di rumahnya yang terancam abrasi di Desa Cemara Jaya, Kabupaten Karawang, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tak hanya Suhendar, sebagian masyarakat juga beradaptasi. Sonhaji (32), misalnya. Sejak 2013, ia bersama sejumlah pemuda desa getol menanam bakau.

“Tujuan menanam (bakau) agar daratan di kampung kami tidak hilang,” kata dia. Setidaknya, selama tujuh tahun terakhir, mereka berhasil menanam bakau seluas 30 hektare. Namun, jumlah itu dirasa belum sepadan dengan hilangnya 800 hektare mangrove.

Sonhaji menyaksikan jika abrasi telah melenyapkan kampung-kampung di Desa Pantai Bahagia. “Jika hitung barangkali luasnya 20 kali lapangan sepak bola.”

Tak hanya itu, sedimentasi sungai memperburuk kualitas lingkungan di sana. Pasalnya, sendimentasi lekat dengan sampah dan limbah. Masalah pun kian pelik.

Ia bilang, sejak petaka menghantam kampungnya, penghidupan kian sulit. Tak sedikit warga justru memilih pindah. Mereka yang bisa pindah hanyalah ekonomi menengah atas. Hal tersebut dibuktikan dengan rumah-rumah gedong di sekitar muara yang sudah tidak bertuan.

“Pemilik rumah-rumah besar itu dulunya bandar tambak,” kata Sonhaji.

Rumah-rumah itu menjadi monumen sisa kejayaan kampung ini. Sebab, sebelum abrasi melumat segalanya, orang mengenalnya kampung dollar sebagai sentra tambak udang windu dan bandeng.

Kini, julukan itu hanya jadi cerita masa lalu yang tak berbekas. Sejalan dengan daratan yang menjadi lautan.

baca juga : Bertemu LSM Lingkungan, Menteri Kelautan Tegaskan Perikanan Berkelanjutan dan Kawasan Konservasi

 

Kondisi pesisir Kabupaten Indramayau, Jabar. Walhi Jabar mencatat, pembabatan hutan bakau pasca era reformasi 1998 – 2003. Akibatnya, abrasi di sepanjang 365 kilometer pantai utara dari Cirebon di timur hingga Bekasi di barat mencapai 370,3 hektar per tahun. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pesisir utara Jawa memburuk

Jauh melompat ke masa H. Willem Daendels membangun Jalan raya Pos atau De grote Postweg tahun 1808-1809. Thomas Stamford Raffles, seperti dikutip Buku Kompas Ekspedisi 200 Tahun Anjer-Panaroekan, mencatat, sepanjang pantai utara Jawa (Pantura) terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi bakau dan semak belukar. Pantainya sangat indah dengan udara yang sehat.

Lebatnya hutan bakau di Pantura, seperti yang digambarkan Raffles, kini hampir tak terlacak lagi jejaknya. Peneliti Muda Kelompok Penelitian Bioekologi Vegetasi Laut, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Yaya Ihya Ulumuddin, mengatakan, “Pesisir utara Jawa saat ini mengalami kondisi terburuk, seiring luasan hutan mangrove terus berkurang.”

Tercatat mangrove di Pantura pernah tumbuh sekitar 173.000 hektare pada tahun 1800. Namun, Yaya menduga, mangrove sudah berkurang bahkan sejak zaman Majapahit, jauh sebelum apa yang dilaporkan oleh Raffles. Pada saat itu tambak sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Pantura.

Di awal tahun 1900-an, paling tidak 50.000 hektar hutan mangrove beralih fungsi. Berkurangnya luas hutan terus berlanjut dengan adanya ekstraksi kayu oleh Pemerintah Kolonial Belanda hingga awal kemerdekaan.

Kerusakan ekologi di kawasan pesisir ini seperti mengulang peradaban yang pernah jaya. Menurut catatan Raffles, sepanjang Pantura awal abad ke-19, hampir disetiap distrik mempunyai sungai utama. Kebanyakan sungai ini bisa dilayari kapal-kapal besar untuk mengangkut hasil-hasil produk lokal. Kota-kota pelabuhan besar tumbuh di sepanjang pantai utara ini, misalnya, Banten, Jakarta dan Cirebon.

Kini pendangkalan akibat kerusakan hutan di daerah hulu dan pencemaran telah membunuh sungai-sungai yang berhilir di Pantura. Pendangkalan itu pada akhirnya juga membunuh pelabuhan-pelabuhan tersebut. Dengan hilangnya pelabuhan hilang pula sebuah peradaban. Jejak kejayaan Pantura itu hanya menyisakan gudang-gudang tua di sekitar pelabuhan, semisal, di Cirebon.

“Dekade pertama pasca Indonesia merdeka memang ada usaha untuk mengelola hutan mangrove. Sayangnya, antara 1980-2003 terjadi lagi pembukaan lahan mangrove besar-besaran,” ujar Yaya saat dihubungi Rabu (22/4/2019).

Yaya menyebut, industri perikanan serta tambak sangat menjanjikan kala itu. Sehingga luasan mangrove menciut tak terkendali. Setelah itu, konversi hutan mangrove melambat karena usaha tambak kolaps karena adanya serangan virus. Alhasil, tambak tak produktif itu tidak pula kembali menjadi hutan mangrove.

“Sekarang luas hutan mangrove di Jawa tersisa hanya 45.000 hektare,” ungkapnya.

baca juga : Kembali Lebatnya Mangrove Karangsong ditengah Ancaman Krisis Pesisir Utara Jawa

 

Kondisi di Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jabar. Walhi Jabar mencatat, pembabatan hutan bakau pasca era reformasi 1998 – 2003. Akibatnya, abrasi di sepanjang 365 kilometer pantai utara dari Cirebon di timur hingga Bekasi di barat mencapai 370,3 hektar per tahun. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Yaya mencemaskan dampak perubahan iklim. Alasannya karena abrasi ini diiringi dengan adanya penurunan muka tanah terutama di pesisir yang dekat dengan kota-kota besar yang air tanahnya terus dieksploitasi, seperti kasus di Jakarta dan Semarang.

Yaya mencontohkan, hasil analisis geographic information system tahun 2018, menunjukkan proyeksi lahan yang akan berubah menjadi laut di tahun 2030 mencapai 55.220 hektare. Jika kenaikan muka air laut terjadi, maka sudah bisa dipastikan banyak desa atau kota pesisir yang hilang.

Bahkan, sebagian daratan di utara pulau ini benar-benar tenggelam dalam arti sesunnguhnya, seperti halnya desa-desa yang sekarat oleh banjir rob dan abrasi.

Merosotnya daya dukung lingkungan rupanya menjadi beban berat Pantura Jawa. Apalagi, pertambahan penduduk yang tak terkendali. Tanpa penanganan serius, masa depan Jawa bukan tidak mungkin bakal menjadi pulau yang karam.

 

Exit mobile version